Chapter
2.2
2.2 Kemurkaan Estafet
Pada tanggal 15 Mei 1953 di kota Lahore Pakistan,
seorang Ulama besar, syed Abul A'la al-Maududi, karena menyerang keras
aliran Qadiani (Ahmadiyah) dan bersama-sama kaum Muslimin
menuntut
agar pengikutpengikut
Ahmadiyah dinyatakan sebagai golongan non-muslim, oleh pengadilan militer
di Lahore, beliau dan seorang Ulama bernama Maulana Niazi, dijatuhi
hukuman mati!
8
Berita vonnis yang tidak disangka-sangka itu, bahkan tidak pernah
terlintas dalam pikiran kaum Muslimin, telah menimbulkan kepanikan di
kalangan ummat Islam Pakistan, India, bahkan seluruh dunia Islam ikut
terkejut atasnya.9
Keputusan akan "membunuh" tokoh kecintaan ummat, seorang mujahid, dan
seorang sumber ilmu Agama yang tidak keringkeringnya itu, telah
menimbulkan kekhawatiran dan kegelisahan dimanamana. Kemarahan
kaum Muslimin hampir-hampir tidak dapat dibendung lagi. Melihat situasi yang semakin panas itu, pemerintah cepat-cepat turun tangan, mengambil langkah mendatangi Syed Maududi di tempat tahanannya, menawarkan pada beliau kesempatan untuk mohon ampun dan mohon dikasihani. Namun dengan sikap yang berani dan tegas, beliau berkata: "Tidak, lebih baik aku mati daripada merendah-rendah diri di hadapan suatu Tyran. Jika ini sudah Takdir Allah, aku dengan segala keikhlasan menerimanya. Akan tetapi jika ini bukan KehendakNya, maka ketahuilah! Jangan coba-coba menyakiti diriku."10 Melihat pendirian syed Maududi begitu gigih, lebih-lebih sikap dari kaum Muslimin Pakistan, India, dan seluruh dunia Islam dalam suasana prihatin, akhirnya pemerintah menempuh jalan lain dan merobah hukuman mati atas diri syed Maududi menjadi hukuman penjara selama 20 tahun. Namun tidak lama kemudian jumlah 20 tahun itu berobah lagi, bahkan berobah berkali-kali sehingga sampai pada hukuman penjara dua tahun. Tindakan drastis oleh pengadilan militer Lahore atas diri Ulama besar itu, menurut sinyalemen maupun pendapat-pendapat tokoh-tokoh pemerintahan dan militer, didasarkan atas pertimbangan politis semata-mata. Namun bila diteliti lebih seksama, pokok pangkal daripada peristiwa 1953 itu, ialah agitasi golongan Ahmadiyah, yang terang-terangan mengacaukan ketentraman iman kaum Muslimin dan membelakangi aqidah mereka.11 Bahwa sebab utamanya terletak pada kegiatan Ahmadiyah mempropagandakan faham-fahamnya yang bersimpang jalan itu, tidak diragukan lagi. Peristiwa yang sama dan dari sebab-sebab yang sama telah terjadi lagi, mungkin suatu peristiwa yang akhir, akan tetapi mungkin juga bukan terakhir, telah mengambil tempat di anak benua India kembali.
Pada tanggal
8
Juni 1974, di Islamabad Pakistan, telah terjadi demonstrasi kemarahan kaum
Muslimin yang mencapai klimaxnya. Kali ini peristiwa itu lebih banyak
makan korban harta benda dan jiwa. Gerakan Ahmadiyah yang mula-mula
menceritakan kejadiankejadian tersebut, berkata: "Sejak Minggu terakhir dari bulan Mei 1974 telah terjadi kerusuhankerusuhan di Pakistan. Dengan dihasut oleh kaum Ulama dan digelorakan oleh surat-surat kabar kaum Islam yang fanatik menjalankan tindakan kekerasan terhadap orang-orang dan harta benda milik jemaat Ahmadiyah di Pakistan. Orang-orang Ahmadiyah dibunuh dan mesjid, rumah, toko, perpustakaan, pabrik, gudang dan klinik mereka dirampoki, dihancurkan dan dibakar. Boikot sosial dan ekonomi dilakukan terhadap o-orang Ahmadiyah di seluruh Pakistan sehingga mereka tak dapat memperoleh bahan kebutuhan sehari-hari, bahkan air minum tak dapat mereka beli. Bayi-bayi juga menderita akibat boikot itu, karena susu untuk mereka tak bisa didapat."12 Bahkan rentetan dari peristiwa itu lebih jauh lagi. Di luar Pakistan, dari kota Mekkah Al-Mukarramah, telah datang keputusan Rabithah 'Alam Islamy, menyatakan golongan Ahmadiyah sebagai golongan nonMuslim serta melarang anggauta-anggautanya naik haji. Jelas sudah, bahwa penyebab utama timbulnya kerusakan-kerusakan maupun korban jiwa itu, datang dari Ahmadiyah sendiri. Aliran inilah biang keladi dari kemarahan ummat Islam yang tak terbendungkan itu. Sungguh sangat disesalkan telah terjadi peristiwa itu, akan tetapi sangat disayangkan bahwa pemerintah tidak mengambil inisiatif jauhjauh sebelumnya, bahkan jauh sebelum peristiwa-peristiwa yang silam itu, untuk menghentikan aliran Mirza Ghulam itu dan menyatakan sebagai aliran non-Islam maupun membubarkannya sekaligus! Sudah jelas, bila golongan kecil Ahmadiyah ini, bila dikaji fahamfahamnya, maupun aqidahnya ataupun hanya disebut-sebut. namanya, akan menimbulkan tidak sedap dan menggelisahkan kaum Muslimin, bahkan bisa terjadi kemarahan-kemarahan dan korban. Ia jauh lebih terorganisir, rapi, sempurna, dan persiapan-persiapan masa depannya maupun keuangannya sangat padat. Sebaliknya dari peristiwa 1974 itu, gerakan Ahmadiyah sendiri mempunyai pandangan-pandangan yang berbeda. Golongan ini berkata: "Rahasia di-non-Islamkannya Ahmadiyah, ialah sebagaimana yang diberitakan oleh harian - Imroz Lahore Pakistan, seperti berikut ini: Chiniot, 16 November (74). Menteri Kehakiman Propinsi merangkap urusan Parlemen, Sadar Asghar Ahmad, dihadapan rapat akbar di Jerwala mengatakan, bahwa partai rakyat (yang berkuasa di Pakistan sekarang) telah berhasil menyelesaikan masalah "Khataman Nubuwah" dengan cara yang amat bijaksana. Penyelesaian masalah ini merupakan kejadian besar sesudah peristiwa Karbala yang tercatat dalam sejarah Islam. Perdana Menteri Ali Butto telah berhasil menghancurkan siasat pemimpinpemimpin opposisi dengan menyelesaikan masalah Qadiani itu."
Kelihatan belangnya, bukan? Kita ini (Ahmadiyah) memang
sudah tau. Itulah sebabnya tidak pernah kecil hati. Permainan politik
memang begitu. Kaum opposisi di pemilihan umum mendatang (1975) di
Pakistan ingin menjadikan masalah Ahmadiyah sebagai issue menarik untuk
memperoleh suara. Tetapi Ali Butto bukan goblog. Dia tau mental
"alim-ulama" yang rakus kursi, berselimutkan Agama ingin mencapai tujuan
politis."13
Lebih lanjut Ahmadiyah berkata:
"Saudi Arabia atau Rabhitah kalau mencap Ahmadiyah non Islam - tidak
mengherankan. Itu biasa, asal jangan Tuhan yang me-nonIslamkan."14 Bahwa peristiwa di Pakistan itu merupakan tindakan kaum oposisi serta para Ulama dengan maksud untuk mencapai tujuan politis, itu adalah pendapat Ahmadiyah pribadi. Adalah sukar untuk diterima, bahwa ikut sertanya Organisasi Dunia Islam yang berkedudukan di Mekkah itu, termasuk dari rasa solidaritas atau bertindak dalam rangka membantu tujuan politis kaum oposisi di dalam negeri Pakistan. Melainkan yang logis dan mudah dimengerti, bahwa Rabhitah Alam Islamy telah me-non-Islamkan Ahmadiyah dan sekaligus melarang angauta-anggautanya naik haji, ialah atas dasar-dasar pertimbangan serta penelitian yang seksama akan bentuk hakiki dari gerakan Ahmadiyah itu. Ulama-ulama di Pakistan, India, atau dimana saja, melihat gerak-gerik Ahmadiyah tidak lagi dari segi-segi lahirnya, akan tetapi pada segisegi bagian dalamnya. Kenyataan dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan Ahmadiyah sendiri, bahkan semenjak fajar-fajar munculnya Mirza Ghulam Ahmad dan alirannya, sikap dan tindakan para Ulama selalu menentang keras padanya. Dari suatu pengamatan yang teliti, benih-benih yang ditanam Ahmadiyah di kemudian hari jauh berbeda-beda dari sebelumnya, ia lebih banyak menonjolkan merk Islamnya daripada sifatnya yang complex. Syukur bahwa dari Ulama-ulama yang masyhur seperti: Mohammad Hadr Husein, Abul Hasan Ali an-Nadwi, Abdul 'Alim Assidiqhi, Abul Ala alMaududi dan lain-lain, telah berhasil membuka selubung kulit Ahmadiyah serta mengurai-urai isi dalamnya. Predikat Ulama yang ada pada mereka, lebihlebih lagi sebagai putera-putera dari anak benua India, tidaklah menimbulkan keragu-raguan untuk menyatakan bahwa hasil-hasil tulisan mereka tentang kesesatan Ahmadiyah, adalah hasil dari sikap-sikap yang jujur, obyektif dan tidak emosional. Sehingga apa yang tidak jelas dari "Apa dan Siapa Ahmadiyah itu" menjadi jelas dan disadari. Namun demikian, kendati hasil telah dicapai, yaitu kesadaran kaum Muslimin terhadap aliran Mirza Ghulam Ahmad itu, akan tetapi pada kenyataannya pencapaian Ulama-ulama itu belumlah sampai pada titik-titik intinya, belum mengena bahkan belum menyentuh sekalipun pada lubuk dasar yang hakiki dari Ahmadiyah. Akibatnya karena hal-hal tersebut, maka problema-problema baru yang tampaknya lebih segar dan logis, susulmenyusul datang dari Ahmadiyah. Bagaikan suatu santapan yang dihidangkan pada kaum Muslimin, lebih sedap dipandang, lebih enak disantap dan lebih komplit dari yang sudah-sudah.
Ternyata Ahmadiyah berada dalam sigap berdiri di atas kuda-kuda, menanti
setiap serangan maupun kritikan dari luar dan siap pula menangkis dan
menyerangnya. Lebih jauh Ahmadiyah berkata:
"Memang, seperti di persada Indonesia ini, umpamanya, masih ada pula
gelintiran manusia-buta yang menganggap Ahmadiyah itu sesat. Sekalipun
mereka tak mampu membuktikannya menurut Qur'an dan Hadits Nabi s.a.w. dan
tak pula mampu memperhadapkan "dalil-dalil"
nya itu dengan Ahmadiyah, namun
sekali-sekali terdengar pula cetusan hati-kotornya yang tak pernah
membekas "juridu li-yuthfi 'u nurallahi bi-afwahihim" (mereka berhasrat
memadamkan cahaya kebenaran Ilahy itu dengan mulutnya), tentu saja tak
mungkin. Sebab itu untuk mereka tak lain ialah: "mutu be-ghaidhikum"
(benci dan dengkinya akan dibawa atau membawa mereka pada maut."15 Akhirnya dengan lantang Ahmadiyah berkata:
"Anda orang berakal, bukan? Jangan mau diburung-ontakan oleh
anasir-anasir yang memusuhi Ahmadiyah dengan cara lempar batu sembunyi
tangan. Rata-rata mereka berkaok-kaok dari belakang Ahmadiyah tetapi tidak
berani berhadapan. Mereka tau akan kelihatan belangnya."16
|
Islamic Media Ibnuisa Kritik & Saran INDEX UTAMA |