BAB II
MEMAHAMI RAHASIA AL-QURAN
Pengertian Takwil
yang Hakiki dalam Al-Quran
Kesimpulan dari ayat-ayat yang di dalamnya disebutkan kata
takwil - sebagiannya telah dipaparkan di atas - adalah bahwa
takwil bukanlah sesuatu yang menjadi maksud kata-kata. Jelas,
bahwa dalam mimpi-mimpi dan tafsirnya yang dipaparkan dalam
surat Yusuf tidak ada kata-kata yang menggambarkan bahwa mimpi
itu merupakan takwil verbal mimpi itu, walaupun bertentangan
dengan wujud lahiriahnya. Demikian juga dalam kisah Musa dan
Khidhir. Kata-kata kisah itu bukanlah bukti takwil yang
dituturkan Khidhir kepada Musa. Dan pada ayat yang dipaparkan di
atas:
"Penuhilah takaran jika kamu menakar, dan timbanglah dengan
neraca yang benar ..... "
(QS
17:35)
dua
kalimatnya tidak memberikan bukti verbal tentang situasi ekonomi
yang menjelaskan masalah itu. Begitu pula ayat,
"Apabila kamu berselisila tentang sesuatu, maka rujukkanlah
sesuatu itu kepada Allah dan Rasul-Nya. . . . "
(QS
4:59)
tidak memberikan bukti verbal tentang kesatuan Islam yang
tersirat di dalamnya. Demikian juga dengan ayat-ayat lain, jika
kita menelaahnya secara mendalam dan cermat.
Adapun takwil mimpi, ia merupakan suatu kenyataan lahiriah dalam
bentuk tertentu yang dilihat oleh orang-orang yang bermimpi.
Dalam Kisah Musa dan Khidhir, takwil yang dijelaskan Khidhir
merupakan suatu kenyataan yang menjadi dasar
perbuatan-perbuatan yang dilakukannya. Dalam ayat yang
menyerukan penakaran dan penimbangan yang benar, takwilnya
merupakan suatu kenyataan dan suatu kemaslahatan umum yang
menjadi dasar perintah itu. Begitu pula dengan ayat tentang
perujukan perselisihan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Oleh
karena itu, takwil sesuatu merupakan suatu kenyataan yang
menjadi landasan sesuatu itu, dan merupakan isyarat dan
pemenuhannya. Makna seperti ini terungkap dalam Al-Quran, karena
Kitab ini bersumber pada serangkaian kebenaran. Dan
masalah spiritual - yang lepas dari hal-hal material dan fisikal
- berada di atas indera-indera kita dan di atas hal-hal
lahiriah, dan bentuknya jauh lebih luas daripada kata-kata dan
kalimat-kalimat yang merupakan produk-produk kehidupan material
kita.
Kebenaran-kebenaran dan kenyataan-kenyataan spiritual ini tidak
mungkin diungkapkan dengan kata-kata. Satu-satunya hal yang
dimungkinkan oleh alam gaib ialah memperingatkan manusia dengan
kata-kata ini agar mempersiapkan diri untuk mencapai kebahagiaan
melalui keyakinan-keyakinan kongkretnya kepada kebenaran dan
amal-amal saleh. Tidak adajalan lain bagi manusia untuk mencapai
kebahagiaan kecuali dengan hal-hal ini. Hanya pada Hari
Kebangkitan dan ketika bertemu Allah, akan tampak jelas baginya
kebenaran-kebenaran ini sebagaimana digambarkan oleh dua ayat
dari surat al-A'raf (6) dan S'unus (10) di atas. Mengenai hal
ini Allah berfirman:
"Demi kitab yang menjelaskan. Sesungguhnya Kami telah membuatnya
menjadi Al-Quran yang berbahasa Arab agar kamu sekalian
memahami. Al-Quran itu berada di dalam induk al-Kitab
(Lauh Mahfudh) di sisi Kami, mempunyai nilai yang tinggi dan
banyak mengandung hikmah." (QS 43:2-4)
Kata
'tinggi' berarti bahwa ia tidak bisa dimengerti oleh akal orang
awam. Sedangkan 'banyak mengandung hikmah' berarti bahwa ia
sedemikian kukuh.
Kesesuaian akhir ayat ini dengan takwilnya dalam arti yang telah
kami sebutkan tadi sudah jelas, dan tidak perlu diragukan,
terutama karena Allah berfirman
"agar kamu sekalian memahami
", dan Dia tidak mengatakan "agar kamu sekalian
memahaminya". Sebab, pengetahuan tentang takwil itu hanya milik
Allah, sebagaimana disebutkan dalam ayat tentang ayat-ayat
muhkam dan
mutasyabih, yakni
"dan tidak ada yang
mengetahui takwilnya kecuali Allah". Oleh karena itu, ketika
bermaksud memberi peringatan kepada orang-orang yang menyimpang
yang mengikuti ayat-ayat mutasyabih, ayat itu mengatakan
bahwa mereka mencari-cari fitnah dan takwil, dan tidak
mengatakan bahwa mereka menemukan takwil. Karena itu,
takwil merupakan kebenaran atau kebenaran-kebenaran yang ada di
Lauh Mahfudh (Ummul Kitab), yang hanya diketahui oleh
Allah, dan hanya ada di alam gaib.
Dalam ayat-ayat yang lain Allah berfirman:
"Maka Aku bersumpah dengan kedudukan bintang-bintang.
Sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah yang besar jika kamu
mengetahui. Sesungguhnya ia merupakan Al-Quran yang amat mulia,
di dalam kitab yang terpelihara
(Lauh Mahfudh). Tidak ada yang menyentuhnya kecuali
orang-orang yang disucikan. Diturunkan dari Tuhan semesta alam.
" (QS 56:75-80)
Dari
ayat-ayat itu tampak dengan jelas bahwa Al-Quran mempunyai dua
maqam (peringkat): yakni sebuah Kitab yang disimpan dan
dipelihara dari sentuhan (yakni, hanya para suci yang dapat
menyentuhnya), dan tanzil
(pewahyuan) yang dapat dipahami
oleh semua orang.
Manfaat lain yang dapat kami ambil dari ayat-ayat ini, dan tidak
kami temui dalam ayat-ayat terdahulu, adalah pengecualian, yaitu
"kecuali orang-orang yang disucikan". Firman ini
menunjukkan bahwa ada sebagian orang yang dapat menjangkau
kebenaran (esensi) AI-Quran dan takwilnya. Hal ini tidak
bertentangan dengan penafian yang terdapat dalam firman
'padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah ",
sebab pemaduan antara kedua ayat ini akan menghasilkan
kemandirian dan ketergantungan. Artinya, dari kedua ayat itu
diketahui kemandirian ilmu Allah tentang esensi-esensi ini, dan
tak ada seorang pun yang mengetahuinya kecuali dengan izin dan
pengajaran dari-Nya.
Mengetahui takwil - menurut penjelasan kami di atas -
adalah
seperti mengetahui hal gaib, yang dalam banyak ayat dikhususkan
untuk Allah saja, dan dalam satu ayat hamba-hamba yang
diridhai-Nya diberi karunia khusus untuk dapat mengetahui
hal gaib itu. Ayat itu adalah firman Allah:
"Yang mengetahui hal gaib, dan Dia tidak memperlihatkannya
kepada seorangpun, kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya. . . .
"
(QS
72:26-27)
Dari
semua pernbicaraan tentang mengetahui yang gaib, kami dapat
mengambil kesimpulan bahwa secara mandiri pengetahuan itu hanya
dimiliki Allah, dan tak ada seorangpun yang mengetahuinya
kecuali dengan izin-Nya. Memang, orang-orang yang disucikan
adalah mereka yang menyentuh kebenaran dan mencapai kedalaman
pengetahuan-pengetahuan Qurani, sebagaimana dipaparkan oleh
ayat-ayat yang telah kami sebutkan di atas. Jika kita memadukan
ayat-ayat ini dengan ayat:
"Sesungguhnya Allah bermaksud membersihkan dosa dari kamu, hai
Ahlul Bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. "
(QS 33:33)
yang, menurut hadis-hadis mutawatir, diturunkan berkenaan
dengan hak Ahlul Bait, maka kita mengetahui bahwa Nabi
Muhammad s.a.w. dan Ahlul Bait beliau a.s. adalah orang-orang
yang disucikan dan mengetahui takwil Al-Quran.
|