Sejarah Awal Penyusunan Hukum Islam
VI.21.
SEJARAH AWAL PENYUSUNAN DAN PEMBAKUAN HUKUM ISLAM
oleh Nurcholish Madjid
Dalam bidang fiqh seperti juga dalam
bidang-bidang yang lain masa Tabi'in
adalah masa peralihan dari masa sahabat Nabi dan masa
tampilnya imam-imam madzhab. Di satu
pihak masa itu bisa disebut sebagai kelanjutan wajar
masa sahabat Nabi, di lain pihak pada masa itu
juga mulai disaksikan munculnya tokoh-tokoh
dengan sikap yang secara nisbi lebih mandiri, dengan
penampilan kesarjanaan di bidang keahlian
yang lebih mengarah pada spesialisasi.
Yang disebut "para pengikut" (makna kata Tabi'in) ialah kaum
Muslim generasi kedua (mereka menjadi Muslim ditangan
para Sahabat Nabi). Dalam pandangan keagamaan
banyak ulama masa Tabi'in itu, bersama dengan masa para
Sahabat sebelumnya dan masa Tabi'in al-Tabi'in ("para
pengikut dari para pengikut" yakni, kaum Muslim
generasi ketiga), dianggap sebagai
masa-masa paling otentik dalam sejarah
Islam, dan ketiga masa itu sebagai kesatuan
suasana yang disebut salaf (Klasik).
Walaupun begitu tidaklah berarti masa
generasi kedua ini bebas dari
persoalan dan kerumitan.
Justru sifat transisional masa ini
ditandai berbagai gejala kekacauan pemahaman keagamaan
tertentu, yang bersumber dari sisa dan kelanjutan
berbagai konflik politik, terutama yang terjadi sejak
peristiwa pembunuhan 'Utsman, Khalifah III. Tumbuhnya
partisan-partisan politik yang berjuang
keras memperoleh pengakuan dan legitimasi bagi
klaim-klaim mereka, seperti Khawarij, Syi'ah,
Umawiyyah, dan sebagainya, telah mendorong berbagai pertikaian
paham. Dan pertikaian itu antara lain
menjadi sebab bagi berkecamuknya praktek
pemalsuan hadits atau penuturan dan cerita tentang Nabi
dan para sahabat. Melukiskan keadaan
yang ruwet itu Musthafa al-Siba'i
mengetengahkan keterangan di bawah ini.
Tahun empat puluh Hijriah adalah
batas pemisah antara kemurnian Sunnah
dan kebebasannya dari kebohongan dan
pemalsuan di satu pihak, dan ditambah-tambahnya Sunnah
itu serta digunakannya sebagai
alat melayani berbagai kepentingan
politik dan perpecahan internal Islam. Khususnya setelah
perselisihan antara 'Ali dan Mu'awiyah
berubah menjadi peperangan dan yang banyak
menumpahkan darah dan mengorbankan
jiwa, serta setelah
orang-orang Muslim terpecah-pecah menjadi berbagai
kelompok. Sebagian besar orang-orang Muslim
memihak 'Ali dalam perselisihannya dengan Mu'awiyah, sedangkan
kaum Khawarij menaruh dendam terhadap 'Ali
dan Mu'awiyah sekaligus setelah mereka
itu sendiri sebelumnya merupakan pendukung
'Ali yang bersemangat. Setelah
'Ali r.a. wafat dan
Mu'awiyah habis masa kekhilafahannya (juga wafat)
anggota rumah tangga Nabi (Ahl al-Bayt) bersama
sekelompok orang-orang Muslim menuntut hak mereka akan
kekhalifahan, serta meninggalkan keharusan taat pada
Dinasti Umayyah.
Begitulah, peristiwa-peristiwa politik
menjadi sebab terpecahnya kaum Muslim dalam
berbagai golongan dan partai. Disesalkan, pertentangan
ini kemudian mengambil bentuk sifat keagamaan, yang kelak
mempunyai pengaruh yang lebih jauh
bagi tumbuhnya aliran-aliran keagamaan dalam
Islam. Setiap partai berusaha menguatkan posisinya
dengan al-Qur'an dan Sunnah, dan
wajarlah bahwa al-Qur'an dan Sunnah itu untuk setiap
kelompok tidak selalu mendukung klaim-klaim mereka.
Maka sebagian golongan itu melakukan interpretasi al-Qur'an
tidak menurut hakikatnya dan membawa nash-nash Sunnah
pada makna yang tidak dikandungnya. Sebagian lagi meletakkan
pada lisan Rasul hadits-hadits yang
menguatkan klaim mereka, setelah hal
itu tidak mungkin mereka lakukan
terhadap al-Qur'an karena ia sangat
terlindung (terpelihara) dan banyaknya orang
Muslim yang meriwayatkan dan membacanya.
Dari situlah mulai pemalsuan Hadits dan pencampuradukan yang
sahih dengan yang palsu. Sasaran pertama yang
dituju para pemalsu hadits itu ialah sifat-sifat
utama para tokoh. Maka mereka palsukanlah banyak hadits
tentang kelebihan imam-imam mereka dan para tokoh
kelompok mereka. Ada yang mengatakan bahwa yang pertama
melakukan hal itu ialah kaum
Syi'ah -dengan perbedaan berbagai kelompok
mereka- sebagaimana dituturkan Ibn Abi al-Hadid dalam
Syarh Nahj al-Balaghah, "Ketahuilah bahwa
pangkal kebohongan dalam hadits-hadits tentang
keunggulan (tokoh-tokoh) muncul dari
arah kaum Syi'ah..." Tapi kemudian
diimbangi orang-orang bodoh dari kalangan Ahl al-Sunnah dengan
perbuatan pemalsuan juga.
[1]
Dihadapkan keruwetan itu, para Tabi'in
dengan dipimpin tokoh-tokoh yang mulai tumbuh dengan
penampilan kesarjanaan- mencoba melakukan sesuatu yang
amat berat namun kemudian membuahkan
hasil yang agung, yaitu penyusunan dan pembakuan Hukum
Islam melalui fiqh atau "proses
pemahaman" yang sistimatis.
WAWASAN HUKUM ZAMAN
TABI'IN
Antara Islam sebagai agama dan
Hukum terdapat kaitan langsung yang tidak mungkin
diingkari. Meskipun baru setelah tinggal menetap
di Madinah Nabi saw. melakukan kegiatan
legislasi, namun ketentuan-ketentuan yang bersifat kehukuman
telah ada sejak di Makkah,
bahkan justru dasar-dasarnya telah diletakkan dengan kokoh
dalam periode pertama itu. Dasar-dasar
itu memang tidak semuanya langsung
bersifat kehukuman atau legalistik, sebab selalu
dikaitkan dengan ajaran moral
dan etika. Maka sejak di
Makkah Nabi mengajarkan tentang cita-cita keadilan
sosial yang antara lain mendasari
konsep-konsep tentang harta yang halal dan yang haram (semua
harta yang diperoleh melalui penindasan
adalah haram), keharusan menghormati
hak milik sah orang lain, kewajiban mengurus harta
anak yatim secara benar, perlindungan
terhadap kaum wanita dan janda, dan seterusnya. Itu
semua tidak akan tidak melahirkan
sistem hukum, sekalipun keadaan di
Makkah belum mengizinkan bagi Nabi untuk
melaksanakannya. Maka
tindakan Nabi dan
kebijaksanaannya di Madinah adalah
kelanjutan yang sangat wajar dari apa yang telah dirintis pada
periode Makkah itu.
Pada masa para sahabat yang kemudian
disusul masa para Tabi'in, prinsip-prinsip
yang diwariskan Nabi itu berhasil digunakan, menopang
ditegakkannya kekuasaan politik Imperium Islam yang
meliputi daerah antara Nil sampai Amudarya, dan kemudian
segera melebar dan meluas sehingga membentang dari
semenanjung Iberia sampai lembah sungai Indus. Daerah-daerah
itu, yang dalam wawasan geopolitik Yunani
kuno dianggap sebagai heatland
Oikoumene (Daerah Berperadaban -Arab: al-Da'irat
al-Ma'murah) telah
mempunyai tradisi sosial-politik
yang sangat mapan dan tinggi,
termasuk tradisi kehukumannya. Di sebelah Barat tradisi itu
merupakan warisan Yunani-Romawi, dan
Indo-Iran umumnya. Karena itu mudah dipahami jika
timbul semacam tuntutan intelektual untuk
berbagai segi kehidupan masyarakat yang harus dijawab para
penguasa yang terdiri dari kaum Muslim Arab itu.
Tuntutan intelektual itu mendorong tumbuhnya
suatu genre kegiatan ilmiah yang sangat khas
Islam, bahkan Arab, yaitu Ilmu Fiqh. Tapi sebelum ilmu itu
tumbuh secara utuh, agaknya yang telah terjadi
pada masa tabi'in itu ialah semacam
pendekatan ad hoc dan
praktis-pragmatis terhadap
persoalan-persoalan hukum,
dengan menggunakan
prinsip-prinsip umum yang ada dalam Kitab Suci, dan
dengan melakukan rujukan pada Tradisi Nabi dan
para Sahabat serta masyarakat lingkungan mereka yang
secara ideal terdekat, khususnya masyarakat
Madinah.
Pendekatan ini dimungkinkan karena watak dasar
Hukum Islam yang lapang dan luwes, sehingga
mampu menampung setiap perkembangan
yang terjadi. Berkenaan dengan
hal ini al-Sayyid Sabiq menjelaskan,
...Bahwa hal-hal yang tidak berkembang menurut
perkembangan zaman dan tempat, seperti
'aqa'id dan 'ibadat, diberikan secara sepenuhnya
terperinci, dengan dijelaskan
oleh nash-nash yang bersangkutan;
maka tidak seorang pun dibenarkan menambah
atau mengurangi. Tetapi yang berkembang menurut
perkembangan zaman dan tempat, seperti
berbagai kepentingan kemasyarakatan (al-mashalih
al-madaniyyah), urusan politik dan peperangan, diberikan
secara garis besar, agar bersesuaian dengan kepentingan
manusia di semua zaman dan agar dapat
dipedomani oleh para pemegang wewenang (ulu al-amr) dalam
menegakkan keadilan dan kebenaran.[2]
Para ahli hukum Islam sudah terbiasa mengatakan secara benar
bahwa letak kekuatan Islam ialah sifatnya
yang akomodatif terhadap setiap perkembangan zaman
dan peralihan tempat (shalih li kull
zaman wa makan- sesuai untuk setiap zaman dan tempat).
Untuk mengerti masalah ini sangat
menarik mengutip lebih lanjut keterangan al-Sayyid Sabiq,
Penetapan Hukum (al-tasyri') Islam merupakan salah satu dari
berbagai segi yang amat penting yang disusun oleh tugas suci
Islam dan yang memberi gambaran segi ilmiah dari tugas
suci itu. Penetapan hukum keagamaan murni, seperti
hukum-hukum ibadat, tidak pernah timbul kecuali dari
wahyu Allah kepada Nabi-Nya s.a.w., baik dari Kitab ataupun
Sunnah, atau dengan suatu ijtihad yang
disetujuinya. Dan tugas Rasul tidak keluar
dari lingkaran tugas menyampaikan (tabligh)
dan menjelaskan (tabyin). "Tidaklah ia
(Nabi) berbicara atas kemauan sendiri; tidak lain itu adalah
wahyu yang diwahyukan kepadanya." (QS. al-Najm/53:34).
Adapun penetapan hukum yang berkaitan dengan perkara duniawi
bersifat kehakiman, politik dan perang, maka
Rasul saw. diperintahkan bermusyawarah
mengenai itu semua. Dan Nabi pernah mempunyai
suatu pendapat, tapi ditinggalkannya dan
menerima pendapat para sahabat,
sebagaimana terjadi pada waktu perang Badar dan Uhud. Dan para
Sahabat ra. pun selalu meruduk kepada Nabi
saw., guna menanyakan apa yang tidak mereka ketahui, dan
meminta tafsiran tentang makna-makna
berbagai nash yang tidak jelas
bagi mereka. Mereka juga mengemukakan kepada Nabi pemahaman
mereka tentang nash-nash itu, sehingga
Nabi kadang-kadang membenarkan pemahaman
mereka itu, dan kadang-kadang beliau
menerangkan letak kesalahan dalam pendapat mereka itu.[3]
Sudah tentu keluasan dan fleksibilitas semangat
umum Hukum Islam itu dipertahankan, dan bertahan, melewati
zaman Nabi sendiri, kemudian zaman
para Sahabat, dan diteruskan ke zaman para
Tabi'in. Tapi jika pada zaman
Nabi tempat rujukannya ialah Nabi sendiri,
dengan otoritas yang diakui semua. Pada zaman para
sahabat Nabi itu diwarisi banyak tokoh,
yang kemudian bertindak sebagai tempat rujukan. Tapi sejak
pertikaian politik pada paroh kedua
kekhalifahan 'Utsman, tanda-tanda
menyebarnya, dan kemudian
berselisihnya, tempat rujukan itu
sudah mulai nampak. Seperti dilukiskan
Siba'i yang telah dikutip di
atas, penyebaran dan perselisihan otoritas
itu memuncak pada sekitar sesudah 40 H.
ketika banyak partisan mulai berusaha keras memperebutkan
legitimasi untuk klaim-klaim mereka. Ini terjadi tanpa
peduli dengan sambutan sebagian besar umat Islam
kepada tahun 41 Hijri sebagai "Tahun Persatuan"
atau "Tahun Solidaritas" ('Am al-Jama'ah), sebab "persatuan"
dan "solidaritas" itu agaknya hanya terbatas
pada kenyataan kembalinya kesatuan politik
(formal) umat Islam di bawah Khalifah Mu'awiyah ibn Abi
Sufyan di Damaskus.
DUA KUBU ORIENTASI FIQH:
HIJAZ DAN IRAK
Di bawah pimpinan Khalifah
Mu'awiyah (yang masa
kekhalifahannya disebut Ibn Taymiyyah sebagai permulaan masa "kerajaan
dengan rahmat" -al-mulk bi al-rahmah) kaum Muslim dapat
dikatakan kembali pada keadaan seperti zaman Abu Bakar dan
'Umar (zaman al-Syaykhani, "Dua Tokoh")
yang amat dirindukan orang banyak,
termasuk para "aktivis militan" yang membunuh 'Utsman (dan
yang kemudian [ikut] mensponsori pengangkatan
'Ali namun akhirnya berpisah dan
menjadi golongan Khawarij). Apa pun kualitas kekhalifahan
Mu'awiyah itu, namun dalam hal masalah
penegakan hukum mereka tetap sedapat mungkin
berpegang dan meneruskan tradisi
para Khalifah di Madinah dahulu, khususnya tradisi 'Umar.
Karena itu ada semacam "koalisi" antara Damaskus dan Madinah
(tapi suatu koalisi yang tak pernah sepenuh hati,
akibat masalah keabsahan kekuasaan Bani Umayyah itu).
Tapi "koalisi" itu mempunyai akibat
cukup penting dalam bidang fiqh, yaitu
tumbuhnya orientasi kehukuman (Islam) kepada
Hadits atau Tradisi (dengan "T" besar)
yang berpusat di Madinah dan Makkah serta mendapat
dukungan langsung atau tak langsung dari
rezim Damaskus.
Sementara banyak tokoh Madinah sendiri tetap
mempertanyakan keabsahan rezim Umayyah itu, Irak dengan
kota-kota Kufah dan Basrah adalah kawasan
yang selalu potensial menentang Damaskus
secara efektif. Ini kemudian berdampak
tumbuhnya dua orientasi dengan perbedaan
yang cukup penting: Hijaz (Makkah-Madinah) dengan
orientasi Haditsnya, dan Irak (Kufah-Basrah)
dengan orientasi penalaran
pribadi (ra'y)-nya. Penjelasan menarik tentang hal
ini diberikan oleh Syaykh 'Ali al-Khafif,
Pada zaman itu (zaman Tabi'in),
dalam ifta' (pemberian fatwa) ada dua
aliran: aliran yang
cenderung pada kelonggaran dan
bersandar atas penalaran, kias, penelitian tentang
tujuan-tujuan hukum dan alasan-alasannya,
sebagai dasar ijtihad. Tempatnya ialah
Irak. Dan aliran yang cenderung tidak kepada
kelonggaran dalam hal tersebut, dan hanya
bersandar kepada bukti-bukti atsar (peninggalan atau "petilasan,"
yakni, tradisi atau Sunnah) dan
nash-nash. Tempatnya ialah Hijaz. Adanya
dua aliran itu merupakan akibat yang wajar dari
situasi masing-masing Hijaz dan Irak.
Hijaz adalah tempat tinggal kenabian. Di situ Rasul menetap,
menyampaikan seruannya, kemudian
para Sahabat beliau menyambut, mendengarkan,
memelihara sabda-sabda beliau dan menerapkannya.
Dan (Hijaz) tetap menjadi tempat
tinggal banyak dari mereka (para Sahabat)
yang datang kemudian sampai beliau wafat. Kemudian
mereka ini mewariskan apa saja yang mereka ketahui
kepada penduduk (berikut)-nya, yaitu kaum
Tabi'in yang bersemangat untuk tinggal di sana...
Sedangkan Irak telah mempunyai peradabannya sendiri,
sistem pemerintahannya, kompleksitas
kehidupannya, dan tidak mendapatkan
bagian dari Sunnah kecuali melalui para Sahabat dan Tabi'in
yang pindah kesana. Dan yang dibawa pindah oleh mereka
itu pun masih lebih sedikit daripada
yang ada diHijaz. Padahal peristiwa-peristiwa (hukum)
di Irak itu, disebabkan masa lampaunya, adalah
lebih banyak daripada yang ada di Hijaz;
begitu pula kebudayaan penduduknya
dan terlatihnya mereka itu kepada penalaran,
adalah lebih luas dan lebih banyak. Karena itulah
keperluan mereka kepada penalaran lebih
kuat terasa, dan penggunaannya juga lebih banyak.
Penyandaran diri kepadanya juga lebih jelas nampak,
mengingat sedikitnya Sunnah pada mereka itu
tidak memadai untuk semua tuntutan mereka.
Ini masih ditambah dengan kecenderungan
mereka untuk banyak membuat asumsi-asumsi dan perincian karena
keinginan mendapatkan tambahan pengetahuan, penalaran mendalam
dan pelaksanaan yang banyak.[4]
Jika dikatakan bahwa orang-orang Hijaz adalah Ahl al-Riwayah
("Kelompok Riwayat," karena mereka banyak berpegang
kepada penuturan masa lampau, seperti Hadits, sebagai
pedoman) dan orang-orang Irak adalah Ahl al-Ra'y ("Kelompok
Penalaran", dengan isyarat tidak
banyak mementingkan "riwayat"), sesungguhnya
itu hanya karakteristik gaya
intelektual masing-masing daerah itu. Sedangkan pada peringkat
individu, cukup banyak dari masing-masing daerah yang tidak
mengikuti karakteristik umum itu. Maka di kalangan
orang-orang Hijaz terdapat seorang sarjana bernama
Rabi'ah yang tergolong "Kelompok Penalaran,"
dan di kalangan para sarjana Irak, kelak,
tampil seorang penganut dan
pembela "Kelompok Riwayat" yang
sangat tegar, yaitu Ahmad ibn
Hanbal. Disamping itu, membuat generalisasi bahwa
sesuatu kelompok hanya melakukan satu
metode penetapan hukum atau tasry', apakah itu penalaran
atau penuturan riwayat, adalah tidak tepat.
Terdapat persilangan antara keduanya,
meskipun masing-masing tetap dapat dikenali ciri utamanya dari
kedua katagori tersebut. Ini semakin
memperkaya pemikiran hukum zaman Tabi'in.
IJTIHAD TABI'IN SEBAGAI
PENDAHULU MADZHAB-MADZHAB
Menurut 'Ali al-Khafifi, seorang anggota Majma'
al-Buhuts al-Islamiyyah (Badan Riset Islam)
Universitas al-Azhar, Kairo, Ijtihad yang terjadi di
zaman Tabi'in adalah ijtihad mutlak. Yaitu
ijtihad yang dilakukan tanpa ikatan pendapat seorang mujtahid
yang terlebih dahulu, dan yang
secara langsung diarahkan membahas, meneliti
dan memahami yang benar. Ikatan hanya terjadi jika
ditemukan sebuah pendapat seorang Sahabat
Nabi, yang diduga bersandar kepada Sunnah yang
karena beberapa sebab Sunnah itu
tidak muncul sebelumnya, kemudian pada
zaman Tabi'in itu, lebih-lebih zaman Tabi'in al-Tabi'in,
suasana lebih mengizinkan untuk muncul.
Misalnya, perubahan situasi
politik, dengan perpindahan kekuasaan dari kaum Umawi ke
kaum 'Abbasi, telah membawa perubahan penting
dalam sikap keagamaan. Meskipun sesungguhnya kaum 'Abbasi
akhirnya banyak meneruskan wawasan hukum keagamaan
kaum Umawi sebagai pendukung Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah (yang
sebagaimana telah disinggung, berkenaan dengan
hukum, banyak berorientasi kepada preseden-preseden para
khalifah Madinah, khususnya Umar), kaum 'Abbasi
lebih banyak dan lebih
tulus perhatian mereka
kepada masalah-masalah keagamaan dari pada
kaum Umawi. Sikap berpegang kepada
syari'ah ini bagi kaum 'Abbasi berarti
pengukuhan legitimasi politik
dan kekuasaan mereka (dibandingkan
dengan kedudukan kaum Umawi, dan dihadapkan kepada
oposisi kaum Syi'ah dan Khawarij). Tapi
disamping itu, sikap tersebut menciptakan suasana yang lebih
mendukung bagi perkembangan kajian agama,
dan ini pada urutannya memberi
peluang lebih baik pada
para sarjana untuk menyatakan pendapatnya,
termasuk menuturkan riwayat dan Hadits.
Usaha secara resmi pembakuan Sunnah (yang kemudian
menjadi sejajar dengan Hadits) telah mulai
tumbuh sejak jaman 'Umar ibn 'Abd-al'Aziz
menjelang akhir kekuasaan Umawi. Kini
usaha ini memperoleh dorongan
baru, dan merangsang tumbuhnya
berbagai aliran pemikiran keagamaan, baik yang
bersangkutan dengan bidang politik, teologi
dan hukum, maupun yang lain.
[5]
Semua kegiatan itu
juga terpengaruh kenyataan
sosial-politik, berupa semakin beragamnya
latar belakang etnis, kultural dan
geografis anggota masyarakat Islam, disebabkan
banyaknya orang-orang bukan Arab (Syiria, Mesir, Persi,
dan sebagainya) yang masuk Islam. [6] Maka zaman itu kita
menyaksikan tampilnya tokoh-tokoh kesarjanaan
dengan bidang kajian ilmu yang lebih
terspesialisasi, khususnya, bidang kajian hukum
Islam atau fiqh. Merekalah
para pendahulu imam-imam madzhab, bahkan
guru-guru para calon imam madzhab itu.
Suatu hal yang amat penting diperhatikan ialah adanya kaitan
suatu aliran pikiran (yakni, madzhab,
school of thought) dengan tempat. Telah disebutkan
adanya dua aliran pokok: Irak dan
Hijaz. Namun diantara keduanya, dan dalam
diri masing-masing aliran besar itu, terdapat nuansa
yang cukup berarti, dan cukup penting
diperhatikan. Nuansa-nuansa itu tercermin dalam
ketokohan sarjana atau 'ulama'
yang mendominasi suasana intelektual
suatu tempat, seperti dituturkan al-Syaykh
Muhammad al-Hudlari Beg dalam kitabnya, Tarikh al-Tasyri' al-Islami.
Di Madinah tampil cukup banyak sarjana, antara lain:
1.Sa'id
ibn al Musayyib al-Makhzumi. Lahir dua tahun kekhalifahan 'Umar,
dan sempat belajar dari para pembesar Sahabat Nabi. Banyak
meriwayatkan Hadist yang bersambung dengan Abu Hurayrah. Al-Hasan
al-Bashri banyak berkonsultasi dengannya. Wafat pada 94 H.
2.'Urwah ibn al-Zubayr ibn al-'Awwam. Lahir dimasa
kekhalifahan 'Utsman. Banyak belajar dari bibinya, Aisyah,
istri Nabi saw. wafat pada 94 H.
3.Abu Bakr ibn 'Abd-al-Rahman ibn al-Harits ibn
Hisyam al-Makhzumi. Lahir di masa kekhalifahan 'Umar. Terkenal
sangat saleh sehingga digelari "pendeta Quraysy" (rahib
Quraysy). Wafat pada 94 H.
4.'Ali ibn al-Husayn ibn 'Ali ibn Abi Thalib al-Hasyimi.
Dia adalah imam keempat kaum Syi'ah Imamiyyah, dan dikenal
dengan Zayn al-'Abidin. Ia belajar dari ayahnya dan dari
pamannya, al-Hasan ibn 'Ali, 'Aisyah, ibn 'Abbas, dan
lain-lain. Ia terkenal sangat 'alim (terpelajar), tapi tidak
banyak meriwayatkan Hadits. Wafat pada 94 H.
5.'Ubayd-Allah ibn 'Abd-Allah ibn 'Utbah ibn Mas'ud.
Belajar dari 'Aisyah
Islamic Media 2008 Kritik & Saran INDEX UTAMA |