BAB II
MEMAHAMI RAHASIA AL-QURAN
Pengertian Takwil
menurut Para Mufasir dan Ulama
Para
mufasir berbeda pendapat tentang pengertian
ta'wil. Terdapat
lebih dari sepuluh pendapat tentang hal itu. Di antaranya, dua
pendapat berikut adalah pendapat-pendapat yang terkenal:
Pendapat pertama adalah pendapat ulama-ulama klasik
(qudama).
Pendapat ini mengatakan bahwa takwil dan
tafsir itu
searti. Oleh karena itu, semua ayat Al-Quran mempunyai takwil,
kecuali ayat berikut:
"Tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. "
(QS 3:7)
Berdasarkan ayat ini, maka yang mengetahui ayat-ayat
mutasyabih
hanyalah Allah SWT. Karena itu, sebagian ulama klasik
berpendapat bahwa ayat-ayat
mutasyabih adalah
singkatan-singkatan pada permulaan beberapa surat, karena tidak
ada satu ayat pun dalam Al-Quran yang maknanya tidak diketahui
oleh semua manusia selain singkatan-singkatan ini. Tetapi,
dalam pembahasan yang lalu kami telah menunjukkan bahwa pendapat
ini tidak benar. Mengingat Al-Quran mengatakan bahwa selain
Allah tidak ada yang tahu
ta'wil sebagian
ayat, dan tidak ada ayat-ayat yang artinya tidak akan diketahui
oleh semua manusia, dan mengingat singkatan-singkatan yang
terletak di permulaan beberapa surat itu bukanlah ayat-ayat
mutasyabih, maka
para ulama mutaakhir (ulama sesudah abad ketiga Hijriah) menolak
pendapat para ulama klasik ini.
Pendapat yang kedua adalah pendapat ulama mutaakhir. Pendapat
ini mengatakan bahwa 'takwil' mempunyai makna yang berbeda
dengan makna lahir suatu ayat. Oleh karena itu, tidak semua ayat
Al-Quran dapat ditakwil, kecuali ayat-ayat
mutasyabih. Dan
yang tahu arti ayat-ayat mutasyabih ini hanyalah Allah.
Contoh ayat-ayat seperti itu (mutasyabih)
adalah "Allah itu berjasmani", "Ia datang", "bersemayam",
"merasa senang, benci, sedih" dan sifat-sifat lain yang
dinisbatkan kepada Allah SWT. Begitu pula ayat-ayat yang arti
lahirnya menunjukkan penisbatan dosa kepada para Rasul dan Nabi
yang Suci.
Sedemikian termasyhur pendapat ini, sampai-sampai kata takwil
diartikan sebagai 'berbeda dengan makna lahir'. Begitu pula,
menafsirkan ayat yang berbeda dengan makna lahirnya, dengan
alasan yang mereka sebut takwil merupakan tema yang dikenal
luas, padahal tema itu mengandung kontradiksi.1)
Walaupun sangat terkenal, pendapat ini tidak sesuai dengan
ayat-ayat Al-Quran, karena:
Pertama,
perkataan Al-Quran:
"Tiadalah mereka itu menunggu kecuali takwilnya."
(QS
7:53)
"Bahkan mereka mendustakan apa yang belum benar-benar mereka
ketahui, padahal takwilnya belum sampai kepada mereka."
(QS 10:39)
menunjukkan bahwa keseluruhan ayat AI-Quran ada takwilnya. Dan
yang ada takwilnya bukan saja hanya ayat-ayat
mutasyabih.
Kedua,
akibat dari pendapat ini ialah adanya ayat-ayat AlQuran yang
pengertian hakiki ayat-ayat itu tidak jelas dan tidak diketahui
oleh manusia, dan yang mengetahuinya hanyalah Allah. Ucapan yang
tidak jelas maksudnya bukanlah merupakan ucapan yang indah,
padahal AI-Quran telah membuktikan keunggulannya dalam
keindahan bahasa kepada dunia sastra
Ketiga,
berdasarkan pendapat ini, maka tidak sempurnalah penalaran
Al-Quran, karena:
"Tidakkah mereka merenungkan Al-Quran? Seandainya AlQuran itu
bukan dari sisi Allah, maka mereka akan menemukan banyak
pertentangan di dalamnya. "
(QS
4:82)
Salah satu bukti bahwa Al-Quran bukanlah perkataan manusia
adalah tidak adanya pertentangan antara makna dan maksud
ayat-ayatnya, meskipun jarak masa turunnya lama, berbeda kondisi
dan sebab turunnya. Pertentangan yang tampak selintas
antarbeberapa ayat akan hilang dengan merenungkan ayat-ayat
itu. Meskipun sejumlah ayat
mutasyabih menunjukkan perbedaan dengan ayat-ayat
muhkam, dan jika
perbedaan ini terhapuskan dengan berpendapat bahwa arti lahiriah
ayat-ayat mutasyabih bukanlah arti yang dimaksudkannya, sedangkan arti
yang dimaksudkannya hanya diketahui oleh Allah saja, maka
perbedaan pendapat seperti itu bukanlah menjadi sebab
dikatakannya bahwa Al-Quran bukanlah perkataan manusia.
Jika
perbedaan-perbedaan itu dapat dihapuskan dengan menghindarkan
arti lahiriah setiap ayat yang tampak bertentangan dengan
ayat-ayat muhkam
melalui penakwilan - menurut istilah ulama mutaakhir - yang
berbeda dengan lahiriahnya, maka akan ada kemungkinan untuk
meniadakan perbedaan-perbedaan bahkan kata-kata manusia melaiui
penakwilan.
Keempat,
sama
sekali tidak ada alasan bahwa menakwilkan ayat
muhkam dan
mutasyabih berarti
bertentangan dengan makna lahir ayat itu, dan arti semacam itu
tidak terdapat pada apa yang disebut 'takwil'. Sebagai contoh,
pada tiga tempat mengenai kisah Nabi Yusuf a.s.,2)
tafsir atas mimpi diistilahkan dengan takwil. Jelaslah bahwa
tafsir atas mimpi itu bukanlah sesuatu yang berbeda dengan makna
lahiriah mimpi, tetapi tafsir atas mimpi itu merupakan kenyataan
lahiriah yang dilihat ketika tidur dalam bentuk tertentu,
seperti Yusuf melihat penghormatan ayah, ibu dan
saudara-saudaranya dalam bentuk bersujudnya matahari, bulan dan
bintang kepadanya. Dan Raja Mesir melihat tahuntahun kekeringan
dalam bentuk tujuh lembu kurus memakan tujuh lembu gemuk.
Sedangkan dua orang teman Yusuf di penjara melihat penyaliban
dan pengabdian kepada raja dalam bentuk memeras anggur dan
membawa roti di atas kepala yang dimakan burung.
Dalam kisah tentang Nabi Musa dan Khidhir, sesudah Khidhir
melubangi perahu, membunuh bocah dan menegakkan dinding,
selalu dikritik Musa. Kemudian Khidhir menyebutkan rahasia yang
tersimpan di balik perbuatan-perbuatannya itu, dan rahasia itu
dinamakannya 'takwil'. Hal ini menunjukkan bahwa maksud sejati
yang berbentuk perbuatan-perbuatan disebut takwil. Dan ia bukan
berarti sesuatu yang berbeda dengan wujud perbuatan itu.
Allah berfirman tentang penimbangan dan penakaran:
"Penuhilah takaran bila kamu menakar dan timbanglah dengan
neraca yang benar. Itulah yang lebih utama bagimu dan lebih baik
takwilnya."
(QS
17:35)
Yang
dimaksud dengan takwil dalam penakaran dan penimbangan di sini
adalah berkenaan dengan situasi ekonomi (pertukaran barang dan
bahan pokok kehidupan) di pasar. Takwil dalam pengertian ini
bukanlah bertentangan dengan makna lahiriah dari penimbangan,
tetapi merupakan kenyataan lahiriah atau jiwa dalam penakaran
dan penimbangan, dan betul atau tidaknya kenyataan lahiriah
atau jiwa itu menjadikan baik atau buruknya.
Di
tempat lain Allah berfirman:
"Apabila kamu berselisih tentang sesuatu, maka rujukkanlah
sesuatu itu kepada Allah dan Rasul-Nya.
.....
Hal itu lebih utama dan lebih baik takwilnya."
(QS
4:59)
Yang
dimaksud dengan takwil dalam ayat ini adalah kukuhnya persatuan
dan tegaknya hubungan-hubungan spiritual dalam masyarakat. Dan
hal ini merupakan hakikat lahiriah dan bukan merupakan sesuatu
yang berbeda dengan wujud lahiriah dari merujukkan perselisihan.
Demikian pula enam belas ayat lain yang menyebutkan kata takwil,
yang kita tidak dapat memandang takwil sebagai sesuatu yang
berbeda dengan wujud lahiriahnya, melainkan takwil itu adalah
makna lain yang akan kami jelaskan dalam pembahasan yang akan
datang.
1).
Karena, menakwilkan ayat dengan mengakui bahwa takwil itu hanya
diketahui secara sempurna oleh Allah SW'f, merupakan perbuatan
yang kontradiktif. Tetapi, mereka menyebutkan hal itu dengan
alasan bahwa takwil itu merupakan kemungkinan yang dikandung
oleh ayat.
2.)
Mimpi Yusuf a.s. disebutkan dalam ayat ke-4 surat
Yusuf: "lrtgadah ketika Yusuf berkata kepada ayahnya:
'Wahai ayah tercinta, sesungguhnya aku melihat sebelas
bintang, matahari dan bulan bersujud kepadaku'."
Tafsir mimpi Yusuf
disebutkan dalam ayat ke-100 melalui lisan Yusuf ketika
bertemu dengan ayah dan ibunya setelah beberapa tahun
berpisah, yaitu: "Dan dia menaikkan kedua orang tuanya
ke atas singgasana, mereka merebahkan diri menghormat
kepadanya. Yusuf berkata: 'Wahai
ayahku,
inilah tafsir mimpiku sebelumnya. Tuhan telah membuat
mirnpiku itu menjadi kenyataan'."
Mimpi Raja Mesir
disebutkan dalam ayat ke-43: "Raja berkata.'
'Sesungguhnya aku bermimpi rnelihat tujuh ekor sapi betina
yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi yang
kurus-kurus. Dan aku rnelihat tujuh butir gandum yang
hijau dan tujuh lainnya yang kering'. "
Tafsir mimpi Raja
Mesir ini disebutkan dalam ayat ke-47 - 49 melalui lisan
Yusuf, yaitu: "Yusuf berkata: 'Bertanamlah tujuh tahun
lamanya sebagaimana biasa, kemudian apa rang kamu tunai
hendaklah tetap dibiarkan di
bulirnya,
kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian sesudah itu
akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan
apa yang karnu simpan untuk menghadapinya, kecuali sedikit
bibit gandum yang kamu simpan. Setelah itu akan datang
tahun yang pada waktu itu manusia diberi
hujan
yang cukup dan di masa itu mereka memeras anggur'. "
Dan mimpi kedua
teman Yusuf di penjara disebutkan dalam ayat ke-36:
'Bersama dengan dia masuk pula dua orang pemuda ke dalam
penjara. Berkatalah salah seorang di antara keduanya:
'Sesungguhnya aku bermimpi memeras anggur.' Dan yang
lainnya berkata: 'Sesungguhnya aku bermimpi membawa rori
di atas kepalaku, dan sebagian roti itu dimakan burung'."
Tafsir mimpi kedua
orang pemuda itu disebutkan dalam ayat ke-41 melalui lisan
Yusuf: "Wahai dua orang temanku di penjara, salah
seorang di antara kamu berdua akan menyuguhkan minuman
tuak kepada tuannya, sedangkan yang lain akan disalib dan
sebagian kepalanya akan dimakan burung. Telah diputuskan
perkara yang kamu berdua menanyakannya."
|
|