TAUHID ASMA’ WA SHIFAT Tibalah saatnya kita untuk membahas tauhid yang ketiga; yaitu tauhid asma’ wa sifat. Yaitu beriman kepada asma’ Allah yang indah, dan sifat-Nya yang mulia, sebagaimana disebutkan di dalam al-Qur’an dan ditetapkan oleh Rasulullah saw tanpa tahrif, ta’thil, takyif dan tamtsil. Asma’ dan sifat itu harus ditetapkan sebagaimana dijelaskan tanpa bertanya bagaimana, dan disertai dengan keimanan terhadap makna agung yang ditunjukkannya. Itulah sifat-sifat Allah, yang harus disifatkan demikian secara layak, dan tidak oleh diserupakan dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Allah berfirman Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (as-Syura:11) Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (an-Nahl:74) Al-Auza’iy mengatakan, kami dan para tabi’in merasa cukup dengan mengatakan, “Sesungguhnya Allah berada di atas Arsy-Nya. Kami mengimani penjelasan tentang sifat Allah yang ada di dalam sunnah” Ketika Rabi’ bin Abu Abdurrahman, gurunya Imam Malik, ditanya tentang bersemayamnya Allah, maka ia menjawab, “Bersemayam itu sudah diketahui maknanya, bertanya bagaimana itu tidak masuk akal. Dari Allah lah turunnya risalah, dan tugas rasul adalah menyampaikan dengan sejelas-jelasnya, dan kewajiban kita adalah membenarkannya”. Dan ketika Imam Malik yang ditanya tentang hal tersebut, maka ia menjawab, “Bersemayam itu sudah diketahui maknanya, bertanya bagaimana justru tidak diketahui asalnya, mengimaninya wajib dan menanyakannya adalah bid’ah” Syaikh al-Mujahid Imam Abdullah bin al-Mubarak berkata, “Kita mengenal Rabb kita bahwa Dia berada di atas langit-Nya, ada di atas arsy-Nya, yang sangat jauh dari makhluk-Nya” Al-Auza’iy berkata, az-Zuhri dan al-Mak-hul ditanya tentang ayat sifat, keduanya menjawab, “Ikutilah sebagaimana diterangkan” Al-Walid bin Muslim berkata, Malik, al-Auza’I, al-Laits bin Sa’d dan Sufyan ats-Tsauri ditanya tentang khabar mengenai sifat Allah, mereka semua menjawab, “Ikutilah sebagaimana diterangkan”[1]. Ahlus Sunnah wal Jama’ah menetapkan asma’ dan sifat bagi Allah sebagaimana yang Dia tetapkan untuk Diri-Nya sendiri di dalam kitab-Nya, atau yang ditetapkan oleh Rasulullah Muhammad saw di dalam sunnah beliau yang shahih. Mereka mensucikan nama-nama Allah dari musyabahah (penyerupaan) terhadap makhluk-Nya, dengan metode penyucian yang terlepas dari ta’thil (peniadaan). Dengan demikian mereka bisa selamat dari paradoks dan mereka mengamalkan semua hal berdasarkan kepada dalil-dalil. Inilah sunnatullah bagi orang yang berpegang teguh pada kebenaran yang dibawa oleh Rasul-Nya, sunnatullah bagi orang yang mencurahkan kekuatannya untuk berpegang teguh pada al-haq, dan ikhlas dalam memohon kepada Allah agar Dia memberi taufiq pada al-haq, dan menampakkan hujjah-Nya sebagaimana firman Allah; Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap. (al-Anbiya’:18) Seseorang menjadi kafir atau rusak imannya apabila menafikan asma’ dan sifat yang ditetapkan sendiri oleh Allah atau ditetapkan oleh Rasulullah saw. Sebagaimana firman Allah, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat, Allah memiliki sifat-sifat yang sempurna dan agung. Segala asma’ dan sifat yang diterangkan di dalam Kitabullah dan Sunnah, maka hal itu menunjukkan kepada makna yang demikian. Meskipun oleh sebagian kalangan dinyatakan mustahil karena tidak masuk akal dan adanya sebagian asma dan sifat itu justru merendahkan Allah, atau meniadakan sebagian sifat yang tidak masuk akal itu adalah untuk mensucikan Allah, menurut pengakuan mereka. Terhadap argumen itu kami jawab, sesungguhnya orang yang menafikan asma dan sifat Allah, tak diragukan lagi ia telah keluar dari din ini, keluar dari iman, tentunya tergantung pada sejauh mana ia melakukan penyimpangan. Ada di antara mereka yang hanya keluar secara parsial dan ada pula yang keluar secara keseluruhan, kepada Allahlah kita berlindung dari kekeliruan tersebut. Al-Hafidz Ibnu katsir menukil dari Nu’aim bin Hammad al-Khaza’iy, gurunya Imam Bukhari, ia mengatakan, “Orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk maka ia kufur, orang yang menolak sifat yang diberikan oleh Allah untuk diri-Nya sendiri maka ia telah kafir, Dan dalam sifat yang telah diberikan oleh Allah untuk diriNya sendiri, atau dijelaskan oleh Rasulullah tidak ada keserupaan dengan apa pun. Maka orang yang menetapkan asma’ dan sifat yang diterangkan di dalam ayat yang sharih (jelas) dan khabar yang sahih secara benar, sesuai dengan keagungan Allah, serta menafikan kekurangan dari Allah, maka ia telah meniti jalan petunjuk. Dalam masalah ini telah terjadi kekacauan sejak masa lalu sehingga muncul kelompok-kelompok sesat, dilihat dari kaca mata tauhid, khususnya dalam Asma’ wa sifat Allah. Di antara kelompok sesat itu adalah Jahmiyah yang menafikan Asma’ wa sifat, Mu’tazilah yang menetapkan adanya asma Allah tetapi menafikan sifat Allah, Asy’ariyyah yang menetapkan asma Allah dan sebagian sifat tetapi menafikan sebagian sifat yang lain. Yang benar dan yang lurus, adalah pendapat salafus shalih, yang menetapkan segala yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, tanpa ta’thil, takyif, tahrif dan tamtsil. Mereka mengatakan bahwa asma’ dan sifat Allah itu, Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (as-Syura:11) [1] Pendapat para ulama’ dalam hal ini sangat banyak. Bagi yang ingin mendapatkan penjelasan lebih banyak silakan melihat kitab-kitab ulama’ sunnah dalam persoalan ini, seperti kitab as-Sunnah, karya Abdullah bin Imam Ahmad, kitab at-Tauhid karya Muhammad bin Khuzaimah, kitab as-Sunnah karya Abu al-Qasim al-Alka’iy ath-Thabari, kitab as-Sunnah karya Abu Bakar bin Abu Ashim, dan ar-Risalah at-Tadmiriyyah karya Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah. |
Islamic Media Ibnuisa |