B. SANGGAHAN TERHADAP DASAR LEGALITAS MUT'AH

Setelah sedikit memperoleh gambaran tentang mut'ah, sedikit banyak kita dapat menganalisa bagaimana sebenarnya nikah mut'ah ini tidak sesuai dengan fitrah manusia yang telah digariskan oleh Allah. Karena fitrah manusia yang lurus menghendaki penikahan yang membawa ketentraman bagi kehidupannya. Ketenangan dan kehidupan yang tentram ini tidak akan didapat dalam nikah mut'ah, karena tujuan mut'ah adalah untuk memuaskan syahwat semata. Namun kita melihat bahwa syi'ah imamiyah mendasarkan pendapat mereka pada dalil syar'i, yaitu Al Qur'an. Tapi marilah kita bertanya pada benak kita masing-masing, apakah mungkin Al Qur'an memperbolehkan bentuk pernikahan dengan bentuk seperti mut'ah pada syiah imamiyah? Apakah dalil-dalil yang diajukan itu benar-benar memperbolehkan nikah mut'ah?

Dalil yang sering diajukan adalah potongan ayat surat Annisa' ayat 24 :

فَمَا اسْتَمْتَعْتُم بِهِ مِنْهُنَّ فَئَاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً...[111] …..

Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban…[112]

Jika kita membaca ayat itu sekilas, maka akan nampak jelas bahwa ayat itu menunjukkan kewajiban membayar ongkos bagi wanita yang dimut'ah/dinikmati. Tapi baiknya kita telusuri lagi ayat ini secara lengkap dengan ayat sebelum dan sesudahnya yang ternyata membahas topik pernikahan yang tak ada hubungannya dengan nikah mut'ah ala syi'ah imamiyah.

وَلاَتَنكِحُوا مَانَكَحَ ءَابَآؤُكُم مِّنَ النِّسَآءِ إِلاَّ مَاقَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَآءَ سَبِيلاً {22} حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ اْلأَخِ وَبَنَاتُ اْلأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ الاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَآئِبُكُمُ الاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ الاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُوا دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَجُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلآَئِلُ أَبْنَآئِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ وَأَن تَجْمَعُوا بَيْنَ اْلأُخْتَيْنِ إِلاَّ مَاقَدْ سَلَفَ إِنَّ اللهَ كَانَ غَفُورًا رَّحِيمًا {23} وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَآءِ إِلاَّ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُم مَّاوَرَآءَ ذَالِكُمْ أَن تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُم بِهِ مِنْهُنَّ فَئَاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلاَجُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُم بِهِ مِن بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا {24} وَمَن لَّمْ يَسْتَطِعْ مِنكُمْ طَوْلاً أَن يَنكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِن مَّامَلَكَتْ أَيْمَانُكُم مِّن فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ وَاللهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُمْ بَعْضُكُم مِّنْ بَعْضٍ فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَءَاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلاَمُتَّخِذَاتِ أّخْدَانٍ فَإِذَآأُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَاعَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنكُمْ وَأَن تَصْبِرُوا خَيْرُُ لَّكُمْ وَاللهُ غَفُورُُ رَّحِيمُُ [113]>[114]

 

Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruknya jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang wanita; saudara-saudaramu yang wanita; saudara-saudara bapakmu yang wanita; saudara-saudara ibumu yang wanita; anak-anak wanita dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak wanita dari saudara-saudaramu yang wanita; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara wanita sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isteri kamu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya;(dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu);,dan menghimpunkan (dalam perkawinan)dua wanita yang bersaudara,kecuali yang telah terjadi pada masa lampau sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaanya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman bagi wanita-wanita merdeka bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi-bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) diantaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [115]

Ayat-ayat sebelum ayat 22 membahas tentang perlakuan terhadap istri dan haramnya mengambil mahar yang telah diberikan pada istri. Ayat 22 melarang kita untuk menikahi mantan istri ayah kita serta menerangkan bahwa hal itu adalah sangat dibenci dan tercela. Ayat 23 menerangkan pada kita siapa saja yang haram dinikahi, diikuti dengan ayat 24 menerangkan larangan menikahi wanita yang telah bersuami dan menghalalkan untuk menikah dengan wanita baik-baik dengan pernikahan yang baik dan bukan berzina. Yang menarik di sini adalah penggunaan kata sifah untuk makna zina. Kata "sifah" yang disebutkan dalam ayat adalah berasal dari kata safaha yang berarti menuangkan. Mengapa zina disebut sebagai sifah? Karena bentuk zina adalah dengan menuangkan air mani ke wanita yang dizinainya, seperti diketahui tujuan berzina adalah untuk memuaskan nafsu syahwat dengan tertumpahnya mani. Setelah selesai hajatnya maka masing-masing pergi dan tak ada ikatan lagi. Oleh karena itu makna zina dalam Al Qur'an sering diungkapkan dengan kata sifah. Maka istri yang telah dicampuri hendaknya diberikan maharnya. Dan dibolehkan jika kedua pihak telah rela dan sepakat atas nafkah. Ayat 25 menyuruh mereka yang tidak mampu secara finansial untuk menikah dengan wanita merdeka maka hendaknya menikah dengan budak. Setelah itu ditekankan lagi untuk menikah dengan budak yang baik-baik bukannya pezina yang berzina terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Pada ayat ini kembali makna zina diungkapkan dengan lafaz sifah. Dengan melihat ayat sebelum dan sesudahnya kita dapat memastikan bahwa ayat-ayat ini membahas pernikahan yang lazim dikenal dalam islam, bukannya nikah mut'ah. Karena bagimana mungkin potongan ayat itu mengarah ke makna nikah mut'ah sementara kalimat sebelum dan sesudahnya dalam ayat itu menerangkan nikah yang dikenal dalam Islam. Juga kata ganti hunna dalam potongan ayat itu menunjukkan pada wanita-wanita yang dinikahi, bukannya dinikah mut'ah.

Bagaimana pendapat para ahli tafsir mengenai ayat ini? Apakah mereka memahami bahwa ayat ini menjadi dasar bagi legalitas nikah mut'ah?

Bahkan jika dilihat dari makna ayat itu dalam bahasa arab maka tidak mengarah pada nikah mut'ah. Ibnu Manzhur dalam kamus Lisanul Arab mengatakan:

Firman Allah pada surat Annisa' setelah menjelaskan wanita yang haram dinikahi . Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina, yaitu dengan menikahi mereka dengan pernikahan yang benar dan bukan zina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban, Azzajjaj telah menyebutkan bahwa ada sebuah kaum yang melakukan kesalahan besar dalam memahami ayat ini karena kedangkalan pengetahuan mereka terhadap bahasa arab, merka memahami bahwa maksud ayat di atas adalah mut'ah yang disepakati haramnya oleh seluruh ulama, sedangkan makna ayat yang benar adalah perempuan yang dinikahi sebagaimana kalimat sebelumnya dalam ayat, yaitu yang dinikahi dengan pernikahan yang benar, maka berikanlah mahar mereka. Barangsiapa menikmati mereka dengan bercampur, maka memberikan seluruh mahar dan yang baru berakad nikah memberikan setengah mahar.

Di sisi lain, tidak ada keterangan dari Nabi yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ayat itu adalah mut'ah. Padahal kita ketahui bahwa manusia yang paling memahami Al Qur'an adalah Nabi, yang menjelaskan tentang makna banyak ayat dalam Al Qur'an. Penjelasan Nabi mengenai ayat Al Qur'an dapat kita temui dalam kitab hadits maupun tafsir. Juga tidak kita jumpai keterangan dari Sahabat nabi bahwa ayat ini membahas nikah mut'ah. Sementara dalam pembahasan nikah mut'ah dalam perspektif Syi'ah tidak kita jumpai dalil yang berasal dari Nabi dan para sahabatnya yang menerangkan bahwa ayat itu membahas nikah mut'ah.

Mari kita simak bersama pendapat para ahli tafsir mengenai ayat ini. Ibnu Katsir berkata:

Firman Allah "mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina" yaitu menikahi istri hingga 4 dengan hartamu, dan menikahi budakmu sebanyak yang kamu kehendaki dengan cara yang benar, karena itulah Allah memfirmankan untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagaimana kamu telah menikmati mereka maka berikanlah pada mereka mahar mereka[116]

Al Jashosh mengatakan:

Firman Allah: isteri-isteri yang telah kamu nikmati di antara mereka, yaitu yang kamu gauli…. Kata istimta' di sini bermakna intifa', yaitu kiasan bagi pergaulan suami istri.[117] Syinqithi menerangkan makna potongan ayat 24 surat Annisa :

Yaitu karena kamu telah menikmati wanita-wanita yang kalian nikahi itu maka berikanlah mahar pada mereka. Makna ini sesuai dengan makna ayat-ayat dalam Al Qur'an Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri dalam ayat ini diterangkan bahwa bercampurnya suami dan istri merupakan sebab bagi harusnya suami memberikan mahar pada istri, hal inilah yang dimaksud dengan menikmati dalam ayat 24 surat Annisa' di atas Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya dan ayat lain Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. …maka ayat ini adalah untuk pernikahan yang dikenal dalam islam bukannya nikah mut'ah seperti pendapat mereka yang tidak memahami ayat ini.[118]

Inilah nukilan dari beberapa pakar tafsir dari kitab mereka. Jadi jelaslah bahwa maksud Ayat dalam surat Annisa' ayat 24 tadi adalah pernikahan yang lazim dikenal dalam Islam, bukannya nikah mut'ah.

Walaupun nikah mut'ah dibolehkan dalam syiah dan bahkan berpahala, tapi anehnya kita mendapati riwayat dari para Imam syi'ah yang tidak menganjurkan mut'ah, bahkan mencelanya dan menganggap nikah mut'ah sebagai perbuatan dosa. Yang lebih membuat kita heran, ternyata imam yang mengatakan demikian juga imam yang menganjurkan nikah mut'ah. Mari kita simak riwayat berikut:

عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ عليه السلام قَالَ عَنْ الْمُتْعَةِ : َما تَفْعَلُهَا عِنْدَنَا إِلاَّ اْلفَوَاجِرُ[119]

Abu Abdullah berkata mengenai mut'ah: di antara kita tidak ada yang melakukan nikah mut'ah kecuali orang pendosa

عَنْ عَبْدِ اللِّه بْنِ سِنَاٍن قَالَ : سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللهِ عليه السلام عَنْ الْمُتْعَةِ . فَقَالَ : لاَ تَُُدَنِّسْ نَفْسَكَ بِهَا[120]

Dari Abdullah bin Sinan: aku bertanya pada Abu Abdullah mengenai mut'ah lalu dia menjawab: Jangan kamu kotori dirimu dengan mut'ah.

Dua riwayat, yang satu mengatakan bahwa orang yang melakukan nikah mut'ah adalah pendosa dan satu lagi mengatakan bahwa nikah mut'ah mengotori jiwa. Riwayat-riwayat ini memperkuat keyakinan bahwa nikah mut'ah adalah perbuatan tercela, yang disebut sebagai perbuatan dosa dan mengotori jiwa.

 


[111] AnNIsa' 4 : 24

[112] Departemen Agama RI, Op.Cit Hal. 121

[113] AnNisa' 4 : 22- 25

 

[115] Departemen Agama RI. Op. Cit. hal 120 - 121.

[116] Ibnu Katsir. Tafsir Al Qur'an Al Adzim. 1992. Darul Fikr. Beirut. jilid 1 hal 586.

[117] Al Jashosh. Ahkamul Qur'an jilid 2 hal 146 Dinukil dari Muhammadi. Yusuf Jabir. Tanpa Tahun. Tahrimul Mut'ah Fil Kitabi Wassunnah. London : Muassasah Shalahuddin Al Khairiyyah

[118] Syinqithi. Adhwa'l Bayan jilid 1 hal. 384 Dinukil dari Muhammadi. Yusuf Jabir. Tanpa Tahun. Tahrimul Mut'ah Fil Kitabi Wassunnah. London : Muassasah Shalahuddin Al Khairiyyah

[119] Biharul Anwar. Majlisi. Jilid 100 Hal 318 . Dinukil Dari Muhammad. Malullah AsSyi'ah Wal Mut'ah www.fnoor.com. Tanpa Tahun

[120] Muhammad Malullah. Loc. Cit.

 

Islamic Media Ibnuisa
Kritik & Saran
Counter
HOME


XtGem Forum catalog