Apakah Abu Bakar membuat Fatimah murka?
Dan apakah Fatimah berhak mendapat warisan ?
Kaum Rafidhoh banyak mengatakan bahwa Abubakar telah membuat Fatimah marah, barang siapa membuat Fatimah marah sesungguhnya dia telah membuat Nabi marah, berarti Abubakar telah membuat Nabi murka…
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadist Almiswar bin Makhromah berkata : “Ali melamar putri Abu Jahal, lalu Fatimah mendengarnya lantas ia menemui Rasul Saw berkatalah Fatimah : kaummu meyakini bahwa engkau tidak pernah marah karena putrimu; Ali menikahi putri Abu Jahal, maka berdirilah Rasulullah Saw dan saya mendengar ketika dia membaca dua kalimat syahadat lalu berkata : aku menikahkan anakku dengan Abul As bin Robi’ dan diatidak membohongiku, sesunggunhya Fatimah itu bagian dari saya, dan saya sangat membenci orang yang membuatnya marah. Demi Allah putri Rasulullah dan putri musuh Allah tidak pernah akan berkumpul dalam naungan seorang laki-laki maka kemudian Ali membatalkan (lamaran itu)”. diriwayatkan Bukhori[1] dan Muslim[2].
Riwayat lain (sesungguhnya Rasulullah Saw berkata : Fatimah adalah bagian dari diriku, barang siapa membuatnya marah berarti berarti telah membuatku marah) HR Buchori (Fadhoilu Shahabat) [3]
Maka tampak jelas bahwa sebab Nabi mengatakan seperti hadis di atas adalah karena Ali melamar putri Abu Jahal dan membuat Fatimah marah. Sebuah lafal yang umum[4] termasuk mencakup sebab terjadinya atau dikatakannya lafal tersebut, dan Hadits di atas adalah lafal yang jelas tentang masalah ini, dan tidak boleh mengecualikan peristiwa Ali melamar putri Abu Jahal di atas dengan dalil takhsis, karena lafal hadits ditujukan pertama kali untuk peristiwa yang membuat hadits tersebut disabdakan oleh Nabi….[5]
Dengan ini bila hadis diterapkan pada setiap orang yang membenci Fatimah maka Ali adalah orang pertama yang terkena ancaman di atas.
Syaikhul islam Ibnu Taimiyyah berkata seputar penolakannya terhadap Rafidhoh dalam permasalahan. Hadist ini disebabkan lamaran Ali terhadap putri Abu Jahal, penyebab yang masuk dalam sebuah Lafadh itu jelas termasuk di dalamnya, dimana setiap lafadh yang berlaku pada suatu sebab tidak boleh dikeluarkan penyebabnya bahkan penyebab harus masuk menjadi makna lafadh hadits .
Disebutkan dalam sebuah hadist (apa yang meragukannya menjadikanku ragu dan yang menyakitkannya menyakitkanku).
Dan yang telah dapat dipahami dengan pasti adalah bahwa lamaran terhadap putri Abu Jahal adalah menyakitkan Fatimah. Nabi Saw juga merasa sakit karena Fatimah sakit hati. Apabila ini merupakan sebuah ancaman maka Ali bin Abi Thalib juga terancam hal ini dan bila bukan sebuah ancaman yang harus ditimpakan pada pelakunya maka Abu Bakar tidak layak terancam karena telah menyakiti Fatimah[6].
Terbukti dari banyak riwayat bahwa Fatimah setelah peristiwa itu telah memaafkan Abu Bakar dan mati dalam keadaan tidak memusuhi Abubakar. Berdasarkan riwayat Baihaqi dengan sanad dari Sya’bi ia berkata : Tatkala Fatimah sakit Abu Bakar menengok dan meminta izin kepadanya, Ali berkata wahai Fatimah ini Abu Bakar minta izin. Fatimah berkata apakah kau setuju aku mengijinkan, Ali berkata ya. Maka Fatimah mengijinkan maka Abu Bakar masuk lalu meminta kerelaan Fatimah terhadap dirinya. Abu Bakar berkata : Demi Allah saya tidak meninggalkan harta, rumah, keluarga, kerabat kecuali semata-mata karena mencari ridho Allah, Rosulnya dan kalian wahai keluarga Nabi. Lalu Fatimah memaafkan dan meridhoi Abubakar (Assunah Al Kubro Lilbaihaqi 6/301)
IBNU KATSIR berkata. Sanad ini kuat dan baik, Amir AsSya’bi mendengarnya dari Ali atau dari seseorang yang mendengarnya dari Ali. (Al Bidayah Wannihaayah 5/252)
Dengan demikian terbantah sudah cacian Rafidhoh terhadap Abu Bakar yang dikaitkan dengan marahnya Fatimah terhadapnya dan bila memang Fatimah marah pada awalnya namun kemudian sadar dan meninggal dalam keadaan rela, maka orang yang mencintai Fatimah tetap harus cinta dan ridho terhadap orang yang diridhoidan dicintai Fatimah.
Hal ini tidak berlawanan dengan apa yang tersebut dalam hadist Aisyah yang : “Sesungguhnya ia marah pada Abu Bakar dan tidak mengajaknya bicara sampai akhir hayatnya” hal ini sebatas pengetahuan Aisyah saja. Sedang hadist riwayat Sya’bi menambahkan pada kita sesuatu yang tidak diketahui oleh Aisyah yaitu Abubakar berkunjung ke rumah Fatimah dan meminta maaf dan kerelaan Fatimah, Aisyah dalam hal ini menafikan dan Asya’bi menetapkan.
Telah diketahui oleh para ulama bahwa ucapan yang menetapkan suatu perkara didahulukan dari pada yang menafikannya, karena hal itu mungkin terjadi tanpa sepengetahuan orang yang menafikannya, terutama hal ini yaitu kunjungan Abu Bakar terhadap Fatimah bukan suatu peristiwa yang besar dan terkenal di masyarakat.
Apa yang diungkapkan ulama tentang Fatimah adalah bahwa ia sama sekali tidak sengaja mendiamkan Abu Bakar. Rasul pun telah melarang mendiamkan seseorang lebih tiga hari. Sedang Fatimah tidak berbicara dengannya karena memang sedang tidak ada keperluan yang mengharuskan Fatimah untuk berbicara dengan Abubakar.
Qurtubi menjelaskan seputar hadist Aisyah : sesungguhnya Fatimah tidak bertemu dengan Abu Bakar karena kesibukannya dalam musibah kematian Rasulullah dan karena dia selalu berada di rumah, perowi hadits ini menggambarkan dengan lafal yang mengandung makna memutuskan hubungan. Sedangkan Rosul telah berkata bahwa tidak diperbolehkan bagi orang islam untuk memutuskan hubungan dengan saudaranya lebih dari tiga hari. Padahal Fatimah orang yang paling tahu apa yang dihalal dan haramkan. Juga orang yang paling jauh dari menyelisihi hadits Rosul.( Hadist Al Bukhori. R. Abi Ayyub Al Anshori Ra) [7].
Imam Nawawi menambahkan : “ tentang apa yang disebutkan dalam lafal hadits bahwa Fatimah tidak bertemu dan memutuskan hubungan dengan Abubakar, maknanya adalah Fatimah tidak bertemu dengan Abubakar, jadi bukan termasuk yang dilarang, yaitu sengaja memalingkan muka ketika bertemu. Perkataan rowi dala hadits ini (tidak mengajaknya bicara) maksudnya mengajak bicara dalam masalah ini, dan Fatimah merasa tidak perlu mengajak Abubakar bicara.[8]
Satu lagi bukti nyata, yaitu Asma’ binti Umais, istri Abubakar, dialah yang memandikan jenazah Ftimah.
Dengan demikian tampaklah yang benar dalam masalah ini dan hancurlah kebatilan yang dituduhkan oleh Syiah Rafidhoh, dan terjawab sudah apa yang dicaci makikan oleh Rafidhoh terhadap hubungan Fatimah dan Abu Bakar. Dan apa yang terjadi di antara mereka berdua adalah tidak lebih dari perbedaan dalam masalah fiqhiyah.
Tertulis dalam kitab-kitab Syiah Rafidhoh berkenaan dengan asal masalah tempat tinggal dan warisan, diantara catatan yang paling penting adalah bahwa wanita-wanita itu tidak mendapatkan warisan rumah tinggal. Ini menjadi hujjah yang kuat, tidak dapat diingkari, mengingkari hujjah ini seperti tidak percaya dengan terbitnya matahari di siang bolong.
1. Berkatalah Muhammad bin Husain dari Jafar bin Basyir dari Husein dari Abu Mikhlad dari Abdul Malik berkata : suatu hari Abu Jafar menyuruh Ja’far mengambilkan tulisan Ali, lalu Ja’far membawanya, tulisan itu sebesar paha manusia, dalam tulisan itu berbunyi “Bahwa para kaum wanita itu tidak berhak medapatkan warisan rumah bila ditinggal mati oleh ayah atau suaminya”. Abu Jafar berkata demi Allah ini adalah tulisan tangan Ali yang didiktekan Rasulullah. (Biharul Anwar juz 26 hal-514)
2. Dari Ali dari ayahnya, dari Jamil dari Zurarah dan Muhammad bin Muslim dari Abi Jafar berkata “Wanita-wanita itu tidak dapat mewarisi tanah dan bangunan(Al Kaafi juz 7 hal 128) -
- Bagaimana Fatimah menuntut sesuatu yang bukan haknya, dan menuntut sesuatu yang diharamkan bagi seluruh wanita, berdasarkan mazhab Rafidhah seperti nukilan di atas?
- Kenapa Fatimah menuntut Abu Bakar untuk melaksanakan sesuatu yang haram, yaitu memberikan warisan tanah pada wanita?
- Kenapa tidak mengikuti perintah-perintah Rasul setelah menuntut warisan ?
- Apakah Fatimah keliru wahai Rafidhoh ?
Syiah berkata bahwa Abu Bakar telah berbeda pendapat dengan ayat yang tertera dalam surat Annisa’ :
Dan membuat argumentasi dengan ayat
Dan Sulaiman telah mewarisi Daud (27:16)
Dan ayat doa Zakariya terhadap Allah agar mengaruniakan padanya seorang anak.
yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya'qub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai".(19:6)
Jawabnya adalah bahwa ayat tersebut khusus dan juga kisah Sulaiman dan Zakariya tidak berkaitan dengan kepentingan harta benda.
Namun orang-orang Syiah memahami secara umum tanpa menghiraukan pengecualian kemudian mereka mencaci maki Abu Bakar karena tidak memberikan pada Fatimah Azzahroh harta peninggalan ayahnya. Menurut Syiah Fatimah pernah berkata : “wahai anak Abi Quhafah engkau telah mewarisi dari ayahmu sedang saya tidak mendapat warisan dari ayahku”.
Syi’ah mengatakan berita ini hanya diriwayatkan oleh Abubakar saja, kalaupun ada perowi lain yang meriwayatkan, berita ini dianggap tidak Mutawatir bahkan ahad maka tidak boleh mentahsis Al Qur’an dengan Khobar Ahad dengan dasar bahwa Umar bin Khattab menolak berita Fatimah binti Qois bahwa mantan suaminya tidak memberi rumah dan nafkah, karena mengkhususkan ayat dalam surat Attolaq ayat 6 :
Berilah mereka tempat tinggal
Lalu Umar berkata : “ apakah kita tinggalkan Al Qur’an hanya karena berita yang dibawa oleh seorang perempuan?” jika memang diperbolehkan mentakhsis Al Qur’an dengan khabar Ahad pasti Umar akan menerima berita dari Fatimah tsb. Dan juga Al Qur’an, jelas Qat’i dan khabar Ahad statusnya adalah dhanni dan pendapat di atas mengharuskan kita meninggalkan yang Qat’i dan memegang dalil dhanni. Sebuah bukti lagi bahwa hadits itu adalah bohong, ayat-ayat Al Qur’an yang mengisahkan Doa Nabi Zakaria As agar Allah memberikan warisan kepadanya dan keluarga Ya’kub As, dengan ini jelas bahwa para Nabi itu mewarisi dan mewariskan.
Jawabnya : Bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Khudzaifah bin Alyaman, Zubair bin Awam, Abu Darda’, Abu Hurairah, Al Abbas, Ali, Usman, Abdurrahman bin Auf dan Sa’ad bin Abi Waqas.
Telah diriwayatkan oleh Bukhori dari Malik bin Aus bin Alhadatsan bahwa Umar bin Khattab Ra berkata di depan para sahabat dimana ada Ali, Abbas, Ustman, Adurrahman bin Auf, Zubair bin Awam Sa’ad Ibnu Abi Waqas : Saya bersumpah demi Allah yang dengan ijinnya wujudlah langit dan bumi tahukan kalian bahwa Rasulullah Saw berkata kami tidak mewariskan yang kami tinggalkan sebagai sedekah? Mereka menjawab benar, kemudian menghadap kearah Ali dan Abbas dan berkata saya bersaksi kepada Allah apakah kalian mendengar bahwa Rasul pernah berkata begitu, keduanya berkata ya.
Maka pendapat bahwa hadits itu tidak ada yang tahu kecuali Abu Bakar adalah pendapat yang lemah. Riwayat yang terdapat dalam literatur Syiah menguatkan hal di atas, sebagaimana diriwayatkan Al Kulaini dalam kitab Al Kaafi dari Abul Bukthturi dari Abi Abdillah Jafar Asshodik sesungguhnya ia berkata sesungguhnya ulama itu pewaris para Nabi, para Nabi tidak mewariskan dirham atau dinar melainkan mewariskan hadist barang siap telah mendapatnya berarti telah mendapat bagian yang sempurna.
Kata “innama” adalah berarti pembatasan, maka para nabi tidak mewariskan sesuatu kecuali ilmu dan hadits.
Para Ahli sejarah dan ahli hadits bersepakat bahwa orang-orang yang dianggap ma’sum oleh Syi’ah dan terpercaya bagi Ahlussunnah melaksanakan hadits nabi di atas, ketika mereka mengurus warisan nabi tersebut, ahli waris nabi yaitu Al Abbas bin Abdul Muttolib dan istri Nabi tidak diberi bagian dari harta peninggalan Nabi, karena bila memang Nabi mewariskan harta pasti semua mereka mendapat bagian. Dengan ini jelaslah bahwa masalah warisan Nabi tidak dibagikan pada ahli warisnya menjadi mutawatir, sedangkan diketahui bahwa mentakhsiskan ayat Qur’an dengan hadits mutawatir adalah boleh. Jika memang hadits ini tidak mutawatir, berarti Ahad, dan mentakhsiskan ayat dengan hadits ahad juga diperbolehkan. Inilah pendapat yang benar dan disepakati oleh empat Imam mazhab. Sebagai bukti bahwa hal ini dibolehkan, sahabat Nabi mentakhsiskan ayat warisan dengan hadits Nabi yang menerangkan bahwa Nabi tidak mewariskan sesuatu, sementara itu tidak ada seorang sahabat pun yang mengingkari hal ini, oleh karena itu hal ini menjadi ijma’(kesepakatan) sahabat.
Ayat lain yang ditakhsis dengan hadits nabi adalah surat Annisa ayat 42 :
Dan dihalalkan bagimu selain yang disebut di atas
Termasuk dibolehkan menikahi seorang wanita dan bibinya sekaligus, lalu ayat ini ditakhsis dengan hadits nabi yang berbunyi :
Jangan kalian nikahi seseorang dengan bibinya sekaligus
Dan syiah telah mentakhsis banyak sekali ayat dengan hadits ahad, mereka tidak mewariskan tanah dan bangunan pada anak perempuan dan istri serta memberikan harta peninggalan mayyit yang berupa pedang, mushaf, cincin dan pakaian hanya untuk anak laki-laki tertua. Mereka mendasarkan pendapatnya barusan dengan hadits-hadits ahad yang hanya ada di periwayatan Syi’ah walaupun riwayat itu tidak sesuai dengan isi ayat yang umum mencakup semua peninggalan mayyit.
Mereka yang melarang mentakhsis ayat dengan dalil hadits Umar dapat dibantah bahwa Umar menolak riwayat dari Fatimah binti Qois hanya karena masih ragu tentang kebenaran berita itu, oleh karena itu Umar berkata : apakah kita tinggalkan Al Qur’an hanya karena berita yang dibawa oleh seorang perempuan yang kita tidak tahu apakah beritanya itu benar atau tidak”. Jelas di sini Umar menolak hanya karena masih ragu kebenaran berita itu dari Fatimah binti Qois bukan karena berita itu hanya berasal dari Fatimah bin Qois. Sementara pernyataan bahwa dengan mentakhsis maka kita telah meninggalkan nas text Al Qur’an yang jelas Qot’i dengan dasar hadits yang dhanni tidak dapat diterima karena yang ditakhsis adalah dilalah atau kesimpulan yang diambil dari ayat itu, karena takhsis di sini adalah menafikan kesimpulan ayat ini pada beberapa kondisi khusus, maka takhsis ini tidak dapat dianggap sebagai meninggalkan text Al Qur’an yang qat’i dan mengambil hadits yang dhanni, sebenarnya hal ini adalah meninggalkan perkara yang dhanni dengan sesuatu dhanni yang lain. Apa yang selalu dikemukakan oleh Syi’ah yaitu dua ayat yang dianggap menyelisihi hadits di atas sangatlah lemah karena pewarisan yang dimaksud oleh ayat di atas adalah pewarisan ilmu, kenabian dan kesempurnaan jiwa bukannya pewarisan harta dan barang. Salah satu yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dalam ayat di atasa adalah pewarisan ilmu adalah sebuah riwayat yang disampaikan oleh Kulaini dalam kitab Al Kafi dari Abu Abdillah bahwa Sulaiman mewarisi Dawud dan Nabi Muhammad mewarisi Sulaiman. Jika yang dimaksud adalah pewarisan harta, maka tidak mungkin Nabi mewarisi harta Nabi Sulaiman, karena Nabi Muhammad bukanlah termasuk ahli waris Nabi Sulaiman, para ahli sejarah juga menyebutkan bahwa Nabi Dawud memiliki 19 orang anak yang semuanya termasuk ahli waris yang berhak mewarisi harta peninggalan Nabi Dawud, maka tidak ada maknanya jika hanya Nabi Sulaiman yang disebutkan dalam ayat jika yang dimaksud warisan dalam ayat adalah warisan harta, karena tidak hanya Nabi Sulaiman saja yang berhak mewarisi harta Nabi Dawud. Kecuali yang dimaksud adalah warisan kenabian, dan memang yang menjadi nabi di antara anak nabi Dawud hanyalah Nabi Sulaiman. Juga pewarisan harta antara ayah dan anak bukanlah sesuatu yang luar biasa, semua orang mewarisi harta ayahnya, bagaimanapun sifatnya, apakah dia seorang yang saleh ataupun ahli maksiat, seluruhnya berhak mewarisi harta peninggalan. Apa perlunya menyebutkan bahwa nabi Sulaiman mewarisi harta Nabi Dawud dalam konteks ayat yang menyebutkan kelebihan dan keutamaan Nabi Dawud?
Dalam ayat kedua[9], nabi Zakaria berdoa meminta buah hati pada Allah agar dapat mewariskan keluarga Nabi Ya’qub. Jika yang dimaksud adalah mewarisi harta, dan yang dimaksud dengan keluarga Nabi Ya’qub adalah Nabi Zakaria sendiri, berarti harta warisan Nabi Ya’qub belum dibagikan pada seluruh ahli warisnya, padahal nabi Zakaria hidup sekitar 2000 tahun setelah wafatnya Nabi Ya’qub.
Jika yang dimaksud dari keluarga Ya’qub adalah anak-anaknya, maka Nabi Yahya menjadi ahli waris dari seluruh Bani Israil yang masih hidup saat itu maupun yang telah wafat, dan ini lebih mustahil dari sebelumnya.
Jika yang dimaksud adalah sebagian anaknya, atau yang dimaksud dengan Ya’qub bukanlah Nabi ya’qub yang dikenal dengan anak Ishaq, akan timbul sebuah pertanyaan : apa gunanya disebutkan dalam doa nabi Zakaria bahwa anak ini akan mewarisi harta dirinya dan harta keluarga Ya’qub, sedangkan telah diketahui bahwa dalam ajaran seluruh agama yang ada, seorang anak akan mewarisi harta ayahnya, dan juga pewaris adalah sebuah makna yang difahami dari makna kalimat “waliy” atau anak, juga saat nabi Zakaria meminta pada Allah saat itu bukan sedang menegaskan makna pewaris yang telah difahami dari kata anak[10]? Ditambah lagi, bahwa jiwa seorang utusan Allah yang tidak pernah menoleh kepada perhiasan dan harta dunia yang fana ini tidak mungkin meminta pada Allah seorang anak hanya untuk mewarisi hartanya, tidak mungkin Nabi Zakaria begitu bersedih karena tidak punya anak dan memohon pada Allah untuk diberi anak hanya untuk mewarisi hartanya, karena jiwa yang demikian hanyalah jiwa yang telah dipenuhi oleh kecintaan terhadap dunia. Seorang Nabi tidak mungkin berbuat demikian. Seorang Nabi tidak perlu takut jika hartanya kelak diwarisi oleh anak pamannya, karena walaupun kelak hartanya diwarisi oleh ahli waris lainnya dan dibuat maksiat oleh mereka, seseorang tidak akan dimintai pertanggungjawaban karena harta warisannya dipergunakan untuk kemaksiatan oleh ahli warisnya.
Jika Nabi Zakaria takut akan hal itu, sangat mudah baginya untuk menghindar, yaitu dengan mensedekahkan seluruh hartanya sebelum mati dan membiarkan ahli warisnya tidak menerima sepeserpun dari hartanya. Dalam mazhab Syi’ah, seorang Nabi tidak mungkin takut mati mendadak sedangkan dia belum mensedekahkan seluruh hartanya agar tidak diambil oleh ahli waris, karena dalam mazhab Syi’ah, seorang nabi mengetahui kapan dirinya wafat.
Berarti maksud mewariskan dalam ayat itu adalah mewariskan kesempurnaan jiwa, ilmu dan kenabian, karena nabi zakaria takut orang-orang jahat bani Israil akan mengubah hukum-hukum Allah, akan menyia-nyiakan ilmu dan tidak mengamalkannya. Hal ini akan membuat kerusakan besar, maka dia memohon pada Allah agar dikaruniai seorang anak agar menegakkan hukum-hukum Allah dan menjadi pembawa risalah sepeninggalnya. Pewarisan ini juga akan menambah pahala bagi nabi Zakaria. Pola pikir ini menunjukkan hati yang bersih serta keinginan kuat pada kebaikan yang ada pada jiwa si pemohon, yaitu Nabi Zakaria.
Jika mereka mengatakan bahwa makna hakiki pada kata mewariskan adalah mewariskan harta, sedangkan mewariskan ilmu adalah makna kiasan dari kalimat di atas. Kita dilarang membelokkan makna dari makna yang sebenarnya menjadi makna kiasan diluar keterpaksaan, apa yang membuat kalian terpaksa hingga memahami kata mewariskan di sini dengan makna kiasan? Hal yang membuat kita terpaksa di sini adalah untuk menjaga agar jangan sampai ayat Al Qur’an tidak dipercaya oleh orang. Juga kita tidak dapat menerima pendapat bahwa makna hakiki dari kata mewariskan adalah mewariskan harta, karena pewarisan menjadi memiliki makna khusus untuk harta akibat banyaknya pemakaian dalam makna pewarisan harta, sebenarnya makna hakiki dari kata mewariskan meliputi mewariskan harta, ilmu dan kedudukan.
Jika kita terima pendapat mereka yang mengatakan bahwa penggunaan kata mewariskan dalam selain harta adalah makna kiasan, tetapi makna kiasan itu telah berubah menjadi makna hakiki karena telah difahami oleh orang banyak bahwa kata mewariskan tidak hanya terbatas pada pewarisan harta, khususnya pada penggunaan kata mewariskan dalam Al Qur’an seperti dalam ayat :
Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar. (35:32)
Beberapa gelintir Syi’ah mempertanyakan, bila memang benar Nabi tidak mewariskan hartanya, mengapa Nabi memberikan kamar pada masing-masing istrinya? Pertanyaan seperti ini adalah pertanyaan yang tidak pada tempatnya. Karena Nabi memberikan kamar pada tiap istrinya sebagai hak milik mereka pada saat nabi masih hidup[11]. Nabi membangunkan kamar bagi setiap istrinya dan menghibahkannya pada masing-masing istri. Selain untuk para istrinya, nabi telah membangun kamar untuk Fatimah dan Usamah bin Zaid serta menyerahkan kamar itu pada mereka berdua. Saat itu, mereka yang diberi kamar atau rumah menempati rumah itu sebagai pemilik bahkan saat nabi masih hidup di tengah mereka. Buktinya, ahlussunnah dan syi’ah sepakat bahwa ketika menjelang Hasan bin Ali wafat, beliau meminta ijin pada Aisyah untuk dikubur disamping kakeknya Muhammad. Jika memang kamar itu bukan milik Aisyah, maka meminta ijin pada Aisyah berarti meminta ijin pada orang yang tidak memiliki sesuatu. Dan ini mustahil. Dalam Al Qur’an ada sebuah isyarat bahwa setiap istri memiliki kamar masing-masing yang diberikan oleh Nabi. Dalam surat Al Ahzab :
Dan tetap tinggallah di rumah-rumah kalian
Menyebut rumah dengan rumah mereka bukan rumah nabi. Sebagian ahlussunnah ada yang berpendapat bahwa harta nabi setelah wafat menjadi wakaf, dan khalifah saat itu berhak memberikan sesuatu dari wakaf itu pada siapa yang dikehendakinya, seperti Ali diberi oleh khalifah Abubakar pedang, baju perang dan seekor bighol, padahal Ali bukan ahli waris Nabi. Dan terbukti dalam riwayat sohih bahwa Abubakar memberikan sebagian peninggalan Nabi pada Zubair bin Awwam dan Muhammad bin Maslamah. Khalifah Abubakar saat itu tidak memberikan fadak pada Fatimah walaupun dia memintanya sebagai harta warisan, dan Fatimah marah saat itu, sesuai dengan riwayat dari Sunnah maupun Syi’ah, dia berubah dengan memintanya karena fadak telah dihibahkan Nabi padanya[12], dia membawa Hasan, Husein dan Ummu Aiman untuk menjadi saksi bahwa Nabi benar-benar telah menghibahkan fadak padanya, tapi khalifah tetap tidak memberikannya. Khalifah saat itu tidak melihat kemaslahatan dalammeberikan fadak pada Fatimah, seperti disebutkan oleh Aslami dalam bukunya “Attarjamah Al Abqariyyah Assuliyah Al Haydariyyah”. Dalam buku itu masalah ini dibahas panjang lebar.
Dalam hal ini Abubakar mentakhsis ayat warisan dengan perkataan Nabi yang didengarnya dengan telinganya sendiri, sedangkan hadits nabi yang didengar dari telinga sendiri adalah Qot’i, dan hukum melaksanakannya adalah wajib, walaupun hanya dia sendiri yang mendengarnya dari nabi atau ada orang lain yang mendengarnya. Para Ahli Ushul Fiqh dari golongan Ahlussunnah dan Syi’ah sepakat bahwa pembagian hadits menjadi mutawatir dan ahad adalah bagi mereka yang tidak mendengar langsung ucapan Nabi tapi mendengarnya melalui perowi, bukan bagi mereka yang mendengar langsung ucapan Nabi tanpa perantara orang lain.
Hadits bahwa Nabi tidak mewariskan bagi Abubakar adalah Qot’i dan lebih tinggi dari derajat mutawatir, para ulama sepakat bahwa sebuah nas yang qot’i dapat mentakhsis nas lainnya yang juga qot’i. hadits ini tidak bertentangan dengan ayat yang mengisahkan bahaw seorang nabi mewarisi ayahnya yang juga Nabi. Hadits ini tidak serta merta menjadi palsu hanya karena Fatimah meminta tanah fadak sebagai warisan nabi, tapi hal ini menunjukkan bahwa Fatimah tidak pernah mendengar hadits itu dari Nabi. Abubakar dengan menolak permintaan Fatimah bukannya bukan berarti sengaja mengurangi rasa hormatnya pada putri Nabi yang meminta hak waris dari ayahnya. Begitu juga pemberian kamar bagi masing-masing istri nabi juga tidak bertentangan dengan hadits itu, seperti dijelaskan di atas.
Menurut Ahlussunnah, tidak ada riwayat yang sohih bahwa Fatimah meminta tanah fadak sebagai hibah(hadiah) yang diberikan oleh Nabi, yang sohih adalah meminta fadak sebagai warisan. Jika kita anggap Fatimah diberi tanah fadak sebagai hadiah, tidak mungkin Fatimah mendatangkan anak-anaknya dan Ummu Aiman sebagai saksi, karena hibah tidak sah sampai barang hibah tersebut dipegang dan dikuasai oleh si yang diberi hibah. Sementara Fatimah tidak pernah memegang atau menguasai tanah fadak, jadi tidak perlu ada saksi bahwa Fatimah pernah menguasainya atau memegangnya[13]. Jika kita anggap Fatimah benar-benar mendatangkan saksi-saksi, Abubakar bukan menolak kesaksian itu karena menuduh para saksi telah berbohong, tapi karena sebab-sebab lain yang tidak berkaitan dengan kejujuran saksi.
Sementara marahnya Fatimah karena putusan Abubakar, masalah itu adalah sifat kemanusiaan yang normal. Nabi Musa pernah marah pada kakaknya Harun sampai menarik kepala dan jenggot kakaknya itu, dan hal itu tidak mengurangi kemuliaan mereka berdua. Abubakar pun telah meminta maaf dan keridhoan Fatimah dengan perantaraan Ali, dan Fatimah telah memaafkan dan meridhoi Abubakar. Hal ini seperti tercantum dalam kitab MadarijuNubuwah, Kitabul Wafa’, Syarhul Misykah karangan Dahlawi dan kitab-kitab lain. Dalam literatur pegangan Syi’ah Imamiyah seperti Mahajussalikin dan lainnya tercantum bahwa Abubakar telah meminta keridhoan dan maaf Fatimah. Dalam kitab-kitab itu[14] tercantum riwayat bahwa Abubakar merasa dijauhi oleh Fatimah karena setelah Fatimah meminta dan ditolak oleh Abubakar, Fatimah tidak pernah membahas lagi masalah fadak dengan Abubakar, lalu Abubakar pun merasa resah lalu mendatangi Fatimah meminta keridhoannya, Abubakar berkata padanya : Engkau telah berkata benar wahai putri Nabi dalam permintaanmu atas tanah fadak, tapi saya melihat Nabi membagikan hartanya pada fakir miskin dan ibnu sabil setelah mengambil bagian yang cukup untuk penghidupan kalian, apa yang akan kalian perbuat dengan harta itu? Jawab Fatimah :’’aku akan meniru ayahku”, Abubakar menjawab : “aku akan berbuat dengan harta itu sebagaimana perbuatan Nabi”, Fatimah bertanya ;” apakah kamu mau bersumpah ?” Abubakar bersumpah demi Allah akan menjalankan hal itu, lalu Fatimah berkata : “Ya Allah saksikanlah “ dan rela akan hal itu. Fatimah pun meminta janji Abubakar. Dia memberi Fatimah harta yang cukup untuk kehidupannya dan membagikan sisanya pada fakir miskin dan ibnu sabil. Sekarang tinggal membicarakan sebab mengapa Abubakar tidak memberikan Fadak pada Fatimah.
Ibnu Taymiyah berkata soal keumuman ayat warisan dan pembagiannya
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya memperoleh seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. 4:11)
Lafaz ayat ini tidak menunjukkan bahwa Nabi juga mewariskan hartanya, ayat ini mencakup seluruh mereka yang dimaksud dalam ayati ini, juga tidak ada yang menunjukkan bahwa Nabi juga termasuk yang dimaksud dalam ayat ini.
Sementara kaful khitob(huruf kaf yang menunjukkan mereka yang diajak bicara) mencakup seluruh yang dimaksud oleh yang berbicara. Jika tidak diketahui bahwa seseorang itu termasuk yang diajak bicara dalam ayat ini maka dia tidak termasuk dalam mereka yang terkena perintah. Hingga ada beberapa kelompok yang berpendapat bahwa seluruh dhomir(kata ganti) adalah mutlak dan tidak dapat ditakhsis, apalagi dengan dhomir mukhotob (kata ganti yang menggantikan orang ke 2), maka yang dimaksud adalah mereka yang diajak bicara saja , yaitu orang ke 2, sementara selainnya tidak dimaksud dengan ayat ini. Jika memang kata ganti itu umum sehingga dapat ditakhsiskan, maka ayat ini umum bagi yang dikenai ayat ini (diajak bicara), dan tidak ada menunjukkan bahwa Nabi Muhammad juga termasuk yang terkena ayat ini.
Jika ada yang mengatakan : anggaplah bahwa seluruh kata ganti tidak menunjukkan pada sesuatu, tapi sesuai dengan konteks yang ada, maka dhomir khitob(kata ganti orang ke 2) dimaksudkan untuk siapa saja yang diajak bicara oleh orang pertama, dan kata ganti orng pertama adalah bagi orang yang berbicara, siapa pun orang itu. Tetapi semua tahu bahwa yang diajak bicara dalam Al Qur’an adalah Nabi dan seluruh orang beriman seperti ayat puasa :
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu bershiyam sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. (QS. 2:183)
Dan juga ayat Wudhu’ :
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku,(QS. 5:6)
Begitu juga dalam ayat warisan :
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.
Berarti Nabi termasuk yang terkena perintah dalam ayat itu.
Jawaban kami : terkadang kata ganti orang ke 2 jamak dalam ayat Al Qur’an terkadang yang dimaksud adlah Nabi dan orang-orang beriman dan terkadang yang dimaksud adalah orang beriman saja tidak termasuk Nabi. Seperti dalam ayat :
Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalangan kamu ada Rasulullah.Kalau ia menuruti (kemauan) kamu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu akan mendapat kesusahan tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekefiran, kefasikan dan kedurhakaan.Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus, (QS. 49:7)
Dan ayat :
Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu'min. (QS. 9:128)
Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah :"Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Ilah selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Rabb yang memiliki 'Arsy yang agung". (QS. 9:129)
Dan ayat lainnya, yang dimaksud dengan kata ganti ke 2 adalah orang beriman saja tidaktermasuk Nabi. Berarti kata ganti orang ke 2 dalam ayat warisan tidak termasuk Nabi, jadi Nabi tidak terkena ayat warisan, jadi hadits Nabi yang menerangkan bahwa para Nabi tidak mewariskan tidak sampai bertentangan dengan Al Qur’an.
Begitu pula dalam ayat :
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. 4:3)
Nabi tidak termasuk dalam ayat di atas, karena khusus bagi Nabi diperbolehkan untuk menikah lebih dari 4 wanita sekaligus dengan tanpa mahar seperti tercantum dalam nas dan ijma’.
Jika ada yang menyanggah bahwa semua contoh ayat di atas khusus bagi orang beriman saja tidak termasuk Nabi.
Dijawab demikian : ayat faroidh juga dapat menjadi khusus bagi orang beriman saja :
. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu.
sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris).
Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api naar sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. (QS. 4:14)
Setelah memberitahu kaum muslimin yang dimaksud oleh ayat ini, bahwa kalian tidak mengetahui mana yang lebih dekat dan banyak manfaatnya bagimu, yang tentunya Rasul mengetahui, mana yang lebih dekat, Allah mengingatkan orang beriman dalam ayat ini agar taat pada Allah dan RasulNya dalam perkara warisan, yaitu dengan memberikan bagian warisan sesuai dengan haknya, tidak mengurangi dan tidak menambah yang bukan bagiannya. Barang siapa yang durhaka pada Allah dalam perkara warisan ini maka akan diancam dengan api neraka yang menyala-nyala, hal ini membuktikan bahwa yang diancam jika tidak mau mentaati pembagian warisan dari Allah dengan neraka dan yang dijanjikan masuk ke dalam surga tidak termasuk Nabi.
Dalam ayat ini terdapat larangan melampaui batas dalam warisan, dengan memberi seseorang lebih dari bagian yang telah ditentukan, berarti hal ini menasakh ayat wasiat yang memrinahkan agar orang yang akan wafat mewasiatkan hartanya pada kerabat dekat.
Ali sependapat dengan Abubakar dalam masalah tanah fadak.
Syiah selalu menangis dan menggembar gemborkan masalah yang telah diputuskan oleh Ali sendiri.
Sayyid Murtadho Alamul Huda berkata : setelah Ali menjadi khalifah beberapa orang meminta Ali untuk mengambil kembali tanah fadak. Lalu dia berkata : “saya malu pada Allah untuk menolak keputusan Abubakar yang diteruskan oleh Umar(dalam masalah tanah fadak)”.[15]
Ketika Abu Ja’far Muhamamd Al Baqir ditanya oleh Katsir Annawwal : “apakah Abubakar dan Umar telah menzhalimi hak kalian? Atau apakah Abubakar dan Umar mengambil hak kalian? Imam Al Baqir menjawab : “tidak, demi dzat yang menurunkan Al Qur’an pada hambaNya untuk menjadi peringatan bagi seluruh alam, mereka berdua tidak pernah menzhalimi kami dari hak kami walau sebiji sawi”. Aku bertanya : “apakah aku harus mencintai mereka berdua?” Imam Al Baqir menjawab :”ya, celakalah engkau, cintailah mereka berdua di dunia dan akherat, jika engkau terkena dosa karena mencintai mereka berdua, maka akulah yang akan menanggungnya”.[16]
Majlisi yang biasanya membenci para sahabat pun terpaksa mengatakan demikian : ketika Abubakar merasa bahwa Fatimah marah padanya maka ia berkata pada Fatimah : Kami tidak mengingkari keutamaanmu dan hubungan kekerabatanmu dengan Rasulullah, aku tidak melarangmu untuk mengambil tanah fadak kecuali karena melaksanakan perintah Rasulullah, aku mempersaksikan Allah bahwa aku mendengar Rasulullah bersabda : kami para nabi tidak mewariskan harta, kami hanya mewariskan kitab suci, hikmah dan ilmu[17], aku telah berbuat demikian dengan kesepakatan kaum muslimin dan bukan atas kemauanku sendiri. Jika engkau menginginkan harta maka ambillah hartaku sesukamu, karena engkau adalah dicintai oleh ayahmu, dan asal yang baik bagi keturunanmu, tidak ada yang dapat mengingkari keutamaanmu[18]….
Ibnul Maitsam, seorang ulama syiah berkata dalam syarah nahjul balaghoh :
Abubakar berkata pada Fatimah : Bagimu apa yang pernah diambil oleh ayahmu, Rasulullah mengambil dari hasil tanah fadak untuk keperluan makan sehari-hari, dna membagikan sisanya di jalan Allah dan aku harus meneruskan apa yang dilakukan Rasulullah, maka Fatimah pun ridho atas hal itu dan mengambil janji Abubakar agar berjalan sesuai dengan apa yang dikerjakan oleh Rasulullah.[19]
Sesuai dengan apa yang dipaparkan di atas, Ibnul Maitsam, Addanbali, Ibnu Abil Hadid dan Faidhul Islam Ali Naqiy :
Abubakar mengambil harta hasil tanah fadak dan memberikannya ada ahlul bait jumlah yang cukup bagi mereka lalu membagikan sisanya, Umar, Utsman dan Ali juga demikian.[20]
[1] Fathul bari jilid 7 hal. 58
[2] Bab keutamaan sahabat nabi.
[3] Fathul Bari jilid 7 hal 78
[4] karena dalam text hadits ini ada keumuman, yaitu kalimat “barang siapa”, meliputi siapa saja yang mebuat marah Fatimah
[5] Al Muswaddah fi ushulil fiqh Hal 119, Takhrijul Furu’ Alal Ushul hal. 360
[6] karena Abubakar tidak membuat Ftimah sakit hati.
[7] Fathul Bari jilid 10 hal 492
[8] Syarah Sohih Muslim jilid 12 hal 73
[9] Ayat yg mengisahkan Nabi Zakaria mewarisi Nabi Ya’qub Surat Maryam ayat 6
[10] maksudnya sudah dipahami seorang anak pasti mewarisi ayahnya, untuk apa disebut lagi kata-kata mewarisi jika sudah dipahami di atas? Pent.
[11] Harta warisan adalah harta yang diberikan dan menjadi hak milik ahli waris hanya setelah si pewaris meninggal –pent-
[12] ini menurut Syi’ah –pent-
[13] karena jika memang mereka bersaksi berarti kesaksian mereka palsu –pent-
[14] perhatikan, bahwa riwayat ini adalah riwayat Syi’ah. –pent-
[15] Asyafi karangan Murtadho hal 213.
[16] Syarah Nahjul Balaghoh Ibnu Abil Hadid jilid 4 hal 84
[17] sampai di sini sabda Nabi
[18] kitab Haqqul Yaqin hal. 201-202 –terjemahan dari bahasa parsi-
[19] Syarah Nahjul Balaghoh karangan Ibnul Maitsam Al Bahrani jilid 5 hal 107. Cetakan Teheran
[20] Syarah Nahjul Balaghoh karangan Ibnu Abil Hadid jilid 4, Syarah Nahjul Balaghoh karangan Ibnu Maitsam Al Bahroni jilid 5 hal 107, Adurroh Annajafiyyah hal 332, Syarah Nahjul Balaghoh karangan Ali Naqiy jilid 5 hal 960 cetakan teheran –dalam bahasa parsi-
Islamic Media Ibnuisa |