The Soda Pop


Arifin Muftie
MATEMATIKA ALAM
SEMESTA
 

Kodetifikasi Bilangan Prima dalam Al-Qur'an
Cetakan I, Rabiulawal 1425/Mei 2004
Diterbitkan oleh: PT Kiblat Buku Utama
Bandung

Navigasi & Konversi ke format html / chm : pakdenono - 2005 -
Diposting Oleh
Ibnuisa

< BACK

DAFTAR ISI

NEXT >

 

Benarkah Bilangan Prima Merupakan Bahasa Universal Alam Semesta?
 

Bilangan prima dalam matematika diyakini merupakan salah satu misteri alam semesta, karena hingga era komputer sekarang ini pun, ia banyak dimanfaatkan sebagai sistem kodetifikasi (pengkodean, penyandian) berbagai hal yang penting dan rahasia. Di alam semesta, ia "diduga" menjadi bahasa universal yang dapat dipahami oleh semua makhluk berkecerdasan tinggi dan dipakai sebagai komunikasi dasar antar mereka. Bahkan sejak dahulu, sebagian ilmuwan meyakini adanya hubungan erat bilangan prima dengan desain kosmos.

Berdasarkan kajian mutakhir atas al-Qur'an, ditemukan bahwa Sang Pencipta al-Qur'an dan Alam Semesta menjaga dan memelihara Kitab Mulia ini, antara lain, dengan sistem kodetifikasi berbasis bilangan prima. Dengan memanfaatkan temuan sains modern dan kajian mutakhir para ilmuwan Muslim terhadap al-Qur'an, buku ini mengajak pembaca menangkap isyarat-isyarat al-Qur'an yang tersembunyi dalam kodetifikasi bilangan prima.
 

Pengantar Penerbit
 

Sepanjang sejarah peradaban manusia, buku yang paling banyak dibaca, sekaligus dipelajari, ditelaah dan direnungkan, tak pelak lagi, adalah al-Qur'an. Dari mata air hikmahnya, mengalirlah butiran dan tetesan ilmu. Bukan hanya ilmu kea­gamaan namun juga ilmu kealaman dan ilmu kemasyarakatan. Karena itu, apabila kita membuka lembaran sejarah ilmu Islam, kita menemukan ratusan, bahkan ribuan, ilmuwan Muslim. Di dalam sejarah Islam, pada Masa Klasik (abad ke-8 hingga ke­13 M), kebanyakan ilmuwan Muslim tidak hanya menekuni satu bidang ilmu, karena pada masa itu tidak dibedakan antara ilmu agama dan ilmu umum. Karena itu, kita acapkali menda­pati seorang ulama (ahli ilmu agama) sekaligus juga filosof atau ilmuwan (ahli ilmu kealaman, sosial, kedokteran), seperti Ibn Sina, al-Farabi, Ibn Rusyd, dan lain-lain.
 

Memang pada Abad Pertengahan (abad ke-13 sampai ke­18) hingga modern Islam (mulai abad ke-19), ketika Eropa de­mikian bergairah mengembangkan ilmu-seraya mencampak­kan agama [Kristen]-lalu mencetuskan Revolusi Industri, Dunia Islam hampir sama sekali tidak mampu mengembangkan ilmu. Tidak banyak ilmuwan lahir pada masa kegelapan itu. Dunia Islam terpuruk dalam berbagai keterbelakangan dan ke­jumudan. Produk ilmunya pun hanya bersifat "daur ulang" dan itu pun sebagian besar dalam bidang keagamaan. Praktek kehidupan kaum Muslim dicemari oleh bid'ah, khurafat dan takhayul.
 

Ketika kaum Muslim bersentuhan dengan Barat-meski da­lam bentuk kolonialisme dan imperialisme-mata sebagian ulama dan pemikir Dunia Islam menjelang zaman modern mu­lai terbuka. Mereka merasa ada sesuatu yang hilang dari umat Islam selama ini hingga terbelakang dan terjajah. Sesuatu itu adalah ruh al-Qur'an. Sehingga kemudian lahirlah slogan "Kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah" dan "Pintu Ijtihad Tidak Tertutup" dengan tujuan untuk menggali semangat dan jiwa Kitab Mulia umat Islam. Jadi, tidak seperti pada Abad Pertengahan, di mana al-Qur'an sekadar dibaca untuk mengharap pahala atau sebagai jimat, pada zaman modern, al­Qur'an kembali dikaji dan dijadikan sumber ilham dan pemikiran. Mulai banyak ulama dan pemikir yang mencoba mencari solusi bagi keterbelakangan Dunia Islam dengan menafsir-ulang al-Qur'an dan Sunnah. Beberapa nama dapat disebutkan di sini: Jamaluddin al-Afghani, Muhammad 'Abduh, Mohammad Iqbal, dan pada abad ke-20, Sayyid Quthb, Syed Hossein Nasr, dan Arkoun. Namun, di antara begitu banyak ulama dan pemikir itu, masih cukup langka ilmuwan Muslim yang-dengan kepakarannya dalam ilmu kealaman dan matematika-berusaha menemukan kesesuaian ayat-ayat Qur'aniyah dan ayat-ayat Kauniyah di alam semesta.
 

Syukurlah, sejak dekolonisasi Dunia Islam sekitar perte­ngahan abad ke-20, keadaan berubah. Dengan semakin banyaknya ilmuwan Muslim yang menguasai kepakaran dalam bidang sains modern dan matematika, kesesuaian ini semakin banyak digali dan ditemukan. Diskusi-diskusi dalam berbagai forum dan yang dilakukan melalui berbagai media dengan ilmuwan Barat, memungkinkan ilmuwan Muslim yang mempunyai basis pengetahuan Qur'aniyah cukup sekaligus sains modern yang baik mendapati banyak "titik temu" antara kedua jenis ayat Tuhan itu.
 

Dalam forum-forum diskusi ini semakin terkaji bahwa alam semesta --  al-Qur'an dan sains modern sama-sama mengisya­ratkan bahwa alam semesta tidak satu-bukan ada dengan sen­dirinya sebagaimana kesimpulan berani dari ilmuwan ateis. Alam semesta juga mustahil diciptakan secara sembarangan dan serampangan, dan pasti diciptakan dengan suatu ran­cangan oleh Satu Wujud Yang Maha Perancang sebagaimana diisyaratkan oleh tanda-tanda kekuasaan-Nya yang lain, yaitu ayat-ayat Kitab Suci yang juga datang dari-Nya. Memang, isyarat bahwa alam semesta dirancang oleh Sang Perancang Agung dinyatakan dalam bukti-bukti yang termaktub di dalam al-Qur'an, Kitab-Nya yang mulia. Ayat-ayat al-Qur'an berke­naan dengan kosmologi atau berbagai fenomena alam yang dahulu tidak dapat ditafsirkan secara memadai, kini-dengan sains modern-dapat ditafsirkan lebih memuaskan, seperti pertanyaan tentang bagaimana alam semesta diciptakan dan hubungannya dengan frase kun fayakun (Jadi, maka jadilah) dalam al-Qur'an.
 

Buku di tangan pembaca ini merupakan hasil pencarian penulis "menemukan" sebagian kecil dari kesesuaian ayat-ayat al-Qur'an dengan fenomena alam berdasarkan sejumlah wacana yang berlangsung di dunia sains modern. Ternyata, bi­langan prima dengan pelbagai operasinya, yang dalam sains diyakini oleh ilmuwan dan matematikawan sebagai kodetifikasi desain alam semesta, ternyata juga digunakan oleh al-Qur'an, untuk menjaga keterpeliharaannya. Peletakan Surat al-Hadid (Surat Besi, surat ke-57) dalam al-Qur'an ternyata bersesuaian dengan letak unsur besi dalam tabel periodik kimia, demikian juga dengan temuan ilmiah bahwa unsur besi memang benar­benar diturunkan [dari "langit", dari bintang lain] sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur'an. Selain itu, masih ada beberapa "temuan" penulis lainnya.
 

Kami menyajikan buku ini dengan harapan dapat menam­bah keyakinan pembaca bahwa al-Qur'an mustahil dibuat oleh manusia (Muhammad Saw) dan "sistem pengamanan"-nya pun dirancang sedemikian rupa oleh Penciptanya sehingga akan segera diketahui jika ada yang mengubah, memalsukan, menambah atau mengurangi jumlah dan susunan ayat. Buku ini, rencananya akan diikuti oleh sejumlah buku karya penulis yang sama dengan semangat yang sama pula. Mudah-mudahan buku ini dapat meningkatkan penghayatan kita pada al-Qur'an dan membersihkan tauhid kita. Amin ya Rabbal'Alamin.
 

Bandung, Mei 2004

 

< BACK

DAFTAR ISI

NEXT >

Izin publikasi buku ini belum diperoleh, bila pemegang copy-right keberatan dg publikasi ini, kami segera menghapusnya

 

Islamic Media Ibnuisa
Kritik & Saran
Counter
INDEX UTAMA