Nikah Mut’ah dan Pelacuran
Apakah nikah mut’ah sama dengan
pelacuran? Barangkali banyak yang marah membaca judul di atas. Namun
sebelum marah, hendaknya membaca dulu selengkapnya.
Kita bisa mengatakan motorku sama
dengan motormu ketika kedua motor kita setype, kita bisa mengatakan
rumahmu sama dengan rumahku ketika rumah kita sama-sama dicat dengan
warna yang sama. Kita bisa mengatakan Hpku sama dengan Hpmu ketika
HP kita setype. Antara HP kita dan HP teman kita ada faktor kesamaan
sehingga bisa kita katakan sama. Sama artinya adalah ketika ada
sesuatu yang ada pada dua hal yang kita perbandingkan. Semakin
banyak kesamaan yang ada, semakin bisa kita katakan bahwa dua hal
itu sama.
Walaupun banyak faktor kesamaan yang ada, kadang ada juga
perbedaan-perbedaan yang bisa jadi penting dan bisa jadi tidak
penting. Misalnya seluruh manusia adalah sama, artinya sama-sama
manusia walaupun ada perbedaan yang kadang banyak, misalnya
perbedaan suku, warna, ras, bahasa, perilaku, sifat dan watak, namun
semua tetap disebut manusia. Sama-sama manusia walaupun beda. Namun
dalam kacamata Islam, ada kriteria tertentu yang membedakan manusia,
yang mana Islam mengklasifikasikan manusia melalui kriteria-kriteria
itu. Kriteria itu adalah iman, artinya dalam segala kesamaan yang
ada di antara seluruh manusia, ada perbedaan inti di antara mereka,
yaitu iman. Meskipun ada ribuan persamaan di antara manusia, ketika
ada perbedaan iman disitu manusia berbeda. Orang beriman berbeda
dengan orang kafir, meskipun keduanya memiliki banyak persamaan,
walaupun keduanya –misalnya- saudara kembar. Allah membedakan antara
keduanya dengan iman. Dalam kasus ini -dan juga banyak kasus- satu
perbedaan dapat menghapus semua kesamaan yang ada.
Ada banyak persamaan antara pernikahan dan perzinaan, yang mana
perbedaan yang ada hanya pada akad nikah yang mensyaratkan adanya
wali, saksi dan akad dan syarat lainnya, sementara perzinaan tidak
perlu ada saksi dan wali, tinggal tawar dan bayar. Bahkan seringkali
tanpa ada pembayaran, asal kedua belah pihak suka sama suka maka
mereka berdua bisa langsung berzina tanpa syarat apa pun.
Meskipun ada banyak persamaan, sedikit perbedaan dapat membedakan
perzinaan dan pernikahan, hal ini tidak perlu dibahas lagi panjang
lebar. Dalam hal ini perbedaan yang sedikit membawa implikasi yang
begitu besar.
Sebaliknya ketika perbedaan yang ada tidak membawa implikasi apa pun
maka bisa dianggap tidak ada, seperti perbedaan rupa manusia tidak
membawa implikasi apa pun, yang berbeda dengan implikasi perbedaan
iman.
Pada aritkel lalu pembaca telah menelaah fikih nikah mut’ah, yang
memberikan lebih banyak gambaran tentang “keindahan” nikah mut’ah
bagi pembaca. Kali ini kita akan membandingkan “keindahan” nikah
mut’ah dengan realita pelacuran yang ada di lapangan, pada akhirnya
kita menemukan tidak ada perbedaan signifikan antara nikah mut’ah
dan pelacuran, yang ada hanya perbedaan simbolik dengan isi dan
substansi yang sama.
Kita akan melihat lagi point-point “keindahan” nikah mut’ah dan
membandingkannya dengan realita pelacuran.
1. Nikah mut’ah adalah praktek penyewaan tubuh wanita,
begitu juga pelacuran.
Kita simak lagi sabda Abu Abdillah : menikahlah dengan seribu
wanita, karena wanita yang dimut'ah adalah wanita sewaan. Al Kafi
Jilid. 5 Hal. 452.
Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa nikah mut’ah adalah bentuk
lain dari pelacuran, karena Imam Abu Abdillah terang-terangan
menegaskan status wanita yang dinikah mut’ah: mereka adalah wanita
sewaan.
2. yang penting dalam nikah mut’ah adalah waktu dan mahar
sekali lagi inilah yang ditegaskan oleh imam syi’ah yang maksum :
Nikah mut'ah tidaklah sah kecuali dengan menyertakan 2 perkara,
waktu tertentu dan bayaran tertentu. Al Kafi Jilid. 5 Hal. 455.
Begitu juga orang yang akan berzina dengan pelacur harus sepakat
atas bayaran dan waktu, karena waktu yang leibh panjang menuntut
bayaran lebih pula. Pelacur tidak akan mau melayani ketika tidak
ada kesepakatan atas bayaran dan waktu. Sekali lagi kita menemukan
persamaan antara nikah mut’ah dan pelacuran.
3. Batas minimal “mahar” nikah mut’ah.
Dalam nikah mut’ah ada batasan minimal mahar, yaitu segenggam
makanan berupa tepung, gandum atau korma. Al Kafi Jilid. 5 Hal. 457.
Sedangkan dalam pelacuran tidak ada batas minimal bayaran, besarnya
bayaran tergantung dari beberapa hal. Kita lihat disini perbedaan
antara mut’ah dan pelacuran hanya pada minimal bayaran saja, tapi
baik mut’ah maupun pelacuran tetap mensyaratkan adanya bayaran.
Banyak cerita yang kurang enak mengisahkan mereka yang berzina
dengan pelacur tapi mangkir membayar.
4. batas waktu mut’ah
tidak ada batasan bagi waktu nikah mut’ah, semua tergantung
kesepakatan. Bahkan boleh mensepakati waktu mut’ah walau untuk
sekali hubungan badan.
Dari Khalaf bin Hammad dia berkata aku mengutus seseorang untuk
bertanya pada Abu Hasan tentang batas minimal jangka waktu mut'ah?
Apakah diperbolehkan mut'ah dengan kesepakatan jangka waktu satu
kali hubungan badan? Jawabnya : ya. Al Kafi . Jilid. 5 Hal. 460
Begitu juga tidak ada batasan waktu bagi pelacuran, dibolehkan
menyewa pelacur untuk jangka waktu sekali zina, atau untuk jangka
waktu seminggu, asal kuat membayar saja. Demikian juga nikah mut’ah.
5. Boleh nikah mut’ah dengan wanita yang sama berkali-kali.
Suami istri diberi kesempatan untuk tiga kali talak, setelah itu si
istri harus menikah dengan lelaki lain. Tidak demikian dengan nikah
mut’ah, orang boleh nikah mut’ah dengan wanita yang sama
berkali-kali, asal tidak bosan saja. Karena wanita yang dinikah
secara mut’ah pada hakekatnya sedang disewa tubuhnya oleh si
laki-laki. Sama persis dengan pelacuran.
Dari Zurarah, bahwa dia bertanya pada Abu Ja'far, seorang laki-laki
nikah mut'ah dengan seorang wanita dan habis masa mut'ahnya lalu dia
dinikahi oleh orang lain hingga selesai masa mut'ahnya, lalu nikah
mut'ah lagi dengan laki-laki yang pertama hingga selesai masa
mut'ahnya tiga kali dan nikah mut'ah lagi dengan 3 lakii-laki apakah
masih boleh menikah dengan laki-laki pertama? Jawab Abu Ja'far : ya
dibolehkan menikah mut'ah berapa kali sekehendaknya, karena wanita
ini bukan seperti wanita merdeka, wanita mut'ah adalah wanita
sewaan, seperti budak sahaya. Al Kafi jilid 5 hal 460
Begitu juga orang boleh berzina dengan seorang pelacur semaunya,
tidak ada batasan.
6.Tidak usah bertanya menyelidiki status si wanita
Laki-laki yang akan nikah mut’ah tidak perlu menyelidiki status si
wanita apakah dia sudah bersuami atau tidak. Begitu juga orang tidak
perlu bertanya pada si pelacur apakah dia bersuami atau tidak ketika
ingin berzina dengannya.
Dari Aban bin Taghlab berkata: aku bertanya pada Abu Abdullah, aku
sedang berada di jalan lalu aku melihat seorang wanita cantik dan
aku takut jangan-jangan dia telah bersuami atau barangkali dia
adalah pelacur. Jawabnya: ini bukan urusanmu, percayalah pada
pengakuannya. Al Kafi . Jilid. 5 Hal. 462
7. Hubungan warisan
Nikah mut’ah tidak menyebabkan terbentuknya hubungan warisan,
artinya ketika si “suami” meninggal dunia pada masa mut’ah maka si
“istri” tidak berhak mendapat warisan dari hartanya.
Ayatullah Udhma Ali Al Sistani dalam bukunya menuliskan : Masalah
255 : Nikah mut'ah tidak mengakibatkan hubungan warisan antara
suami dan istri. Dan jika mereka berdua sepakat, berlakunya
kesepakatan itu masih dipermasalahkan. Tapi jangan sampai
mengabaikan asas hati-hati dalam hal ini. Minhajushalihin. Jilid 3
Hal. 80
Begitu juga pelacur tidak akan mendapat bagian dari harta “pasangan
zina”nya yang meninggal dunia.
8. Nafkah
Istri mut’ah yang sedang disewa oleh suaminya tidak berhak mendapat
nafkah, si istri mut’ah hanya berhak mendapat mahar yang sudah
disepakati sebelumnya. Bayaran dari mut’ah sudah all in dengan
nafkah, hendaknya istri mut’ah sudah mengkalkulasi biaya hidupnya
baik-baik sehingga bisa menetapkan harga yang tepat untuk mahar
mut’ah.
Ayatollah Ali Al Sistani mengatakan:
Masalah 256 : Laki-laki yang nikah mut'ah dengan seorang wanita
tidak wajib untuk menafkahi istri mut'ahnya walaupun sedang hamil
dari bibitnya. Suami tidak wajib menginap di tempat istrinya kecuali
telah disepakati pada akad mut'ah atau akad lain yang mengikat.
Minhajus shalihin. Jilid 3 hal 80.
Begitu juga laki-laki yang berzina dengan pelacur tidak wajib
memberi nafkah harian pada si pelacur.
Sumber: hakekat |