-
Ahlussunnah wal Jamaah
sepakat untuk mengharamkan nikah mut'ah berdasar pada
hadits-hadits Nabi yang menegaskan hal itu. Di antaranya
adalah riwayat dari Ali dan Rabi' bin Saburah Al Juhani.
Walaupun demikian Ahlussunnah tidak pernah mengingkari bahwa
nikah mut'ah pernah diperbolehkan sebelum diharamkan.
Riwayat pengharaman itu juga menjadi dasar pendapat
ahlussunnah bahwa nikah mut'ah pernah dibolehkan sebelum
akhirnya mansukh dan menjadi haram sampai hari kiamat.
-
Syiah Imamiyah
berpendapat bahwa nikah mut'ah adalah halal dan dianjurkan
berdasarkan ayat Al Qur'an riwayat-riwayat dari para imam
yang menegaskan hal itu. Mereka menolak pendapat yang
mengharamkan dengan alasan bahwa yang mengharamkan adalah
Umar, yang tidak dapat mengubah sebuah hukum yang ditetapkan
oleh Allah dalam kitab suci Al Qur'an.
-
Ayat yang dijadikan
dasar legalitas nikah mut'ah ternyata tidak menunjukkan
legalitas nikah mut'ah itu sendiri, tetapi mengikuti konteks
ayat sebelum dan sesudahnya, yaitu mengenai masalah
pernikahan. Maka tidak dapat digunakan menjadi dasar
legalitas nikah mut'ah.
-
Al Qur'an mengulas
masalah pernikahan dengan panjang lebar mencakup hal hal
yang sangat terperinci, namun tidak mengulas masalah nikah
mut'ah kecuali dalam sebuah potongan ayat. Jika memang
mut'ah sebagai topik yang berhubungan erat dengan pernikahan
dibahas dalam Al Qur'an tentu tidak akan dibahas dalam
sebuah potongan ayat, sementara masalah lainnya yang terkait
dengan pernikahan dibahas panjang lebar dalam beberapa ayat.
-
Perincian mengenai
hukum nikah mut'ah tidak berasal dari Nabi tetapi dari para
Imam yang mana tidak dapat disetarakan dengan riwayat hadits
yang berasal dari Nabi. Juga riwayat mengenai perincian
mut'ah itu sebagai perincian yang berdiri di atas dasar
legalitas mut'ah yang berdasar pada surat Annisa ayat 25,
yang ternyata tidak membahas topik mut'ah dan tidak dapat
dijadikan dasar bagi legalitas nikah mut'ah. Maka seluruh
perincian tadi gugur dan tidak dapat dijadikan pegangan
karena merinci sebuah perbuatan yang haram.
-
Terdapat perbedaan
mendasar antara pernikahan yang lazim dikenal dalam Islam
dengan nikah mut'ah. Perbedaan itu menyampaikan kita pada
kesimpulan bahwa nikah mut'ah bukanlah sebuah pernikahan
tapi lebih mirip kepada bentuk pelacuran. Kesimpulan ini
diperkuat dengan riwayat-riwayat yang menyatakan secara
eksplisit bahwa wanita yang dinikah mut'ah adalah wanita
sewaan. Sementara kita ketahui bahwa pelacuran adalah
kesepakatan antara pria dan wanita untuk berhubungan
layaknya suami istri dengan imbalan yang diberikan pada
wanita selama jangka waktu tertentu, yang umumnya adalah
dalam jangka waktu pendek. Ini tidak ada bedanya dengan
mut'ah yang menetapkan batas waktu minimal adalah sekali
hubungan suami istri.
-
Nikah mut'ah
merendahkan derajat wanita, yang dianggap sebagai barang
yang dapat disewa. Sementara Islam mengangkat derajat wanita
dan menjaganya dari segala bentuk pelecehan dan penistaan.
Kaum wanita bukanlah barang yang dapat disewa kemudian
dikembalikan begitu saja dengan imbalan minimal segenggam
gandum atau beras.
-
Sebagaimana pelacuran,
nikah mut'ah akan membawa dampak negatif yang tak kalah
dengan pelacuran. Yaitu hancurnya lembaga keluarga, rusaknya
tatanan sosial masyarakat dan tersebarnya penyakit kelamin.
-
Pendapat yang sesuai
dengan dalil-dalil syar'i adalah pendapat yang dianut oleh
Ahlussunnah wal jamaah yang menyatakan bahwa praktek nikah
mut'ah adalah haram sampai hari kiamat. Pendapat ini juga
sesuai dengan fitrah manusia dan kemaslahatan pribadi dan
masyarakat umum.