SANG ALIM DARI TABRIZ
Oleh Sayyid Husain Nasr
Selama musim panas 1963, ketika Profesor Kenneth Morgan1)
berada di Teheran, kami mengunjungi Allamah Sayyid Muhammad
Husain Thabathaba'i di Darakah, sebuah desa kecil di sisi
pegunungan dekat Teheran, tempat alim yang mulia ini
menghabiskan bulan-bulan musim panas, menyingkir dari panas
kota Qum, kediamannya. Pertemuan itu dicengkam dengan kehadiran
seorang laki-laki yang rendah hati yang telah membaktikan
segenap hidupnya untuk mengkaji agama. Di dalam dirinya,
kerendahhatian dan kemampuan analisis intelektual bergabung
..... Dalam kelompok ulama tradisional,2)
Allamah Thabathaba'i memiliki kelebihan sebagai seorang Syaikh
dalam bidang Syariat dan ilmu-ilmu esoteris, sekaligus seorang
hakim (filosof
atau, tepatnya, teosof Islam tradisional) terkemuka.
Allamah Sayyid Muhammad Husain Thabathaba'i dilahirkan di Tabriz
pada tahun 1321 Hijriah atau 1903 Masehi, di suatu keluarga
keturunan Nabi Muhammad - yang selama empatbelas generasi telah
menghasilkan ulama-ulama Islam terkemuka. Ia memperoleh
pendidikan dirinya di kota kediamannya, menguasai unsur-unsur
bahasa Arab dan ilmu-ilmu agama, dan pada umur duapuluh tahun
berangkat ke Universitas Najaf untuk melanjutkan
pelajaran-pelajarannya. Sebagian besar murid di
madrasah-madrasah itu mengikuti cabang ilmu-ilmu
naqliah,
khususnya ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Syariat,
yurisprudensi (fiqh)
dan prinsip-prinsip yurisprudensi
(ushul al-fiqh).
Meskipun demikian, Allamah T'habathaba'i berusaha menguasai
kedua cabang ilmu tradisional itu sekaligus:
naqliah dan
aqliah
(intelektual). Dia mempelajari Syariat dan
ushul al-fiqh
dari dua di antara syaikh-syaikh terkemuka masa itu - Mirza
Muhammad Husain Na'ini dan Syaikh Muhammad Husain Isfahani. Dia
sendiri kemudian menjadi seorang syaikh di bidang itu yang, jika
saja ia memusatkan perhatian sepenuhnya di bidang ini, sudah
akan menjadi salah seorang
mujtahid ataupun
ulama Syariat terkemuka, dan sudah akan memberikan banyak
pengaruh politis dan sosial.
Tetapi itu bukan tujuannya. Dia lebih tertarik pada ilmu-ilmu
aqliah, dan
mempelajari dengan tekun seluruh daur matematika tradisional
dari Sayyid Abul Qasim Khwansari, dan filsafat Islam
tradisional, termasuk naskah baku
asy-Syifa karya
Ibnu Sina dan al-Asfar
karya Sadr al-Din Syirazi serta
Tamhid al-Qawa'id
karya Ibnu Turkah dari Sayyid Husain Badkuba'i - murid dua orang
syaikh terkemuka aliran Teheran, yakni Sayyid Abul Hasan Jilwah
dan Aqa' Ali Mudarris Zunuzi.
Sebagai tambahan terhadap pelajaran formal, atau yang oleh
sumber-sumber Muslim tradisional disebut sebagai
'ilm hushuli
(ilmu yang dicapai lewat upaya belajar secara konvensional),
Allamah Thabathaba'i juga mempelajari
'ilm hudhuri
(ilmu-ilmu yang diperoleh secara langsung dari Allah SWT), atau
ma'rifat, yang
melaluinya pengetahuan menjelma menjadi penampakan
hakikat-hakikat supranatural. Dia beruntung bisa menemukan
seorang Syaikh besar dalam bidang
ma'rifat, Mirza
Ali Qadhi, yang mulai membimbingnya ke arah rahasia-rahasia
Ilahi dan menuntunnya dalam pelancongannya menuju kesempurnaan
spiritual. Allamah Thabathaba'i pernah berkata kepada saya bahwa
sebelum bertemu dengan Qadhi, ia telah mempelajari
Fushush al-Hikam
karya Ibn Arabi3)
dan mengira telah benar-benar memahaminya. Namun ketika bertemu
dengan Syaikh besar ini, ia
baru
sadar bahwa sebenamya ia belum tahu apa-apa. Ia juga
mengisahkan kepada saya bahwa ketika Mirza Qadhi mulai
mengajarkan Fushush,
seakan-akan dinding-dinding ruangan berbicara tentang
hakikat ma'rifat
dan ikut menguraikannya. Berkat Sang Syaikh, tahun-tahunnya di
Najaf tak hanya menjadi suatu kurun pencapaian intelektual,
melainkan juga kezuhudan dan praktek-praktek spiritual yang
memampukannya untuk mencapai keadaan realisasi spiritual - yang
sering disebut sebagai menjadi terceraikan dari kegelapan
batasan-batasan material
(tajrid). Ia menghabiskan hari-harinya dengan puasa,
salat dan menjalani puasa-bicara total selama suatu jangka waktu
tertentu. Kini, kehadirannya selalu membawa bersamanya
kekhidmatan perenungan dan konsentrasi sempurna, sekalipun dalam
keadaan ia berbicara.
Allamah Muhammad Husain Thabathaba'i
Allamah Thabathaba'i kembali ke Tabriz pada tahun 1934 dan
menghabiskan beberapa tahun yang sunyi di kota itu, mengajar
sejumlah kecil murid. Namun ia tetap saja belum dikenal oleh
lingkaran keagamaan Persia pada umumnya. Kejadian-kejadian
mengerikan Perang Dunia Kedua dan pendudukan Rusia atas
Persialah yang membawa Allamah Thabathaba'i dari Tabriz ke Qum
(1945). Pada waktu itu, dan seterusnya sampai sekarang, Qum
merupakan pusat pengkajian keagamaan di Persia. Dalam sikapnya
yang pendiam dan sederhana, Allamah Thabathaba'i mulai mengajar
di kota suci ini, memusatkan diri pada tafsir-Quran serta
filsafat dan teosofi tradisional, yang selama bertahun-tahun
sebelumnya tidak diajarkan di Qum. Kepribadiannya yang penuh
daya tarik dan kehadiran spiritualnya segera saja menarik
sebagian besar murid yang paling inteligen dan kompeten, dan
secara bertahap ia menjadikan ajaran-ajaran Mulla Sadra sekali
lagi sebagai pokok kurikulum tradisional. Saya masih ingat
dengan jelas beberapa kesempatan kuliah umumnya di salah satu
masjid-madrasah di Qum, tempat hampir empat ratus murid
bersimpuh di kakinya untuk menangguk hikmahnya.
Kegiatan-kegiatan Allamah Thabathaba’i sejak kedatangannya di
Qum juga meliputi banyak kunjungan ke Teheran. Setelah Perang
Dunia Kedua, ketika Marxisme sedang jadi mode di kalangan
sementara pemuda di Qum, dialah satu-satunya ulama yang bersusah
payah mempelajari dasar filosofis komunisme dan memberi
tanggapan terhadap materialisme dialektika dari sudut pandang
tradisional. Hasil usahanya inilah yang kemudian dibukukan
dengan judul Ushul-i
Falsafah wa Rawisyy-i Ri'alism (PrinsipPrinsip
Falsafah dan Metode Realisme). Di dalamnya ia membela realisme -
dalam arti tradisional abad pertengahannya - dalam
pertentangannya dengan filsafat-filsafat dialektis. Dia juga
mengajar sejumlah murid yang termasuk dalam kelompok masyarakat
Persia yang berpendidikan modern.4)
Sejak kedatangannya di Qum, Allamah Thabathaba'i dengan tak
kenal lelah terus berupaya untuk menyampaikan hikmah dan pesan
intelektual Islam kepada tiga kelompok murid: kepada sejumlah
besar murid-murid tradisional di Qum yang sekarang tersebar di
seantero Persia dan sampai ke daerah-daerah lain; kepada
sekelompok murid terpilih yang diajamya
ma'rifat dan
tasawuf dalam suatu lingkaran yang lebih akrab, dan yang biasa
bertemu pada hari Kamis malam di rumahnya atau di rumah-rumah
privat lainnya; dan juga. kepada sekelompok orang Persia yang
mempunyai latar belakang pendidikan modern dan kadang-kadang
juga orang-orang non-Persia yang dittemuinya di Teheran. Selama
sepuluh tahun terakhir diadakan suatu rangkaian pertemuan secara
teratur yang dihadiri oleh sekelompok orang Persia terpilih
termasuk, pada musim-musim gugur, Henry Corbin.5)
Dalam pertemuan-pertemuan itu masalah-masalah spiritual dan
intelektual yang paling besar dan mendesak diperbincangkan, yang
di dalamnya saya biasa bertindak sebagai penerjemah. Selama
tahun-tahun itu kami telah mempelajari dari Allamah Thabathaba'i
tidak hanya naskah-naskah klasik tentang Hikmah Ilahi dan
ma'rifat,
melainkan juga seluruh daur yang bisa disebut sebagai
ma'rifat
komparatif. Di dalamnya naskah-naskah suci agama-agama besar,
yang mengandung ajaran-ajaran tasawuf dan ma'rifat, seperti Tao
Te Ching, Upanisyad dan Injil Johannes, diperbincangkan dan
dibandingkan dengan tasawuf dan doktrin-doktrin
ma'rifat Islam
pada umumnya.
Dengan demikian Allamah Thabathaba'i telah memberikan pengaruh
yang amat besar, baik di dalam daur tradisional maupun modern,
di Persia. Dia telah mencoba untuk menciptakan suatu elite
intelektual baru di kalangan kelompok masyarakat berpendidikan
modern yang ingin menjadi akrab dengan intelektualitas Islam di
samping dengan dunia modem. Banyak murid tradisionalnya yang
termasuk dalam kelompok ulama telah mencoba untuk mengikuti
teladannya dalam upaya yang amat penting ini. Beberapa muridnya,
seperti Sayyid Jalal al-Din Asytiyani dari Universitas Masyhad
dan Murtadha Mutahhari dari Universitas Teheran, juga dikenal
sebagai sarjana yang mempunyai reputasi istimewa. Allamah
Thabathaba'i juga sering berbicara tentang beberapa muridnya
yang lain yang memiliki kualitas-kualitas spiritual tinggi
tetapi tidak mau menampilkan diri mereka.
Sebagai tambahan bagi suatu program yang amat berat dalam
mengajar dan memberikan bimbingan, Allamah Thabathaba'i juga
menyibukkan dirinya dengan kerja menulis banyak buku dan artikel
yang membuktikan kekuatan intelektual dan keluasan ilmunya yang
luar biasa di dalam dunia ilmu-ilmu Islam tradisional. Sekarang,
di tempat tinggalnya di Qum, sang alim membaktikan hampir
seluruh waktunya untuk menyelesaikan Kitab Tafsir Quran yang
ditulisnya6)
dan memberikan pengarahan kepada murid-muridnya yang terbaik.
Dia bertindak sebagai suatu larnbang dari sesuatu yang paling
permanen di sepanjang tradisi kesarjanaan dan ilmu-ilmu
tradisional Islam. Kehadirannya meniupkan suatu aroma yang hanya
bisa datang dari seseorang yang telah mengecap buah Pengetahuan
Ketuhanan. Ia mencontohkan, dalam kepribadiannya, kemuliaan,
kerendahhatian dan kecintaannya kepada kebenaran - yang selama
berabad-abad telah menjadi ciri ulama-ulama Muslim terbaik.
Ilmunya dan ungkapanungkapannya merupakan saksi bagi ilmu Islam
sejati - yakni betapa luar biasa, metafisis dan berbedanya dari
sedemikian banyak uraian dangkal kaum orientalis atau karikatur
yang penuh distorsi dari banyak modernis Muslim. Memang ia tak
memiliki kesadaran tentang mentalitas dan sifat dunia modern
yang mungkin diperlukan, tetapi hal semacam itu memang tak
seharusnya diharapkan dari seseorang yang pengalaman hidupnya
terbatas pada daur lingkaran Persia dan Irak.
1).
Seorang orientalis terkemuka, yang di Indonesia dikenal
lewat bukunya yang berjudul
Islam, the Straight
Path (terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia
telah diterbitkan oleh Pustaka Jaya dengan judul lslam
Jalan Lurus) - penyunting.
2).
Istilah
"tradisional" di sepanjang artikel ini mesti tidak
diartikan dalam konotasinya yang negatif, rnelainkan
sebagai sifat disiplin di bidang ilmu-ilmu agama Islam
yang memberikan penekanan pada kombinasi
fiqh
dan tafsir Al-Quran dengan filsafat, teosofi dan
tasawuf - penyunting.
3).
Fushush
al-Hikam adaiah
karya masrerpiece
Ibn Arabi yang disebutsebut sebagai Syaikh terbesar
dalam bidang tasawuf. buku ini karena keluarbiasaannya,
telah diterjemahkan ke berhagai bahasa, antara lain,
Inggris, Prancis dan sebagainya - penyunting.
4). Sayyid
Husain Nasr sendiri adalah salah seorang murid Allamah
Thabathabati. Di bagian lain artikelnya ini ia menulis:
"Saya sendiri pernah berguru padanya selama bertahun-tahun
dalam bidang filsafat tradisional dan teosofi." -
penyunting.
5). Seorang
orientalis Prancis terkemuka yang dikenal banyak menulis
buku tentang aspek metafisis (tasawuf dan filsafat) Islam,
terutama berkenaan dengan Syi'ah. Dia menulis sebuah buku
tentang tasawuf ibn Arabi dan, bersama Sayyid Husain Nasr,
menulis buku tentang filsafat Islam - penyunting.
6). Sebuah
Tafsir Quran yang berpengaruh dengan nama al-Mizan,
terdiri atas 21 jilid, masing-masing mencapai ratusan
halaman, dikenal sebagai Tafsir Al-Quran dengan Al-Quran -
penyunting.
|
|