Mengapa ada Banyak Agama di Dunia ?
                  
                  Kebenaran adalah sesuatu yang bernilai absolut, mutlak.
                  Namun seringkali kebenaran ini menjadi relatif, bergantung 
                  kepada bagaimana cara masing-masing orang memberikan arti dan 
                  penilaian terhadap kebenaran itu sendiri, sehingga itu pula 
                  kebenaran sudah menjadi sesuatu yang bersifat subjektif.
                  
                  Beriman itu, haruslah dimulai terlebih dahulu dari hati.
                  Bahwa untuk menjalankan syariat suatu agama haruslah dimulai 
                  dengan keimanan dahulu adalah sesuatu hal yang tidak dapat 
                  terbantahkan.
                  
                  Keadaan beriman sesorang adalah kondisi "jadi" dari seseorang 
                  itu.
                  Pertanyaannya adalah kondisi jadi tersebut diperoleh lewat 
                  mana ?
                  Tentunya kita berdua tidak bisa mengatakan kondisi beriman 
                  tersebut ada karena  lewat iman.
                  Pernyataan ini tertolakkan dalam dunia ilmiah dan bertentangan 
                  dengan penalaran saya selaku manusia yang fitrah.
                  
                  Seseorang memperoleh keimanannya lewat dua jalur, ada yang 
                  lewat akal dan ada yang lewat nafsu (nafsu dalam hal ini 
                  adalah persangkaan atau praduga manusia)
                  
                  Jika iman diartikan percaya, maka percaya juga bisa lewat akal 
                  atau persangkaan.Misalnya apabila kita hendak melewati sebuah 
                  jembatan dari besi, tentu kita akan enteng saja melewatinya, 
                  karena persangkaan kita jembatan tersebut sudah kuat. Tetapi 
                  bila yang dilewati adalah jembatan dari kayu dan tali, paling 
                  tidak kita akan mengecek kekuatan jembatan tsb terlebih dahulu 
                  (menginjak-injak dari pinggir terlebih dahulu dsb )
                  
                  Dalam berislam pun demikian, terdapat orang-orang yang 
                  mencapai iman dengan akal, dan ada yang dengan persangkaan.
                  
                  Misalnya yang dengan persangkaan adalah seorang islam yang 
                  tidak mampu menjawab pertanyaan " Mengapa kamu memilih Islam 
                  ?", "Darimana kamu kamu tahu bahwa Islam itu benar ?", " jika 
                  ortumu nggak Islam kira-kira kamu Islam nggak ?", atau bisa 
                  juga "mengapa kamu harus menjadi pengikut Ahmadiyah ?", "Darimana 
                  kamu yakin bahwa Ahmadiyah itu benar dan bukan hal yang justru 
                  terkutuk ?" dst.
                  
                  Jadi, Iman terhadap sesuatu itu tetap harus dibuktikan dulu 
                  apakah memang pengimanan tersebut sudah benar atau belum. Dan 
                  jalan untuk membuktikan kebenaran akan keimanan ini salah 
                  satunya dengan mengadakan penelaahan terhadap iman itu sendiri 
                  dengan mengadakan penyesuaian terhadap fitrah manusia.
                  
                  Manusia menurut sejarah al-Qur'an telah diciptakan oleh Allah 
                  sebagai makhluk yang mulia hingga malaikat sekalipun disuruh 
                  tunduk, hormat terhadap makhluk bernama manusia ini. Manusia 
                  diciptakan berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya, baik yang 
                  bisa dilihat secara kasat mata maupun makhluk yang tidak bisa 
                  dilihat dengan mata telanjang yang harus mempergunakan 
                  alat-alat tertentu seperti mikroskop dan sebagainya untuk 
                  melihatnya atau juga makhluk ghaib yang hanya orang-orang 
                  tertentu yang dapat melihatnya.
                  
                  Keutamaan manusia yang paling sering disinggung oleh banyak 
                  orang dan bahkan juga al-Qur'an adalah dilimpahkannya anugerah 
                  akal sebagai alat untuk berpikir dan memberikan jalan baginya 
                  didalam upaya mencari kebenaran Allah, yaitu dzat yang menjadi 
                  sumber dari kebenaran itu sendiri.
                  Seorang manusia 
                  tidak bisa memilih, di negeri mana ia dilahirkan, dan siapa 
                  orang tuanya. Yang ia dapatkan hanyalah kenyataan, bahwa di 
                  negerinya, kebanyakan orang memeluk agama atau keyakinan (ideologi) 
                  tertentu, dan orang tuanyapun mendidiknya sejak kecil dengan 
                  suatu pandangan hidup tertentu.
                  
                  Namun hampir setiap manusia yang normal ternyata memiliki 
                  suatu naluri (instinkt), yakni suatu saat akan menanyakan, 
                  apakah keyakinan yang dianutnya saat itu benar atau salah. Dia 
                  akan mulai membandingkan ajaran-ajaran agama atau ideologi 
                  yang dikenalnya. Bagaimanapun juga keberhasilan pencariannya 
                  ini sangat bergantung dari informasi yang datang ke padanya. 
                  Kalau informasi pengganggu (noise) yang datang kepadanya 
                  terlalu kuat, misalnya adanya teror atau propaganda yang 
                  gencar dari pihak-pihak tertentu, bisa jadi sebelum menemukan 
                  kebenaran itu, ia sudah berhenti pada keyakinan tertentu yang 
                  dianggapnya enak (meski sebenarnya sesat).
                  
                  MEMBANDINGKAN SUMBER AJARAN TIAP AGAMA
                  (Aspek theologis)
                  
                  Kebenaran suatu ajaran bisa direlatifkan dengan mudah bila 
                  hanya didasari oleh suatu asumsi. Dan kenyataan, hampir setiap 
                  pengertian buatan manusia adalah relatif. Para filosof 
                  mengatakan, bahwa suatu definisi hanyalah konsensus dari 
                  beberapa orang pada saat tertentu di tempat tertentu yang 
                  memiliki pengalaman yang mirip. Maka tak heran, bahwa untuk 
                  beberapa pengertian yang sering kita dengar saja (seperti "demokrasi", 
                  "hak asasi manusia", dll), antar bangsa (dengan latar belakang 
                  kultur yang berbeda) dan antar generasi (dengan pengalaman 
                  sejarah yang berbeda), bisa berbeda pula pemahamannya.
                  
                  Karena itu pulalah, ada ajaran yang cepat ditelan musim. 
                  Seseorang yang memegang ajaran seperti ini, jelas suatu saat 
                  akan goyah. Sebagai contoh adalah kaum komunis. Usia ajaran 
                  ini ternyata tidak bertahan lebih dari satu abad. Demikian 
                  pula dengan ajaran banyak sekte keagamaan atau aliran 
                  kepercayaan.
                  
                  Untuk menghindari ajaran yang salah, manusia pertama-tama 
                  harus melihat sumber ajaran itu. Apakah ajaran itu bersumber 
                  dari dasar-dasar yang rapuh? 
                  
                  Dalam hal ini, agama-agama yang sudah cukup tua agak "mengundang" 
                  untuk dipelajari, karena mereka menunjukkan sudah "tahan 
                  bantingan" untuk kurun waktu yang sangat lama. Namun demikian 
                  tetap perlu dipertanyakan, akankah ajaran-ajaran "kuno" ini 
                  mampu survive menghadapi zaman post moden dengan kehebatan 
                  pemikirannya seperti dewasa ini?
                  
                  Di zaman modern ini orang tidak bisa begitu saja "dikelabuhi". 
                  Kita tidak bisa begitu saja bilang: "Agama X ini benar, karena 
                  kitab sucinya bilang begitu .... ". Dan: "Kitab ini benar, 
                  karena masih asli dari pembawanya. Dan kebenaran pembawa 
                  ajaran ini dijamin di kitab itu...".
                  
                  Logika "circular" (berputar-putar) ini tidak bisa memuaskan 
                  kehausan iman manusia modern. Suatu "teori kebenaran" hanya 
                  akan bertahan, kalau ia tidak bisa difalsifikasi (tidak bisa 
                  dibuktikan bahwa ia salah). Hal ini karena suatu proses 
                  falsifikasi, cukup memerlukan satu bukti. Sedang suatu proses 
                  pembenaran, memerlukan seluruh bukti, yang tentu saja sulit, 
                  karena kita sering tidak tahu, berapa jumlah bukti yang 
                  dibutuhkan.
                  
                  Suatu ajaran bisa dianggap benar, bila ia:
                  
   * stabil intern - ajarannya harmoni, tidak bertentangan satu dengan 
                  yang lain.
   * stabil extern - ajarannya tidak bisa disalahkan dengan 
                  bukti-bukti dari luar (misalnya dengan fakta-fakta ilmu alam).
                  
                  Dalam hal ini tentu saja kita harus bertolak dari ajaran yang 
                  murni (ajaran Das Sollen), yakni yang ada di sumber-sumber 
                  ajaran itu sendiri (kitab-kita suci), dan bukan ajaran yang 
                  sedang dipraktekkan oleh pemeluknya, yang mungkin saja tidak 
                  mempraktekkan ajarannya dengan benar (ajaran Das Sein). 
                  
                  MEMBANDINGKAN ISI AJARAN TIAP AGAMA
                  (Aspek ethis)
                  
                  Selain mengkaji keabsahan sumber ajaran, suatu langkah 
                  pembandingan antar ajaran adalah juga melihat seberapa jauh 
                  isi suatu ajaran mengcover permasalahan kehidupan manusia. 
                  Apakah suatu ajaran hanya menekankan di satu sisi saja (misalnya 
                  sisi duniawi saja, atau sisi rohani saja), ataukah bersifat 
                  menyeluruh, baik duniawi maupun rohani?
                  
                  Suatu agama yang tidak bersifat menyeluruh akan mengakibatkan 
                  dualisme dalam pemikiran. Di satu sisi orang harus berfikir 
                  agamis, di sisi lain orang harus memilih jalan pragmatis, yang 
                  tak jarang bertentangan dengan fikiran agamis itu.
                  
                  Mungkinkah melegitimasi ajaran suatu agama dengan agama 
                  lainnya.
                  
                  Sering pemeluk suatu ajaran mencoba meligitimasi kebenaran 
                  ajarannya dengan mengutip statement ajaran lain.
                  
                  Yang perlu ditinjau adalah, sejauh mana percobaan legitimasi 
                  ini dapat dinalar dengan logika. Memang, tidak menutup 
                  kemungkinan, bahwa suatu hal yang baru membenarkan teori lama 
                  yang sudah ada. Penerbangan ke bulan menambah bukti kebenaran 
                  teori bahwa bumi itu bulat. Namun bila penganut teori lama 
                  melegitimasi diri dengan bukti-bukti baru, sementara mereka 
                  menganggap orang yang percaya pada bukti-bukti baru itu keliru, 
                  tentu ada yang tidak logis di sini.
                  
                  Bila ada ajaran A, B, dan C, yang timbulnya di dunia urut satu 
                  demi satu, maka A hanya bisa membenarkan B, bila penganut A 
                  nantinya harus berganti menjadi penganut B. Inilah yang 
                  terjadi dengan ajaran Muhammad, yang sudah diramalkan dalam 
                  Kitab Taurat dan Injil.
                  
                  Hal yang sebaliknya, yaitu A membenarkan diri dengan B, namun 
                  tidak menjadi penganut B, tentu akan janggal sekali. Karena 
                  itu, penganut agama sebelum Islam, tidak layak membenarkan 
                  dirinya dengan menggunakan ajaran Islam, bila mereka tidak 
                  lalu beralih menjadi muslim.
                  
                  Namun ajaran yang lebih baru tidak tentu lebih benar. Karena 
                  itu, terhadap ajaran C, bisa saja B membenarkan (dengan 
                  konsekuensi penganut B berubah menjadi C dan meninggalkan B), 
                  atau menganggap C bagian dari B (jadi B dan C sama-sama benar), 
                  atau C salah. Hal ini berlaku terhadap agama-agama yang timbul 
                  setelah kenabian Muhammad. Ketika ajaran Qadiyan muncul, ada 
                  orang Islam yang pindah menjadi Qadiyan (dan keluar dari 
                  Islam), ada yang menganggap Qadiyan bagian dari Islam, ada 
                  pula yang menolaknya, karena menganggap keliru.
                  
                  MENGAPA ADA BANYAK AGAMA
                  
                  Orang sering menganggap mudah fenomena ini dengan mengatakan: 
                  "Banyak jalan menuju Tuhan" atau "Sungai-sungai kelihatan 
                  berbeda kalau dilihat hulunya, namun satu kalau dilihat 
                  muaranya". Pada prinsipnya mereka menganggap semua agama baik 
                  dan benar, dan karena itu tidak perlu dipersoalkan.
                  
                  Memang kita tidak akan debat kusir soal agama. Namun kita 
                  tentu akan menjaga, minimal keluarga kita, agar menganut 
                  ajaran yang benar.
                  
                  "Banyak jalan menuju Tuhan". Koq tahu? Kalau dikatakan "Banyak 
                  jalan menuju Roma" kita tentu bisa menerima, karena banyak 
                  informasi dari sana, dan mungkin ada kawan kita sendiri yang 
                  pernah ke Roma dan pulang bercerita ke kita. Namun kepada 
                  Tuhan? Orang-orang yang pergi menghadap Tuhan (artinya mati), 
                  ternyata tidak pernah kembali lagi. Orang yang menghadap Tuhan 
                  dan kembali lagi ya para nabi itu. Lagi pula toh tidak semua 
                  jalan itu lempang dan lurus. Kalau ada banyak jalan menuju 
                  Tuhan, kenapa kita tidak memilih jalan yang lurus, jelas dan 
                  tidak penuh duri-duri penyesat?
                  
                  Demikian juga, memang agama-agama di dunia ini bisa 
                  diibaratkan dengan sungai-sungai. Namun ternyata ada sungai 
                  yang tidak bermuara di laut, namun di danau garam (sungai 
                  Jordan misalnya). Atau sungai-sungai itu tercemar di 
                  perjalanan, dipakai untuk irigasi dsb, sehingga tidak pernah 
                  mencapai laut.
                  
                  Ajaran-ajaran yang benar dari Tuhan memang merupakan 
                  sungai-sungai yang mengalir ke muara yang sama. Namun 
                  ajaran-ajaran yang sesat, yang dibuat-buat manusia, tidak akan 
                  mencapai Tuhan, karena yang dituju memang bukan Tuhan. Di 
                  zaman modern ini banyak "agama kontemporer" semacam ini. Ada 
                  yang memuja Mao Tse Tung, Lenin ataupun (John) Lennon. 
                  Bukankah kapitalisme, komunisme maupun kult musik tertentu 
                  sering disebut sebagai agama abad-20?
                  
                  EVOLUSI ISLAM
                  
                  Sementara itu, beberapa ajaran agama yang klasik (seperti 
                  Hindu, Budha, Yahudi, Nasrani dll) bisa jadi memang berasal 
                  dari seorang utusan Tuhan di zaman dulu. Kondisi dan situasi 
                  yang berbeda saat ajaran itu diturunkan, membuat ajaran yang 
                  diperlukan juga berbeda. Sedang kebudayaan manusia mengalami 
                  perkembangan (evolusi).
                  
                  Akhirnya evolusi itu sampai pada satu titik, di mana suatu 
                  ajaran yang bersifat universal (sesuai untuk seluruh manusia) 
                  dan komprehensif (sesuai untuk seluruh masa) tiba saatnya. 
                  Ibarat sungai, ajaran berbagai agama yang ada di dunia ini 
                  laksana anak-anak sungai yang mengalir ke sebuah sungai yang 
                  besar.
                  
                  Agama-agama selain Islam sesungguhnya hanya diperuntukkan 
                  untuk suatu kaum tertentu, di daerah tertentu dan pada masa 
                  tertentu. Hal ini disebutkan oleh kitab-kitab mereka, yang 
                  merupakan tanda-tanda dari Tuhan yang sampai pada saat ini - 
                  di luar soal bahwa banyak kitab-kitab itu kini tidak lagi 
                  teruji autentitasnya.
                  
                  KEASLIAN DAN 
                  KEBENARAN
                  
                  Keaslian tidak selalu Kebenaran. Dan Kebenaran tidak selalu 
                  memerlukan bukti sejarah yang asli. Hampir setiap orang 
                  Indonesia pasti mengenal lagu Indonesia Raya. Tapi masih 
                  adakah naskah asli Indonesia Raya yang digubah W.R. Supratman 
                  itu?
                  
                  Naskah asli itu ternyata tidak terlalu penting, bila lagu 
                  tersebut tidak pernah dilupakan, karena dilagukan atau 
                  didengar oleh jutaan orang Indonesia, hampir setiap hari. 
                  Demikian juga yang terjadi dengan Al-Qur'an. Sebenarnya tidak 
                  penting, apakah naskah Al-Qur'an yang asli ditulis ketika Nabi 
                  masih hidup itu masih ada atau tidak. (Naskah yang ada hingga 
                  saat ini adalah naskah yang ditulis pada zaman Abu Bakar). 
                  Al-Qur'an dihafalkan, dibaca dalam shalat, dan didengarkan di 
                  mana-mana oleh ratusan juta ummat Islam di dunia setiap hari. 
                  Kalau ada yang mencoba merangkai kata-kata baru di dalam 
                  Al-Qur'an, pasti akan ketahuan, seperti kita juga pasti akan 
                  tahu, bila ada selipan kata-kata baru dalam lagu Indonesia 
                  Raya.
| Islamic Media 2008 Kritik & Saran INDEX UTAMA |