Old school Easter eggs.

MAJLIS KETIGA

Penginkaran Syi’ah Itsna Asyriyah akan sifat ‘adalah para Sahabat.

Seorang muslim tidak akan ragu bahwa para sahabat adalah kepercayan umat ini, pembawa panji syari’at dan  mewariskannya pada orang-orang terpercaya sesudah mereka. Tak diperlukan lagi ta’dil (klarifikasi atas sifat adil) atau pun tautsiq (klarifikasi atas sifat terpercaya). Untuk apa?! Sedangkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memuji mereka dengan pujian yang secara qath’i menetapkan sifat ‘adalah (adil, diterima periwayatannya) dan witsaqah dalam beberapa ayat Al Qur’an. Diantaranya:

Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia , menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. (Ali Imran :110)

Dan demikian (pula) kami tela menjadikan kamu umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas  (0erbuatan) manusia lain.Al Baqarah 143.

Sahabatlah yang pantas menyandang sifat wasath dan ‘adil dalam kandungan ayat diatas. Masih banyak lagi ayat lain yang didalamnya menyebutkan pujian Allah atas para sahabat Rasulullah dan menjelaskan keutamaan mereka dan mengkhabarkan keridhoan Allah atas mereka,demikian pula penetapan sifat-sifat baik dari Rasul serta larangan mencela mereka –sedang telah menjadi ma’lum mengingkari ‘adalah mereka berarti mencela mereka-, pemberitaan akan keutamaan serta kisah perjalan mereka yang semua itu menuntut adanya sifat  ‘adalah mereka tanpa perlu diperdebatkan lagi.

Muhammad bin Ahmad Al Hanbali yang masyhur dengan Ibnu Najar berkata:”Orang yang telah dipuji Allah dengan pujian ini bagaimana tidak bisa disebut adil? Jika ta’dil ( penetapan sifat adil ) bisa ditetapkan dengan hanya dua orang manusia, mengapa tidak bisa dengan pujian agung dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala  dan Rasulnya ini?”[27]

Al-Khathib Al-Baghdadi Rahimahullah berkata -setelah menyebutkan beberapa keutamaan sahabat- ,” Semua itu sesuai dengan apa yang dinashkan dalam Al Qur’an dan berkonsekwensi pada sifat suci para sahabat dan ‘adalah mereka secara qoth’i, maka dengan adanya ta’dil dari Allah tak perlu lagi seorang makhluq meneliti lebih jauh batin mereka…. . kalaupun ta’dil dari Allah, sebagaimana yang kami sebutkan tadi tidak ada sama sekali, maka amalan mereka berupa hijrah, jihad dan kemenangan yang diraih, pengorbanan harta dan jiwa, rela membunuh ayah atau anak kandung sendiri juga sikap saling menasehati dalam dien dan kekuatan iman serta keyakinan mereka sudah cukup menjadi bukti ‘adalah mereka. Meyakini kesucian mereka dan bahwa mereka adalah manusia yang paling utama dari seluruh makhluq sesudah mereka untuk selamanya adalah aqidah seluruh ulama.[28]

Hukum penetapan sifat ‘adalah para sahabat didasarkan pada ketetapan dari Allah dan RasulNya maka kita tak memerlukan lagi ta’dil dari siapapun.

Meskipun ada keterangan yang jelas dari Allah dan RasulNya  dalam masalah ini, Syi’ah Itsna Asyriyah tetap mengingkari ‘adalah para sahabat secara global maupun rinci dan menganggap bahwa menghukumi para sahabat  adalah sama sebagaimana menghukumi selain mereka, tidak ada keistimewaan, apa yang berlaku bagi manusia berlaku pula atas mereka.

Al Majlisi – seorang pembesar Sufi dan referensi Syi’ah modern- menerangkan perihal ‘adalah para sahabat setelah menyebutkan pendapat ahlu Sunnah berkata,” Agama Imamiyah berpendapat bahwa mereka –para sahabat- adalah sebagaimana manusia lainnya, diantara mereka ada yang adil, munafik dan fasiq yang sesat bahkan mayoritas mereka seperti itu”[29]. Artinya –menurut mereka-sebagian besar para sahabat munafik, fasik dan sesat.

Asy Syairazi – orang Syi’ah – berkata,” Hukum para sahabat dalam hal ’adalah seperti hukum manusia lainnya. Ketetapan iman dan ‘adalah tidak bisa ditetapkan dengan hanya menjadi sahabat Nabi Shollalahu ‘alahi wasallam, pula hal itu tidak bisa menyelamatkan dari siksa neraka dan azab Al Jabbar kecual dengan keyakinan iman dan keikhlasan hati. Maka barangsiapa yang kami ketahui ‘adalahnya, keimanannya dan penjagaannya atas wasiyat Rasulullah Shollalahu ‘alahi wasallam tentang Ahli Baitnya dan mati didalamnya, seperti Salman Al Farisi, Abi Dzar dan Ammar, maka kami akan mencintai dan bertaqarrub kepada Allah untuk mereka. Dan barangsiapa yang kami ketahui membelot dan menampakkan permusuhan pada Ahli Bait kami akan memusuhinya dan berlepas diri darinya”.[30]

At Tusturiy Asy Asyi’i berkata,” Seorang sahabat sama dengan manusia lain, tidak ditetapkan ’adalahnya kecuali berdasarkan hujjah”.[31]Ditempat lain ia berkata,” Tidak semua sahabat adil dan bisa diterima”.[32]

Al Kasyani –seorang mufasir Syi’ah- dalam muqadimah tafsirnya tentang orang-orang yang mengambil tafsir ayat dari sahabat ia berkata,” Orang-orang itu tidak memiliki ma’rifah (pengetahuan) tentang hakekat kondisi mereka –para sahabat- karena sudah menjadi ketetapan mereka bahwa semua sahabat adil dan tak seorangpun dari mereka yang menyeleweng dari al haq. Mereka tidak tahu bahwa mayoritas mereka -para sahabat- menyimpan nifak dalam batinnya, berani pada Allah dan berdusta atas Rasulullah dengan penuh bangga dan keinginan untuk memecah belah.[33]

Az Zanjani –seorang Syi’ah modern-  menjelaskan sikap Syi’ah tentang ‘adalah para sahabat,” Pendapat Syi’ah atas para sahabat adalah; mereka sama sebagaimana yang lainnya, ada yang adil dan ada yang fasiq….”.[34]

Seorang ulama Rijal kaum Syi’ah, Al Maqamani menukil ijma’ agama Imamiyah tentang hal ini,” Para sahabat kami dari golongan Imamiyah sepakat bahwa menjadi sahabat Nabi saja tidak menjadikan seseorang adil tidak pula menunjukkan baiknya kondisinya, stastus sahabat sebagaimana status orang yang tidak menjadi sahabat Nabi Shollalahu ‘alahi wasallam dalam hal diterima tidaknya periwayatanya berdasarkan ‘adalah, witsaqah dan baiknya kondisi dirinya juga pujian yang disandangkan serta imannya”.[35]

Diantara yang menukil ijma’ Syi’ah Imamiyah tentang pengingkaran mereka akan ‘adalah para sahabat : Muhammad Jawad Mughniyah –seorang Syi’ah Modern- ketika mengatakan,” Imamiyah mengatakan,” Para sahabat itu layaknya manusia lain  ada yang baik dan ada yang buruk, ada yang adil dan ada yang fasiq”.[36]

Dan beberapa aqwal lainnya yang berisi keingkaran Syi’ah akan ‘adalah para sahabat Ra.

Ringkasnya: Syi’ah Itsna Asyriyah sepakat mengingkari sifat ‘adalah para sahabat dan tak seorangpun mereka yang menyanggahnya.

Padahal sudah menjadi kepastian bahwa mengingkari ‘adalah para sahabat dianggap menyelisihi apa yang terdapat dalam Kitab dan Sunnah yang menetapkan sifat ini atas mereka.

Diantaranya: Sabda Nabi Shollalahu ‘alahi wasallam ,”

 

“Sebaik-baik umatku adalah periodeku kemudian setelahnya dan setelahnya”[37]

Nabi telah menetapkan bagi sahabatnya sifat baik dan keutamaan secara mutlak atas seluruh umatnya, mereka adalah umat terbaik dan menunjukkan bahwa para sahabat adalah yang terbaik diantara yang terbaik.

Dengan demikian pengikaran Syi’ah ini berimplikasi pada sesuatau yang sangat berbahaya yaitu menolak periwayatan dari sahabat berupa nukilan tentang masalah-masalah diniyah secara global ataupun terperinci, kemudian menganggap batil Al Kitab dan As Sunnah, hal ini bagi yang membaca kitab mereka akan nampak jelas.Dan inilah yang membuat Ulama Ahli Sunnah sangat enggan dan berhati-hati menerima riwayat ahli bid’ah terkhusus mereka yang mencela sahabat Rasul Shollalahu ‘alahi wasallam .

Imam Abu Zur’ah Ar Razi Rahimahullah berkata ,” Jika kamu melihat seseorang mencela sahabat Nabi maka ketahuilah bahwa ia adalah orang zindiq, karena menurut kami Rasulullah adalah haq dan Al Quran haq, sedang yang menyampaikan  Al Qur’an serta AS Sunnah adalah sahabat Rasul Shollalahu ‘alahi wasallam, mereka itu ingin menjarh ( menyebut cela agar periwayatan tidak diterima) syahid ( saksi) kami demi membatalkan Al Qur’an AS Sunnah, Dan jarh atas mereka lebih pantas dan mereka adalah  orang zindiq.”[38]

Yahya Bin Mu’in berkata tentang Talid bin Sulaiman Al Muharibi Al Kufi,” Ia seorang pendusta, Ia mencela Utsman dan siapa saja yang mencela Utsman atau Talhah atau salah seorang dari sahabat Rasulullah adalah seorang Dajjal, tidak ditulis periwayatan darinya dan atasnya la’nat Allah, malaikat, dan manusia seluruhnya,”[39]

Abu Ahmad Al Hakam Al Karabisi ( th 378 H) berkata  tentang Yunus bin Khabab Al Usaidi bekas budak Abu Hamzah Al Kufi yang mencela Utsman RA :” Yahya[40] dan Abdurrahman[41] meniggalkannya dan keduanya telah berbuat kebajikan,  karena ia telah mencela Utsman, barangsiapa yang mencela salah seorang sahabat maka tidak boleh meriwayatkan darinya”.[42]

 

            Pada dasarnya manusia akan heran manakala melihat orang Syi’ah yang menganggap orang yang bisa melihat Imam ke-dua belas[43] memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari dari kedudukan ‘adalah, tapi meniadakan martabat ini dari para sahabat. Padahal para sahabat adalah orang yang berjumpa dengan Nabi, menolong, mengobarkan jiwa dan harta dan menjual murah nyawa mereka demi da’wah untuk menegakkan kalimat Allah semata-mata dan mengharap ridho dan Jannah-Nya.

 Al Maqamani – seorang Ulama Jarh wa Ta’dil kaum Syi’ah- berkata dalam penjelasannya tentang perkara-perkara yang seorang Syi’ah bisa diketahui ‘adalahnya ,” Diantaranya, seseorang dimuliakan jika ia melihat “Al Hujjah Al Muntadzar” - semoga Allah mempercepat pembebasannya dan menjadikan setiap musibah yang menimpa kita sebagai tebusannya- setelah Ia menghilang[44],dan kami bersaksi dengan hal itu bahwa ia memiliki martabat yang lebih tinggi dari ‘adalah.[45]Dan kemampuan itu tidak bisa dicapai kecuali dengan pensucian jiwa dan mengosongkan hati dari hal-hal rendah serta membersihkan pikiran dari perkara buruk. Tuan kami Al Askari mengisyaratkan  ma’na ini dalam nasehatnya bagi orang yang ingin melihat Al Hujjah – nyawaku sebagai tebusannya- :” Seandainya bukan karena kemuliaan dirimu kepada Allah tak akan kuperlihatkan anakku ini padamu…..”[46].

            Semua ini menunjukkan bahwa bahwa akal dan hati mereka ‘terbalik’. Na’udzubillah min dzalik.

 


[27] Syarhu Al Kaukab Al Munir, Ibnu Najar 2/475.

[28] Al Kifayah li Ilmi Ar Riwayah, Al Khatib Al Baghdadi hal 48-49.

[29] Biharu Al Anwar, Almajlisi 8/8. Seorang Mu’aliq menukil darinya dalam kitab Al Idhah, Ibnu Syadzan hal. 49 dan Kitab Amali, AL Mufid hal.38.

[30] Ad Darajah Ar Rafi’ah, Asy Syairazi hal. 11.

[31] As Sowarimu Al Muhriqah, At Tusturi hal.6.

[32] idem hal 9.

[33] Tafsir As Sofi, Al Kasyani 1/4.

[34] Aqoidu Al Imamiyah Al Itsna Asyriyah, Az Zanjani 3/85.

[35] Tanqihul Maqal, Al Maqamani 1/213.

[36]Asy Syi’ah fie Al Mizan, Al Mughniyah hal 82.

[37] Sahih Bukhari –dengan lafalnya- 5/63 kitab Fadho’ilu Sahabah, bab awal. Sahih Muslim 4/1964 kitab Fadho’ilu Sahabah bab Fadhlu Sahabah “tsumma alladzina yalunahum”.

[38] Disandarkan padanya oleh Al Khatib Al Baghdadi dalam Al kifayah fie Ilmi Ar riwayah hal 97. Al Ishabah, Ibnu Hajar 1/11.

[39] Disandarkan padanya oleh Al Khatib Al Baghdadi dalamTarikh Baghdadi 7/138. Lihat At Tarikh, Ibnu Mu’in –riwayat Ad Duri- 2/66. Tahdzibu At Tahdzib, Ibnu Hajar 1/509.

[40] Ibnu Mu’in

[41] Ibnu Mahdi

[42] Tahdzibu At Tahdzib, Ibnu Hajar 11/438.

[43] Padahal Imam ini tidak akan ada karena Hasan Al Askari mandul.

[44] Yang dimaksud adalah “ghaibah shughra”, karena menurut mereka Ia memiliki dua “ghaibah”( masa menghilang)  , “ghaibah shughra” yang masih mungkin dilihat dan “ghaibah kubra” yang tak seorang pun bisa melihatnya.

[45] Perhatikanlah kalimat “ ia berada dalam martabat yang lebih tinggi dari martabat ‘adalah”sedang mereka melarang martabat ‘adalah ada pada sahabat Rasulullah Shollalahu ‘alahi wasallam .

[46] Tanqihul Maqal, Al Maqamani 1/211.

 

Islamic Media Ibnuisa
Kritik & Saran
Counter
HOME