5. LAHIRNYA KITAB SUCI YAHUDI
----------------------------
Kitab Suci Yahudi yang kini dipergunakan adalah berdasarkan
atas teks MASSORAH. Renaissance dari Yudaisme baru timbul
ketika orang-orang Yahudi bebas menjalankan agamanya di
bawah kekuasaan Muslimin. Karenanya ulamanya tidak lagi
berbahasa Aramiya atau dialek Kildani, apalagi menulisnya,
mereka tidak dapat membaca aneka Kitab Sucinya. Oleh sebab
itu mereka hanya mengikuti tradisi lisan secara
turun-temurun.
Terpengaruh oleh peradaban, kebudayaan dan philology Arab,
para ulama Yahudi berkumpul untuk berusaha memelihara Kitab
Sucinya, yang diawali di Tiberias antara abad ke VI dan abad
ke IX, dengan mencoba-coba menghidupkan huruf-huruf mati dan
memberi titik-titik pada huruf yang bentuknya sama tetapi
ucapannya lain. Usaha ini diakhiri pada abad ke XI.
Terjemahan yang terbaru, yang dibantu oleh aneka saduran
yang terlebih dahulu dan musyawarah dengan ahli-ahli Yahudi,
ini digunakan baik oleh ORTODOX maupun REFORM JEWS yang
tersebar di seluruh dunia.
Setelah dibentuknya Persemakmuran Yang Kedua di bawah
pimpinan Ezra dan Nehemiah (lihat Kitab Nehemiah 8:8 dan
13:24), nyatalah betapa wajibnya TORAH itu ditafsir agar
semua orang dapat mengerti Kalam Tuhan. Para guru melihat
tafsiran ini sebagai sumber dari Tafsiran Aramiya Kuna yang
dikenal dengan nama TARGUM, yang semula disampaikan secara
lisan dan kemudian secara tertulis. Hal ini membuktikan
bahwa Bani Israel telah lupa akan bahasa Aramiya atau dialek
Kanaanit Kuna, yakni idiom yang digunakan di bagian besar
dari Asia Barat. Semua ini agak gelap seperti seluruh
sejarah Yahudi selama kekuasaan Persia (Iran).
Septuaginta, yakni terjemahan Greka (Yunani) adalah hasil
dari kontak Israil dengan peradaban Hellenistic yang
menguasai dunia pada masa itu; sedangkan terjemahan bahasa
Arab dilakukan oleh Gaon Saadya ketika banyak orang-orang
Yahudi berada di bawah kekuasaan Muslimin, dan terjemahan
Jerman dibuat oleh Mendelssohn dan madzhabnya pada permulaan
dari suatu zaman baru yang membawa orang-orang Yahudi ke
Eropa, di mana mereka itu berbicara suatu dialek Jerman,
yakni Yuddish.
Antara aneka terjemahan terdapat banyak keragu-raguan dan
perbedaan pendapat. Misalnya Philo dan orang-orang
Iskandariya, yang seagama dengannya melihat terjemahan
Septuaginta sebagai suatu karya dari lebih kurang 70 orang
yang diilhami, sedangkan para Rabbani Palestina berpendapat
bahwa Torah tidak dapat diterjemahkan. Ada cukup bukti bahwa
akibat dari aneka terjemahan itu kurang disukai, tetapi awam
terima saja dengan baik dari pada tidak faham sama sekali.
Perubahan terjadi selama dua generasi terakhir setelah
kontak dengan peradaban yang berbahasa Inggris. Para
penterjemah ke dalam bahasa Inggris, baik di U.S.A., maupun
di Inggris sendiri, ada banyak sekali. Dan tahun 1892-1901,
Jewish Publication Society of America membuat terjemahan
baru. Pada tahun 1908 badan tersebut bersama Central
Conference of American Rabbis mengeluarkan terjemahan lebih
baru di mana diperhatikan aneka saduran; baik yang baru
maupun yang kuna; teristimewa Septuaginta, saduran-saduran
dari Aquila, Symmachus dan Theodotion, Targum-Targum,
Pesyitta, Vulgata dan saduran Arab dan Saadya, juga
sindiran-sindiran dari tafsiran-tafsiran Yahudi dan para
ahli pada abad pertengahan. Pokoknya, Yahudi tidak mau
menerima interpretasi Kristen dan aneka terjemahan bukan
Yahudi (GOYIM) berada dalam Kitab Suci Yahudi, walaupun
mereka berhutang budi atas karya-karya terdahulu yang
dilaksanakan oleh Goyim, seperti oleh WYCLIFFE, TYNDALE,
COVERDALE dan sebagainya, sedangkan Vulgata, saduran Inggris
dan Douai, tetap digunakan orang-orang Katholik Romawi.
Adapun teks dan susunan Kitab-kitab Suci terjemahan, yang
sekarang menuruti tradisi Yahudi, terbagi atas tiga juz,
yakni:
1. HUKUM (Law, Torah, Pentateuchos),
2. NABI-NABI (Prophets, Nebi'im), dan
3. TULISAN-TULISAN (Writings, Ketubim ).
Dalam Nebi'im dan Ketubim, susunan Kitab-kitabnya
berbeda-beda dalam tulisan atau antara para ahli Yahudi;
namun demikian tidak ada kitab yang dipindahkan dari
juz-juznya. Misalnya Kitab-kitab Rut, Nudub Yermia dan
Daniel terdapat di juz Ketubim, dan tidak di juz Nebi'im
seperti halnya dalam saduran-saduran Goyim.
Yang pertama mengatur segala-galanya, jumlah hurufnya dan
seterusnya serta pengumpul semua catatan-catatan yang
dikenal sebagai MASORAH, adalah Yakob ben Haim Ibn Adoniyah,
penerbit dari Kitab Suci Rabbani yang kedua. Kini ada banyak
ulama yang bekerja dalam bidang ini seperti misalnya Wolf
Heidenheim, S. Frensdorff, S. Baer dan C.D. Ginsburg; teks
yang terakhir ini banyak digunakan di Synagoge.
Karena penterjemahnya bukan penyalin suatu teks, maka para
Rabbani menemukan 18 tempat di mana penulis dengan sengaja
merubah teks dengan dalih agar dapat difahami orang.
Orang-orang Yahudi Samaritan hanya menggunakan Torah dan
menolak Nebi'im dan Ketubim. Mereka lebih tekun akan ajaran
Nabi Musa a.s. dalam kepercayaannya dari pada orang-orang
Yahudi yang meninggalkan ajaran-ajaran kuna dari Israel.
Orang-orang Katolik, baik Gereka maupun Romawi, dan para
apostel Hellennist berpegang pada Septuaginta; sedangkan
orang Reformist, yakni Protestan, pada terjemahan yang
dipergunakan di Synagoge Askenazim.
Islamic Media 2008 Kritik & Saran INDEX UTAMA |