Ritual Asyura
Sebelum menyaksikan
potongan film kita akan membahas sedikit tentang perayaan Asyura.
Memukul kepada dan dada
Kaum rafidhah memukul-mukul badan mereka untuk mendekatkan diri
mereka kepada Allah dan mendapatkan pahala di sisi-Nya.
Cara memukul badan
Dalam setiap peringatan hari besar mereka mereka, yang berbeda
dengan perayaan hari besar kaum muslimin seperti peringatan
terbunuhnya Ali bin Abi Tolib dan peringatan terbunuhnya Husein bin
Ali, kaum rafidhoh melakukan upacara2 ritual untuk mengekspresikan
kesedihan mereka terhadap musibah-musibah yang menimpa ahlul bait,
yang kebanyakan cerita2 musibah itu adalah karangan mereka sendiri.
Ritual2 ini diadakan di setiap wilayah yang memiliki penduduk kaum
rafidhoh, tetapi terlihat sangat jelas di beberapa wilayah Pakistan,
Iran, India, Irak dan wilayah Nabtiyah di Lebanon. Dalam merayakan
ritual ini pun cara mereka berbeda2, di negara teluk mereka memukul
badan mereka dengan tangan kosong karena masyarakat negara teluk
lebih “berbudaya”. Tetapi di Pakistan dan Lebanon mereka menyabet
badan mereka sendiri dengan pedang dan belati untuk menumpahkan dan
melukai anggota badan.
Sementara itu kaum rofidhoh di wilayah lainnya menggunakan rantai
untuk memukuli badan mereka sendiri. Acara “pukul memukul” itu tak
lupa disertai dengan pembacaan sya’ir2 kesedihan dan musibah,
khotbah duka cita untuk ahlul bait,mencaci maki bani umayyah dan
para sahabat Nabi. Semua itu dilakukan untuk mendapatkan pahala dan
keridhoan Allah ta’ala. Tidak ketinggalan pula acara tangis bersama
sampai berteriak-teriak, karena mereka mengatakan bahwa para imam
mereka memberi kabar gembira “Barang siapa menangis atau membuat
dirinya menangis untuk Husein maka wajib masuk sorga”. Semua ingin
masuk sorga, maka semua berlomba-lomba untuk bertambah sedih dan
bertambah kencang tangisnya.
Sejarah ritual “pukul memukul”
Acara ritual ini bermula dari rasa sedih para pengikut Ali bin Abi
Tolib yang telah berjanji untuk berperang membela Ali namun ketika
terjadi perang mereka lari meninggalkan Ali bin Abi Tolib sendirian
hingga Ali bin Abi Tolib pun bosan dan membenci mereka karena
kemunafikan mereka. Lalu Ali bin Abi Tolib berkhotbah di kepada
mereka dan menjuluki mereka dengan sifat-sifat yang jelek seperti
pengkhianat, pembohong, kaum yang hina, orang yang berakal kerdil
dll ..
”Aku mengajak kalian untuk berjihad dan kalian menolak, aku telah
memberitahu kalian tapi kalian tidak mau mendengarkan, aku telah
berdakwah kepada kalian mengajak kepada kebenaran tapi kalian tolak
dakwahku, aku telah menasehati kalian tapi kalian enggan untuk
menerima..”
Hingga Ali bin Abi Tolib berkata:
“Demi Allah..aku ingin agar Mu’awiyah menukar pengikutnya dengan
pengikutku seperti menukar uang, maka 10 orang pengikutku akan
kutukar dengan 1 orang pengikut Mu’awiyah”. [1]
Kesedihan pengikut Ali bin Abi Tolib makin bertambah ketika mereka
menulis surat kepada Husein bin Ali bahwa mereka berbaiat kepada
Husein dan berjanji akan menolongnya, tetapi ketika Husein bin Ali
benar2 datang mereka tinggalkan mati sendirian bersama keluarganya
seperti mereka meninggalkan muslim bin aqil mati sendirian. Maka
bertambahlah kesedihan mereka hingga hati kecil mereka merasa
bersalah, lalu mereka mulai menghukum diri mereka sendiri dengan
memukul dada dan menampar pipi mereka. Semua ini sebagai hukuman
atas perbuatan mereka dan sebagai pembalasan kepada diri mereka atas
penghianatan mereka kepada Husein bin Ali, Muslim bin Aqil dan
sebelumnya Ali bin Abi Tolib. Begitulah, semakin besar rasa bersalah
seseorang, maka dia semakin “bersemangat” dalam memukul dirinya
sendiri dan semakin keras pula menangisnya. Demikian ritual ini
berkesinambungan, setiap generasi menghukum diri mereka sendiri atas
kesalahan yang dilakukan oleh generasi yang hidup jauh sebelum
mereka, yaitu pengkhianatan terhadap Allah dan Ahlul bait. Selang
berlalunya waktu, generasi yang datang belakangan tidak pernah
memahami sebab utama ritual ini dan mengira bahwa ritual ini hanya
bertujuan untuk mengungkapkan kesedihan atas kejadian yang menimpa
Husein bin Ali dan ahlul bait seperti yang didengungkan oleh para
ulama, dan bukannya sebagai penyesalan atas pengkhianatan mereka.
Sementara itu generasi belakangan tetap meyakini bahwa ritual ini
untuk mencara pahala dengan rasa cinta kepada Husein bin Ali dan
mereka lupa bahwa sebenarnya ritual ini diadakan sebagai hukuman
kepada diri mereka sendiri yang telah menkhianati Husein bin Ali.
Ini hukuman di dunia, di akherat Allah akan menghukum mereka dengan
hukuman yang lebih berat. Subhanallah, bagaimana mereka mengubah
ritual ini dari hukuman menjadi ibadah yang berpahala.
Pendapat di atas dikuatkan oleh perkataan Zainab binti Ali yang
ditujukan kepada pengikut Ali (Syi’ah,bukan rafidhoh) : “Wahai
penduduk kufah, wahai para pengkhianat, perumpamaan kalian adalah
bagaikan seorang perempuan yang mengurai benang yang sudah dipintal.
Kalian hanya mempunyai kesombongan, kejahatan, kebencian dan
kedustaan. Apakah kalian menangisi saudaraku? Tentu, demi Allah,
maka perbanyaklah tangis dan jangan banyak tertawa, sungguh kalian
telah diuji dengan kehinaan..bagaimana kalian menganggap enteng
membunuh menantu nabi terakhir?. [2]
Perkembangan ritual “pukul memukul”
Ibadah ini mulai berkembang dan meluas di awal berkembangnya syi’ah
saat mereka ingin mencari ibadah yang berbeda dengan ibadah bani
umayyah dan supaya memperlihatkan perbedaan antara mereka dengan
kaum muslimin lainnya. Maka mereka selalu berusaha membesar2kan dan
menekankan pentingnya ritual ini. Bahkan mereka membuat pakaian
khusus yang dipakai saat upacara yaitu pakaian berwarna hitam dengan
alasan duka cita atas kematian Husein bin Ali dan ahlul bait.
Pada periode bani buwaih yang menguasai iran dan irak atas nama
melindungi khilafah abbasiyah, mereka ikut mengembangkan upacara ini
hingga menjadi bagian dari syi’ah yang tidak bisa dipisahkan lagi.
Lalu datanglah syah ismail safawi yang berkhianat kepada khilafah
uthmaniyah mengumumkan hari berkabung nasional yang berlaku di
seluruh wilayah kekuasaannya pada 10 hari pertama bulan muharram.
Bahkan syah sendiri mengadakan open house untuk menerima ucapan duka
cita dari rakyat dan mengadakan perayaan khusus yang juga dihadiri
oleh syah ismail. Juga syah abbas1 al safawi memakai pakaian hitam
pada tanggal 10 muharrom dan melumuri dahinya dengan lumpur serta
memimpin pawai di jalan2 sambil bersyair dengan syair duka untuk
husien dan melaknat bani umayah.
Peranan iran dalam pengembangan ritual pukul memukul
Sejak berubah menjadi negara islam, iran menggalakkan warganya untuk
menghidupkan kembali ritual2 seperti ini bahkan ikut mendanai kaum
syiah di mana-mana untuk mengadakan perayaan 10 muharam
besar-besaran. Tapi yang aneh, sebagian syiah tidak memiliki uang
untuk membeli makanan tetapi iran malah memberikan dana dalam jumlah
besar hanya untuk mengadakan perayaan ritual ini dengan alasan
agama. Sehabis acara perayaan, kita melihat pemandangan cukup
memalukan yang diliput oleh media massa dunia. Darah, gambar orang
memukul diri disiarkan oleh media massa dengan menuliskan bahwa ini
adalah perayaan hari besar kaum muslimin. Hal ini sangat memalukan
kaum muslimin.
Pendapat dunia terhadap ritual ini
Kantor berita reuter bagaikan mendapat “harta karun” berharga ketika
wartawannya di wilayah nabtiah lebanon merekam gambar seorang syi’ah
sedang memukul kepala anaknya dengan pedang pada perayaan 10
muharam. Begitulah, para pengikut aliran sesat selalu memberikan
bukti atas kecaman musuh terhadap islam. Foto-foto berdarah perayaan
asyura dimuat di media masa dunia, mereka membahasnya panjang lebar
di koran, majalah bahkan channel TV untuk membahas kebuasan dan
sifat haus dan ritual ibadah kaum muslimin yang jauh dari
kemanusiaan.
[1] Nahjul Balaghoh hal 224.
[2] Al Ihtijaj, 2/29-30.
|