Ustadz Syi’ah Doyan Mut’ah?
Ali: Nikah Mut'ah adalah
Haram! Tetapi seluruh ulama dan
ustadz syi'ah yang ada melanggar larangan Ali dan memfatwakan
halalnya nikah mut'ah, bahkan mencari kambing hitam bahwa yang
mengharamkan adalah Umar, jangan-jangan...... ah.. lihat aja
selengkapnya..
Salah satu syarat untuk mencapai
kesimpulan yang tepat adalah adanya data yang lengkap, di mana
adanya kekurangan data pada bagian yang sangat vital dapat
mempengaruhi pikiran yang akhirnya berperan membuat paradigma yang
keliru terhadap suatu hal. Paradigma yang keliru membuahkan sikap
yang keliru yang berefek pada perbuatan yang keliru pula. Sebagai
seorang yang mencari kebenaran tentang suatu hal, kita mutlak harus
mengetahui semua data yang ada sebelum mengambil keputusan untuk
bersikap dan berpihak pada suatu pendapat. Tidak peduli data itu
kecil atau besar, setiap data yang ada mutlak diperlukan dan
diketahui oleh seorang yang sedang membahas sesuatu.
Kita bisa mengilustrasikan hal ini dengan kisah si kapten kapal yang
melihat lampu, yang mana si kapten mengira lampu itu adalah lampu
dari kapal yang berada di posisi dekat dengan kapalnya. Kapten kapal
segera meminta "kapal" yang ada di depannya untuk mengalihkan kemudi
agar tidak terjadi tabrakan. Tetapi ketika terdengar suara "kami
mercu suar" dari radio komunikasi segera si kapten mengalihkan
kemudi menghindari lampu itu, karena dia barusan mendapat data bahwa
lampu itu adalah mercu suar. Kisah serupa kita temui sehari-hari
dalam kehidupan kita, ketika ada anak kecil yang bermain dengan
pisau dan pisau itu kita ambil, dia marah karena tidak memahami data
yang penting, yaitu pisau dapat melukai tubuhnya. Seiring dengan
bertambahnya usia paradigma si anak mulai berubah, ketika dia tahu
bahwa pisau dapat melukai tubuh, dia tidak akan bermain-main dengan
pisau lagi. Inilah pentingnya data dalam kehidupan kita.
Seringkali kita menjadi korban dari data yang tidak lengkap, kita
salah mengambil kesimpulan dan bersikap karena data yang ada pada
kita tidak lengkap. Di sini perlu kita perhatikan peranan media
massa dalam pembentukan opini, tidak jarang media massa bermain
dengan data untuk mengarahkan pembaca pada opini tertentu. Contohnya
adalah penggiringan opini massa di USA saat menjelang perang Iraq,
di mana media massa gencar mengkampanyekan "data" berupa temuan
senjata pemusnah massal di Irak yang digunakan untuk mengancam dunia.
Akhirnya banyak masyarakat yang tertipu dan mendukung perang Irak.
Di kemudian hari, ternyata perang Irak memberi dampak yang sangat
negatif pada USA sendiri. Cara-cara demikian sering digunakan di
mana-mana untuk mempengaruhi opini pembaca. Masih banyak lagi contoh
di media massa yang sengaja memuat data yang tidak lengkap demi
mempengaruhi opini massa.
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (QS.
107:4)
Begitulah Allah mengancam mereka yang shalat dalam Al Qur’an.
Setelah membaca ayat di atas mungkin pembaca mengalami kebingungan,
karena bagaimana Allah mengancam orang yang mendirikan shalat,
sedangkan dalam Al Qur’an banyak sekali ayat yang memerintahkan
shalat. Membaca ayat di atas dapat membuat pembaca memiliki
paradigma yang keliru terhadap shalat, ada juga pembaca yang bingung,
Tetapi pembaca tidak akan bingung dan memiliki paradigma keliru
terhadap shalat ketika membaca ayat selanjutnya. Karena ayat
selanjutnya berbunyi:
(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya. (QS. 107:5)
orang-orang yang berbuat riya. (QS. 107:6)
artinya, yang celaka adalah orang yang shalat,
namun lalai dalam shalatnya, juga orang yang riya dalam shalat,
yaitu tidak meluruskan niat shalat karena mencari keridhoan Allah,
tetapi hanya agar nampak alim atau niat-niat lainnya. Dengan membaca
ayat yang tidak lengkap, seseorang bisa saja enggan shalat karena
terancam akan celaka, karena dapat membentuk paradigma yang keliru
yaitu setiap orang yang shalat akan celaka, tetapi setelah membaca
lanjutannya, baru orang dapat memiliki pemahaman yang benar.
Inilah contoh kecil dari pentingnya kita mendapatkan data yang
lengkap tentang sebuah masalah. Sementara itu Allah melarang kita
untuk mengambil sebagian ajaran Islam dan membuang sebagian yang
lain, karena dengan praktek demikian kita hanya melaksanakan
sebagian ajaran Islam dan meninggalkan ajaran Islam yang lain.
Ajaran Islam termanifestasikan dalam ayat-ayat Al Qur’an dan
ajaran-ajaran Nabi SAW, sesuai dengan syahadat kita Syahadat Tauhid
dan Syahadat Rasul. Mengambil sebagian ayat atau hadits Nabi SAW dan
mengabaikan hadits lain yang membahas tentang sebuah topik tertentu
menyebabkan kita kehilangan gambaran utuh dari topik itu, malah bisa
jadi gambaran yang kita dapatkan bertolak belakang dari apa yang
dimaksud dalam Al Qur’an.
Biasanya penulis syi'ah mengemukakan riwayat dari sahabat Jabir yang
mendengar Umar melarang nikah mut'ah. Riwayat ini tercantum dalam
kitab Shahih Bukhari dan Muslim
Salah satu contoh nyata adalah dalam masalah nikah mut'ah.
Membahas masalah nikah mut'ah, kita sering mendapati data yang
ditampilkan sangat sedikit dari seluruh data yang ada mengenai
pembahasan nikah mut'ah. Sehingga kurangnya data itu membuahkan
kesimpulan yang keliru tentang nikah mut'ah.
Biasanya hadits yang ditampilkan hanyalah hadits yang mendukung
pendapat si penulis, yang ingin menggiring pembaca pada kesimpulan
yang diinginkanny, agar pembaca yakin bahwa nikah mut’ah dihalalkan
oleh Allah dan RasulNya, sedangkan yang mengharamkan adalah Umar
sendiri. Sementara hadits yang tidak sesuai dengan keinginan si
penulis sengaja tidak ditampilkan, padahal hanya berjarak beberapa
halaman dari hadits yang dimuat oleh penulis.
Biasanya dalil yang dikemukakan adalah riwayat Jabir bin Abdillah :
Dari Abu Zubair, saya mendengar Jabir bin Abdillah Al Anshari
mengatakan, dulu kami melakukan nikah mut’ah dengan bayaran
segenggam korma dan tepung, selama beberapa hari semasa hidup
Rasulullah SAW, dan pada masa kekhalifahan Abubakar, sampai kemudian
Umar melarangnya, berkaitan dengan Amr bin Huraits. Riwayat Muslim
hadits no 3482
Begitu juga riwayat dari Jabir dan Salamah bin Al Akwa’:
Dari Jabir bin Abdillah dan Salamah bin Al Akwa’ mengatakan: datang
kepada kami utusan Rasulullah SAW lalu mengatakan: Rasulullah SAW
telah mengijinkan kalian untuk nikah mut’ah. Shahih Muslim hadits no
3479
Ada lagi riwayat dari Jabir:
Atha’ mengatakan: Jabir datang ke kota Makkah untuk melakukan ibadah
umrah, lalu kami berkunjung ke rumahnya lalu dia ditanya tentang
beberapa hal di antaranya tentang mut’ah lalu dia menjawab: Ya, kami
melakukan nikah mut’ah pada jaman Nabi SAW, Abubakar dan Umar.
Shahih Muslim hadits no 3481
Inilah dalil yang biasa digunakan oleh para ustadz syi’ah dan ulama
syi’ah untuk menggiring opini pembaca agar meyakini bahwa nikah
mut’ah adalah halal, serta menunjuk Umar bin Khattab sebagai kambing
hitam yang konon mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah dan
RasulNya.
Dampaknya kita lihat di sekitar kita banyak wanita muslimah yang
melakukan nikah mut’ah dengan anggapan bahwa mut’ah adalah halal,
hanya diharamkan oleh Umar.
Dari mana ustadz syi’ah menemukan dalil-dalil itu? Tentunya dengan
merujuk pada kitab aslinya, yaitu shahih Muslim, karena setiap saat
ustadz syi’ah selalu mengajak ornag agar berpikir bebas dan ilmiah,
sedangkan milai ilmiah menuntut kita agar merujuk ke kitab asli
dalam menukil.
Setelah merujuk pada kitab shahih Muslim, kita menemukan riwayat
dari salah satu imam syi’ah yaitu Ali bin Abi Thalib, hanya selang
beberapa halaman saja dari riwayat yang sering dinukil oleh ustadz
syi’ah:
Dari Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib dan Hasan bin
Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, dari ayahnya (Muhammad) dari Ali
bin Abi Thalib bahwa Rasulullah SAW melarang nikah mut’ah dan
memakan daging keledai jinak saat perang Khaibar. Shahih Muslim,
riwayat no 3497
Dari Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib dan Hasan bin
Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, dari ayahnya (Muhammad) dari Ali
bin Abi Thalib, dia mendengar kabar bahwa Ibnu Abbas memperbolehkan
nikah mut’ah, lalu Ali mengatakan: tunggu dulu wahai Ibnu Abbas,
sungguh Rasulullah SAW telah mengharamkan nikah mut’ah dan
mengharamkan daging keledai jinak saat perang Khaibar. Shahih Muslim
hadits no 3500
Dari Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib dan Hasan bin
Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, dari ayahnya (Muhammad) , dia
mendengar Ali bin Abi Thalib mengatakan pada Ibnu Abbas terkait
nikah mut’ah, bahwa Rasulullah SAW telah mengharamkan nikah mut’ah
dan daging keledai jinak saat perang Khaibar. Shahih Muslim hadits
no 3501
Kita perhatikan, hadits yang membolehkan mut’ah adalah nomor 3479
3481 dan 3482, sementara riwayat dari imam syi’ah yang (menurut
syi’ah) terbebas dari salah dan lupa adalah nomor 3497,3500 dan
3501.
Riwayat dari Ali akan merubah paradigma kita tentang nikah mut’ah,
sekaligus menjawb keraguan yang mungkin muncul mengenai nikah mut’ah
yang dibolehkan lalu diharamkan. Seperti dikatakan oleh Ali saat
menjelaskan pada Ibnu Abbas yang belum mendengar Rasulullah SAW
mengharamkan nikah mut’ah. Ibnu Abbas yang belum mendengar lalu
mengikuti Ali yang telah mendengar keputusan Rasulullah SAW.
Sebaliknya ustadz syi’ah berusaha meyakinkan orang bahwa Rasulullah
SAW tidak pernah melarang nikah mut’ah, yang melarang adalah Umar.
Selang beberapa halaman saja kita sudah menemukan riwayat yang
melarang nikah mut’ah. Tetapi anehnya, riwayat-riwayat ini tidak
pernah dibahas oleh ustadz syi’ah.
Pertanyaan yang muncul, apakah ustadz syi’ah belum membaca riwayat
dari Ali? Atau riwayat dari Keluarga Nabi SAW sengaja disembunyikan
oleh ustadz syi’ah agar pembaca memiliki paradigma yang keliru
tentang nikah mut’ah?
Jika ustadz syi’ah tidak menelaah kitab hadts lebih dalam, dan
mengeluarkan fatwa yang serampangan, maka kita perlu meragukan
validitsa seluruh ulama syi’ah, karena kita akan melihat seluruh
ulama syi’ah menghalalkan nikah mut’ah dan mengabaikan riwayat dari
Ali, salah satu dari 12 imam yang diyakini syi’ah sebagai maksum dan
tidak pernah keliru, hanya didasari oleh penelitian yang dangkal.
Mengapa mereka tidak menelaah dalam-dalam? Apakah karena malas atau
karena kitab Shahih Muslim tidak tersedia di pasaran seperti kitab
Biharul Anwar, Al Kafi dan Mafatihul Jinan?
Jika ustadz syi’ah menyembunyikan kebenaran yang diucapkan oleh
imamnya sendiri ketika tidak sesuai dengan kepentingan, maka ini
tidak jauh beda dengan perbuatan ulama ahli kitab yang
menyembunyikan kebenaran yang tercantum dalam kitab suci mereka
tentang kenabian Muhammad SAAW.
Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al-Kitab
(Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal
anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka
menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui. (QS. 2:146)
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami
turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk,
setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka
itu dila'nati Allah dan dila'nati (pula) oleh semua (makhluk) yang
dapat mela'nati, (QS. 2:159)
Bagaimana dengan Umar? Ternyata dia hanya bertaklid buta pada
Rasulullah SAW dan Ali bin Abi Thalib. Dia hanya mengikuti keputusan
Imam Ali yang maksum dan tak mungkin keliru dan lupa.
Bagaimana dengan anda? Apakah anda memilih keputusan Nabi yang
diikuti oleh imam syi’ah yang maksum? Atau siapa yang anda ikuti?
Mengikuti ustadz syi’ah yang tidak maksum [juga doyan mut’ah]
berarti mengambil resiko besar, ketika ajarannya menyimpang dari
keputusan imam maksum.
Tinggal satu pertanyaan lagi, mengapa para ulama dan ustadz syi’ah
bersikeras menyelisihi keputusan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib
yang dianggap maksum?
Jangan-jangan para ulama dan ustadz syi’ah doyan mut’ah, tapi ini
jangan-jangan lho…
Jika tidak doyan mut’ah mengapa mereka bersikeras melanggar ucapan
Ali?
sumber:
hakekat dot com |