PASAL I: LATARBELAKANG SITUASI MASA KINI

I. KONSENSUS PADA PERIODE SESUDAH PERANG

Pada tahun-tahun sesudah perang dunia II, peranan Alkitab dalam iman dan teologia Kristen dinilai tinggi sekali, bahkan selama satu abad lebih sebelumnya, tidak pernah Alkitab mendapat penilaian yang begitu tinggi. Sebagian besar dari pada anggota-anggota Gereja dan dari pada kaum Teolog pada periode itu agaknya sependapat bahwa peranan Alkitab adalah mutlak penting, sehingga kalau Alkitab diabaikan, pastilah gereja dan iman kristen mengalami kecelakaan. Kedudukan Alkitab yang tinggi itu diakui oleh para teolog dan tercermin secara praktis dalam kehidupan jemaat-jemaat.

1. Gerakan Neo-orthodox

Teologia pada waktu itu umumnya secara kuat menekankan Alkitab. Penekanan tersebut menonjol dalam gerakan yang sering disebut gerakan "neo-orthodox," yang dipelopori oleh Karl Barth. Gerakan neo-orthodox itu mulai segera setelah perang dunia I dan begitu berkembang, sehingga pada akhir perang dunia II, sudah berpengaruh sekali. Titik penekanannya adalah pada isi Alkitab. Bahan pergumulannya ialah Allah Alkitab, Allah yang menyatakan Diri sebagaimana Dia berada, Allah orang Israel, konsep-konsep dan pemikiran Alkitab. Dengan penekanan-penekanan yang demikian, gerakan neo-orthodox itu kembali kepada prinsip-prinsip Reformasi yang sangat dihormatinya. Gerakan baru itu menolak pola-pola teologia yang disebut "liberal." Alasannya ialah bahwa: teologia liberal itu merupakan usaha manusiawi, yang menjadikan Allah serupa dan segambar dengan manusia, serta memberikan penekanan yang kuat sekali kepada kebudayaan manusia, hakekat manusia, dan cara berpikir manusia. Gerakan neo-orthodox itu menekankan bahwa iman mulai dengan Allah yang bersabda, dan Alkitablah yang menyaksikan Allah itu. Ada banyak orang, terutama di kalangan-kalangan yang berbahasa Inggris, yang tidak dapat menyetujui argumentasi-argumentasi khas yang dikemukakan teolog-teolog seperti Barth. Pengaruh gerakan neo-orthodox itu tidak nampak dalam bentuk konkrit dan agak bersifat umum, namun cukup besar juga. Atau mungkin lebih tepat kalau kita berbicara bukan tentang pengaruh ke-neo-orthodox-an itu pada teologia secara keseluruhan, melainkan bahwa ke-neo-orthodox-an itu merupakan suatu gejala khas dari pada kecenderungan yang tersebar luas di seluruh bidang teologia.

2. Ditekankannya Alkitab di luar gerakan neo-orthodox

Ada alihan-aliran teologis yang lain-lain lagi yang memang tidak menyetujui pendapat-pendapat khas yang berlaku di kalangan neo-orthodox, namun merekapun makin lama makin mendekati Alkitab, makin bersandar pada isi Alkitab, makin menekankan Alkitab dan kekhasannya. Nampaklah pada waktu itu suatu hasrat untuk mengutamakan "pernyataan Allah" dan sejajar dengan penekanan itu suatu sikap peremehan terhadap "teologia alamiah" (natural teology) atau "agama alamiah" atau bahkan terhadap "agama" begitu saja. Telah menjadi suatu mode untuk menggariskan kontras antara pemikiran Alkitab (yang dinilai teologis positif) dengan cara-cara berpikir yang dianggap saingan, misalnya cara berpikir Yunani dan filosofis (yang dalam perbandingan dengan Alkitab dinilai negatif). Memang patut dicatat juga bahwa selalu ada suara-suara yang mengkritik kecenderungan-kecenderungan tersebut, namun harus diakui bahwa kecenderungan-kecenderungan itu kuat sekali, sehingga orang-orang yang menentangnya sering merasa terdesak.

3. Akibat-akibat gerakan kritik-historis

Sejajar dengan perkembangan-perkembangan itu, beberapa problema yang sulit mengenai Alkitab, yang sudah mengganggu gereja-gereja, dan terutama gereja-gereja Protestan, selama lebih dari satu abad, agaknya sudah hampir dapat dipecahkan. Selama satu abad lebih, ahli-ahli Alkitab sudah biasa menggunakan metode-metode historis-kritis dalam menyelidiki kitab-kitab dalam Alkitab. Maka penggunaan metode-metode tersebut telah sangat mempengaruhi penilaian yang lazim diberikan kepada kitab-kitab tersebut. Dengan mengenakan metode-metode historis-kritis kepada bagian-bagian Alkitab seperti yang dikenakan kepada kesusasteraan kuna atau karangan-karangan sejarah yang kuna, para ahli telah sampai kepada kesimpulan-kesimpulan sbb.:

  1. Banyak kitab-kitab dalam Alkitab sebenarnya tidak dikarang oleh oknum yang secara tradisionil dianggap pengarangnya.

  2. Kemungkinan ada bahwa kitab-kitab tersebut terdiri dari berbagai lapis bahan yang berasal dari berbagai periode, dan yang disusun menjadi satu oleh redaktor pada akhir proses yang panjang.

  3. Diakui bahwa kitab-kitab tersebut mungkin mengandung unsur-unsur mitologis atau legenda-legenda historis, sehingga sejarah jaman kuna yang melatar-belakangi kitab-kitab Alkitab itu harus direkonstruksikan, dan tidak dapat diambil begitu saja dari naskah Alkitab sendiri.

Kesimpulan-kesimpulan yang bersifat kritis seperti itu menyebabkan retak-retak yang cukup mendalam dalam tubuh gereja Protestan. Kaum konservatif berpendapat bahwa kesimpulan-kesimpulan yang demikian itu membahayakan atau menyangkali sentralitas dan kewibawaan Alkitab di dalam gereja. Kalau harus diakui bahwa ada ketidaktelitian atau ketidaktepatan historis di dalam Alkitab, bagaimanakah Alkitab masih dapat dianggap teliti dan tepat secara teologis? Di pihak lain, jenis-jenis teologia yang bercorak liberal tidak lagi bersandar mutlak pada Alkitab, melainkan cenderung untuk menggunakannya secara selektif. Sedangkan golongan yang lain lagi, yaitu ahli-ahli sejarah agama Alkitab, nampaknya meneruskan tugas-analisanya dengan seolah-olah tidak peduli akan berita Alkitab secara keseluruhan, dan seolah-olah tidak mempunyai suatu pandangan poositif tentang pentingnya Alkitab atau kewibawaannya. Keretakan-keretakan dalam gereja Protestan yang terjadi demikian, yaitu antara kaum konservatif yang bersandar pada Alkitab dan kaum liberal yang mencita-citakan pandangan yang lebih luas, telah lama menyebabkan kesengsaraan yang pedih di tengah-tengah umat Kristen.

4. Ciri-ciri keneo-orthodoxan

a. Unsur polemik terhadap fundamentalisme

Tetapi menjelang akhir perang dunia II, ada kesan bahwa kesulitan-kesulitan itu sudah mulai teratasi. Penekanan pada Alkitab yang menjadi ciri-khas dari pada teologia baru itu, tidaklah identik dengan fundamentalisme atau obskurantisme. Sebaliknya teologia neo-orthodox itu dianggap oleh penganut-penganutnya sebagai teologia yang sesuai dengan metode-metode research yang modern, yaitu penelitian historis. Bahkan gerakan baru yang kembali menekankan kewibawaan Alkitab ini justeru mengandung suatu polemik terhadap fundamentalisme, terhadap konservatisme yang bersifat biblisistik. Karena gerakan neo-orthodox itu beranggapan bahwa kaum fundamentalis memanglah mempertahankan konsep kewibawaan Alkitab secara lahiriah, namun gagal dalam menyadari dan meresapi logika-intern dari pada Alkitab sendiri. Jadi sejajar dengan pengritikannya terhadap teologia liberal yang telah mendahuluinya, gerakan neo-orthodox itu bercita-cita untuk menghargai kewibawaan Alkitab sambil mengaku-sah pendekatan kritis terhadap Alkitab. Sikap berpegang kepada Alkitab dianggap bukan sikap yang kolot, melainkan justeru sikap yang baru yang membebaskan, malah yang revolusioner.

b. Alkitab dipandang sebagai keseluruhan

Salah satu aspek dari cara-berpikir pada periode sesudah perang, ialah desakannya bahwa Alkitab dapat dan bahkan harus didekati secara keseluruhan. Penekanan yang demikian merupakan reaksi terhadap teologia liberal, yang sering memberi kesan seolah-olah memutlakkan satu unsur dari isi Alkitab. Misalnya, gambaran Yesus dalam Injil-injil Sinoptis (atau bagian-bagian tertentu dari gambar tersebut) dianggap definitif; selanjutnya gambar sinoptis yang dimutlakkan itu dipertentangkan dengan gambar Yesus menurut Paulus. Atau (contoh lain) dipertentangkan antara Allah Perjanjian Lama dengan Allah Perjanjian Baru. Ditekankannya Alkitab sebagai keseluruhan juga merupakan protes terhadap metode para pengritik yang menekankan analisa melulu. Memang, kata kaum neo-orthodox, Alkitab dapat dibagi-bagi menurut sumber-sumbernya. Tetapi sesudah tugas analisa itu dikerjakan, apakah tidak dapat dikatakan sesuatupun tentang makna Alkitab sebagai keseluruhan? Diakui adanya perbedaan-perbedaan historis dan keanekaragaman penekanan-penekanan di dalam keseluruhan Alkitab itu. Tetapi menurut kaum neo-orthodox, suara-suara yang berlain-iainan itu merupakan suatu paduan suara yang harmonis. Alkitab berpengaruh terhadap iman Kristen bukan hanya melalui bagian ini atau bagian itu, melainkan juga berbicara melalui interelasi antara semua bagian yang terdapat dalam Alkitab itu. Contoh yang paling menyolok ialah: adalah merupakan aksioma, menurut kaum neo-orthodox, bahwa Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru bersama merupakan suatu kesatuan. Oleh karena itu, kaum neoorthodox mengecam kecenderungan teologia liberal untuk mengabaikan Perjanjian Lama. Ditekankan bahwa cara berpikir orang Ibrani tidak hanya menjiwai seluruh Perjanjian Lama, melainkan mewarnai Perjanjian Baru juga. Bahkan ada yang mengatakan bahwa cara berpikir Ibrani itu justeru merupakan kunci yang membuka pengertian Perjanjian Baru. Kaum neo-orthodox menekankan bahwa Perjanjian Baru itu dapat disalah-mengerti sama sekali kalau dibaca dengan bantuan kategori-kategori Yunani yang laku pada abad yang pertama Masehi. Hanya jikalau orang membaca Perjanjian Baru menurut kategori-kategori Ibrani, dapatlah diperoleh pengertian yang sah. Pendek kata, keyakinan akan kesatuan Alkitab mendapat perhatian yang lebih besar, dibandingkan dengan yang lazim selama puluhan tahun sebelumnya. Analisa-analisa yang telah dibuat oleh para pengritik Alkitab telah merobohkan harmonisasi-harmonisasi yang kuna dan telah menyatakan keanekaragaman sumber-sumber Alkitab, baik dalam hal ketelitian historis, maupun dalam hal penekanan-penekanan teologisnya. Maka oleh kaum neoorthodox, pendekatan yang analitis itu diimbangi dengan pendekatan yang lebih bersifat sintetis.

c. Ditekankannya exegesis

Keyakinan akan kesatuan Alkitab membawa akibat yang penting dalam kegiatan-kegiatan gereja. Misalnya, khotbah-khotbah yang bersifat uraian Alkitabiah makin laku, --walaupun dalam prakteknya usaha untuk menghayati prinsip "berkhotbah secara Alkitabiah" kadang-kadang berjalan pincang. Dan terutama di kalangan-kalangan yang berbahasa Inggris, kaum neo-orthodox gagal dalam menemukan suatu metoda homiletik yang modern dan jelas, yang dapat mendasari usaha "berkhotbah secara Alkitabiah ' itu. Namun demikian, nampaklah suatu gerakan yang cukup berpengaruh, yang menuntut "khotbah-khotbah yang lebih bersifat Alkitabiah."

d. Keneo-orthodoxan dan gerakan oikumenis

Sementara itu gerakan oikumene merupakan salah satu pusat kegiatan gereja, dan dalam gerakan itupun ditekankannya secara baru Alkitab membawa effek yang cukup besar. Ditekankan bahwa Alkitablah yang merupakan unsur pokok yang dimiliki oleh semua gereja-gereja bersama, sehingga kalau gereja-gereja dan tradisi-tradisi Kristen dapat mempererat hubungannya dengan Alkitab, pastilah mereka akan merasakan keakraban yang lebih erat- satu sama lain. Memang diakui adanya perbedaan faham antara tradisi yang satu dengan tradisi yang lain, tetapi ada anggapan bahwa perbedaan-perbedaan yang demikian itu sebenarnya berakar dalam perbedaan latar-belakang kebudayaan, filsafat, atau unsur-unsur non-Alkitabiah yang lain-lain lagi, yang telah diambil alih oleh masing-masing tradisi dalam proses perkembangan-historisnya. Maka timbul pemikiran bahwa, kalau tradisi-tradisi itu dibandingkan dengan Alkitab, unsur-unsur non-Alkitabiah itu akan nampak sebagai unsur-unsur heterogen, dan sekali hal itu disadari, maka unsur-unsur itu akan terhapus atau sedikit-dikitnya akan ditundukkan kepada pola-pola yang sungguh-sungguh Alkitabiah. Dengan perkembangan yang demikian, pastilah gereja-gereja akan merasa lebih dekat satu sama lain. Jadi usaha untuk memupuk penafsiran Alkitab bersama merupakan untuk yang penting dalam program diskusi oikumene.

e. Keneo-orthodoxan dan soal-soal sosio-politis

Diskusi oikumenis meliputi berbagai soal sosio-politik yang menarik perhatian gereja-gereja. Di situpun ditekankannya kewibawaan Alkitab dianggap sebagai sumbangan positif, karena dengan ditekankannya hal tersebut agaknya kehidupan gereja Kristen menjadi lebih terbuka kepada dunia, yaitu kepada problem-problem manusiawi dan bendawi. Agaknya dengan demikian kaum Kristen akan menjadi lebih sadar akan realita-realita bendawi dan praktis, sedangkan pemusatan perhatian kepada soal-soal spirituil dan idiil melulu, akan berkurang. Perhatian terhadap persoalan-persoalan politis dan bendawi adalah merupakan unsur yang menarik dalam berita Alkitab. Maka oleh karena itu orang-orang Kristen dan gereja-gereja Kristen berpaling kepada Alkitab dalam mencari jawaban-jawaban atas persoalan-persoalan demikian. Ada usaha misalnya untuk menggariskan pandangan Alkitabiah terhadap pekerjaan sehari-hari, atau terhadap soal kesehatan, atau soal kenegaraan, sehingga pokok-pokok yang demikian itu diteliti secara cukup mendalam.

5. Kesimpulan

Maka dalam hal-hal yang demikian itu Alkitab pada periode sesudah perang agaknya sudah mendapat kembali kedudukan yang sentral di dalam gereja-gereja dan di dalam iman orang Kristen. Pada periode-periode sebelumnya kedudukan Alkitab telah mengalami kegoncangan, di bawah pengaruh pendekatan kritis-historis. Alkitab juga agak diabaikan pada periode teologia liberal. Bahkan beberapa sisa dari persoalan-persoalan yang telah timbul pada periode-periode itu belum terpecahkan. Tetapi pada prinsipnya, sentralitas-mutlak Alkitab dalam iman Kristen dan dalam kehidupan gereja sudah diakui dan diteguhkan. Pada periode sesudah perang, hampir tidak ada orang yang menyadari bahwa kedudukan Alkitab, yang nampaknya begitu teguh itu, akan menjadi goyang kembali. Bahkan persoalan-persoalan, yang tadinya dianggap sudah beres untuk selama-lamanya itu, tidak orang harapkan akan muncul kembali, malah muncul dalam rumusan yang lebih tajam lagi.

(sebelum, sesudah)


Alkitab di Dunia Modern (The Bible in the Modern World) Prof. James Barr Terjemahan Dr. I.J. Cairns BPK/8331086/7 Penerbit BPK Gunung Mulia, 1979 Kwitang 22, Jakarta Pusat  

| Indeks Artikel | Tentang Penulis

Islamic Media Ibnuisa
Kritik & Saran
Counter
INDEX UTAMA

Snack's 1967