KESIMPULAN

  1. Ahlussunnah wal Jamaah sepakat untuk mengharamkan nikah mut'ah berdasar pada hadits-hadits Nabi yang menegaskan hal itu. Di antaranya adalah riwayat dari Ali dan Rabi' bin Saburah Al Juhani. Walaupun demikian Ahlussunnah tidak pernah mengingkari bahwa nikah mut'ah pernah diperbolehkan sebelum diharamkan. Riwayat pengharaman itu juga menjadi dasar pendapat ahlussunnah bahwa nikah mut'ah pernah dibolehkan sebelum akhirnya mansukh dan menjadi haram sampai hari kiamat.

  2. Syiah Imamiyah berpendapat bahwa nikah mut'ah adalah halal dan dianjurkan berdasarkan ayat Al Qur'an riwayat-riwayat dari para imam yang menegaskan hal itu. Mereka menolak pendapat yang mengharamkan dengan alasan bahwa yang mengharamkan adalah Umar, yang tidak dapat mengubah sebuah hukum yang ditetapkan oleh Allah dalam kitab suci Al Qur'an.

  3. Ayat yang dijadikan dasar legalitas nikah mut'ah ternyata tidak menunjukkan legalitas nikah mut'ah itu sendiri, tetapi mengikuti konteks ayat sebelum dan sesudahnya, yaitu mengenai masalah pernikahan. Maka tidak dapat digunakan menjadi dasar legalitas nikah mut'ah.

  4. Al Qur'an mengulas masalah pernikahan dengan panjang lebar mencakup hal hal yang sangat terperinci, namun tidak mengulas masalah nikah mut'ah kecuali dalam sebuah potongan ayat. Jika memang mut'ah sebagai topik yang berhubungan erat dengan pernikahan dibahas dalam Al Qur'an tentu tidak akan dibahas dalam sebuah potongan ayat, sementara masalah lainnya yang terkait dengan pernikahan dibahas panjang lebar dalam beberapa ayat.

  5. Perincian mengenai hukum nikah mut'ah tidak berasal dari Nabi tetapi dari para Imam yang mana tidak dapat disetarakan dengan riwayat hadits yang berasal dari Nabi. Juga riwayat mengenai perincian mut'ah itu sebagai perincian yang berdiri di atas dasar legalitas mut'ah yang berdasar pada surat Annisa ayat 25, yang ternyata tidak membahas topik mut'ah dan tidak dapat dijadikan dasar bagi legalitas nikah mut'ah. Maka seluruh perincian tadi gugur dan tidak dapat dijadikan pegangan karena merinci sebuah perbuatan yang haram.

  6. Terdapat perbedaan mendasar antara pernikahan yang lazim dikenal dalam Islam dengan nikah mut'ah. Perbedaan itu menyampaikan kita pada kesimpulan bahwa nikah mut'ah bukanlah sebuah pernikahan tapi lebih mirip kepada bentuk pelacuran. Kesimpulan ini diperkuat dengan riwayat-riwayat yang menyatakan secara eksplisit bahwa wanita yang dinikah mut'ah adalah wanita sewaan. Sementara kita ketahui bahwa pelacuran adalah kesepakatan antara pria dan wanita untuk berhubungan layaknya suami istri dengan imbalan yang diberikan pada wanita selama jangka waktu tertentu, yang umumnya adalah dalam jangka waktu pendek. Ini tidak ada bedanya dengan mut'ah yang menetapkan batas waktu minimal adalah sekali hubungan suami istri.

  7. Nikah mut'ah merendahkan derajat wanita, yang dianggap sebagai barang yang dapat disewa. Sementara Islam mengangkat derajat wanita dan menjaganya dari segala bentuk pelecehan dan penistaan. Kaum wanita bukanlah barang yang dapat disewa kemudian dikembalikan begitu saja dengan imbalan minimal segenggam gandum atau beras.

  8. Sebagaimana pelacuran, nikah mut'ah akan membawa dampak negatif yang tak kalah dengan pelacuran. Yaitu hancurnya lembaga keluarga, rusaknya tatanan sosial masyarakat dan tersebarnya penyakit kelamin.

  9. Pendapat yang sesuai dengan dalil-dalil syar'i adalah pendapat yang dianut oleh Ahlussunnah wal jamaah yang menyatakan bahwa praktek nikah mut'ah adalah haram sampai hari kiamat. Pendapat ini juga sesuai dengan fitrah manusia dan kemaslahatan pribadi dan masyarakat umum.

 

Islamic Media Ibnuisa
Kritik & Saran
Counter
HOME


Lamborghini Huracán LP 610-4 t