Insane

III. KEWIBAWAAN

1. Konsep "kewibawaan" menunjukkan "hubungan"

a. Hubungan Alkitab dengan kita

Kata "kewibawaan" merupakan istilah yang paling sering dipakai dalam penyelidikan-penyelidikan mutakhir tentang status Alkitab. Istilah tersebut menekankan hubungan hierarkhis, yaitu hubungan yang menentukan urutan atau tingkatan prioritas antara berbagai lembaga atau sumber-sumber-ide yang mungkin mempengaruhi kita. Istilah kewibawaan membayangkan bahwa gereja atau orang Kristen atau pengkhotbah itu dipengaruhi oleh berbagai kuasa yang mempengaruhi pemikiran dan tindakannya. Maka konsep kewibawaan itu menentukan prioritas yang harus diberikan kepada kuasa yang satu, dibandingkan dengan kuasa yang lain.

b. Hubungan Alkitab dengan tradisi

Misalnya, semua pengaruh-pengaruh yang sah dapat dikelompokkan dalam dua kelompok: yaitu skriptura, dan tradisi gereja. Berdasarkan pengelompokan itu, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa kedua-duanya mempunyai kewibawaan yang seimbang. (Demikianlah pengertian Katholik Roma secara tradisional). Atau kemungkinan lain: juga dapat disimpulkan bahwa kewibawaan-utama terletak pada skriptura, dengan konsekwensi bahwa tradisi gereja hanya mempunyai pengaruh yang sah bilamana tradisi itu dinilai lebih rendah dari pada kewibawaan skriptura yang menentukan itu. (Demikianlah pengertian Protestan yang tradisional). Atau kemungkinan lain lagi pun dapat disimpulkan bahwa begitu banyak lembaga mempengaruhi gereja dan orang Kristen, sehingga pengaruh-pengaruh tersebut tak dapat dihitung atau digolongkan, dengan konsekwensi bahwa tidak mungkin kita menentukan urutannya atau prioritasnya masing-masing. Pendapat yang demikian itu dianut oleh beberapa teologia radikal yang laku pada masa kini. Dalam semua contoh-contoh tersebut, konsep kewibawaan dipakai dalam usaha menghubungkan kuasa-kuasa yang mempengaruhi iman dan perbuatan Kristen satu sama lain, sampai urutan prioritasnya nampak.

Konsep "norma" mempunyai arti yang kira-kira sama. Jikalau kita mengatakan bahwa skriptura adalah "normatif," maka maksudnya adalah bahwa skriptura itu merupakan batu-uji yang paling definitif, yang dapat dipakai orang Kristen untuk menguji pemikirannya dan kelakuannya. Memang ada banyak lembaga serta banyak taraf-kuasa yang mempunyai sedikit banyak kewibawaan, tetapi yang disebut normatif itu ialah: yang dinilai tertinggi dan yang menentukan. Itu berarti bahwa istilah kewibawaan dan norma-norma itu menggariskan hubungan antara kuasa dengan kuasa. Istilah-istilah tersebut dapat digunakan bagi:

a. penggarisan hubungan antara Alkitab dengan kita, sehingga Alkitab dilihat sebagai sesuatu yang mengikat kita, dan yang kepadanya kita harus tunduk.

b. disamping itu istilah-istilah tersebut menggariskan hubungan antara Alkitab dengan dokumen-dokumen dan sumber-sumber pengetahuan lainnya, yang mungkin ikut mempengaruhi cara pemikiran atau perbuatan kita.

2. Keuntungan-keuntungan dalam memakai konsep kewibawaan

Ada beberapa keuntungan dalam menggunakan istilah kewibawaan atau norma itu:

a. Mengalihkan perhatian dan soal "asal-mula" Alkitab

Menggunakan istilah kewibawaan (dibandingkan misalnya dengan istilah keilhaman) memindahkan tekanan dari soal asal-mula Alkitab, pun memindahkan perhatian dari soal ketak-mungkinan-salah Alkitab. Pokok-pokok itu, walaupun ditekankan oleh kaum fundamentalis, tidak termasuk kepada pertimbangan-pertimbangan yang terpenting. Yang sungguh-sungguh menjadi persoalan teologis ialah tentang hubungan antara pengaruh skriptura dan pengaruh tradisi gereja, atau hubungan antara skriptura dengan kecenderangan-kecenderungan filsafat dan kebudayaan modern. Maka dalam menggali persoalan-persoalan semacam itulah konsep kewibawaan merupakan alat yang baik.

b. Memusatkan perhatian kepada karya-karya Allah dalam proses penyelamatan

Memang dapat dijawab (terhadap pokok a. di atas) bahwa kalau ada lembaga yang berwibawa, maka kewibawaannya itu harus mempunyai landasan tertentu. Maka dalam mencari penjelasan tentang landasan kewibawaan Alkitab itu mau tidak mau kita harus kembali kepada asal-mula Alkitab, keilhamannya, ketak-mungkinansalahnya. Tetapi argumentasi yang demikian tidak meyakinkan seratus persen, karena dapat dijawab:

i. bahwa soal keilhaman serta soal ketak-mungkinan-salah itu merupakan aspek-aspek yang kurang penting;

ii. bahwa pengetahuan kita tentang asal-mula dan proses pengilhaman Alkitab itu sangat kurang;

iii. bahwa keputusan tentang kewibawaan itu pada pokoknya merupakan keputusan teologis. Bahkan dapat dipertahankan bahwa landasan kewibawaan Alkitab sebenarnya tidak terletak dalam Alkitab itu sendiri, melainkan terletak di luar Alkitab, yaitu berlandaskan kewibawaan Allah sendiri. Atau, kalau kita merumuskan pendapat ini secara lebih panjang-lebar, dapat dikatakan bahwa Alkitab memperoleh kewibawaannya bukan dari corak dan tabiatnya sendiri, melainkan dari peristiwa-peristiwa yang diceriterakannya. Peristiwa-peristiwa itulah yang menjadi landasan iman dan keselamatan orang Kristen. Alkitab merupakan karangan tertulis yang telah muncul dari peristiwa-peristiwa itu. Maka Alkitab itu muncul, justru karena kepercayaan para pengarang akan daya-penyelamatan yang implisit dalam peristiwa-peristiwa tersebut. Hal ini berarti bahwa Alkitab berwibawa, dan patut mengatur hidup dan pemikiran kita, karena hubungannya dengan peristiwa-peristiwa yang definitif yang menjadi landasan keselamatan itu. Jadi kewibawaan Alkitab tidak berdasarkan wujud Alkitab dalam dirinya, melainkan berlandaskan peristiwa-peristiwa keselamatan yang disaksikan dalam Alkitab itu. Dan justru karena berbentuk tulisan, maka kesaksian itu bersifat permanen.

c. Mengalihkan perhatian dari "laporan historis" kepada "kesaksian iman"

Pandangan yang demikian disambut dengan girang oleh mereka yang tertimpa kegelisahan karena keragu-raguannya tentang historisitas peristiwa-peristiwa yang menyelamatkan itu. Dengan berpegang kepada pengertian bahwa keselamatan terletak dalam peristiwa-peristiwa yang menentukan itu, sebagaimana disaksikan oleh Alkitab, maka mereka dapat mengambil sikap terbuka tentang soal bagaimanakah hubungan persis antara peristiwa-peristiwa tersebut dan riwayat Alkitab yang menceritakan peristiwa-peristiwa itu. Cukuplah mereka mengakui bahwa Alkitab telah tumbuh dari peristiwa-peristiwa yang lampau, sebagai interpretasi peristiwa-peristiwa itu berdasarkan iman. Itu berarti bahwa tak perlulah Alkitab merupakan suatu periwayatan ulang peristiwa-peristiwa tersebut secara teliti sekali. Boleh-jadi riwayat Alkitab itu kadang-kadang agak kusut, bahkan dalam hal-hal tertentu bertentangan dengan fakta-fakta historis, atau keliru tentang seluk-beluknya. Biarpun demikian, peristiwa-peristiwa historis itulah yang merupakan inti keselamatan; sehingga kewibawaan Alkitab berlandaskan keselamatan yang terkandung di dalam peristiwa-peristiwa itu, serta berlandaskan iman yang merupakan respons terhadap keselamatan itu. Bukan ketelitian dalam melaporkan sejarah, yang menjadi sumber kewibawaan Alkitab.

d. "Kewibawaan" tidak diidentikkan dengan "ketak-mungkinan salah"

Kalau demikian, konsep kewibawaan dapat dikaitkan dengan isi Alkitab tanpa mengandung implikasi bahwa Alkitab sudah merupakan karangan sempurna, dan tanpa memberhalakan atau memutlakkan Alkitab itu. Konsep kewibawaan tersebut dapat digunakan untuk menekankan, bahwa meskipun Alkitab tumbuh dalam rangka perkembangan sejarah, sehingga mencerminkan ciri-ciri pemikiran masa lampau, dan meskipun Alkitab itu mengandung beberapa cacat-cela dalam cara melaporkan sejarah, namun Alkitab diakui sebagai lembaga yang memiliki kewibawaan yang paling tinggi (atau kewibawaan tertentu) dalam hal mengatur pemikiran dan kehidupan Kristen. Unsur fleksibelitas dalam penggunaan istilah "kewibawaan" itu pastilah merupakan sebab utama, mengapa konsep kewibawaan menjadi konsep yang terpenting dalam diskusi-diskusi modern tentang status Alkitab. Istilah kewibawaan lebih disukai, karena istilah keilhaman nyatanya berbau fundamentalistis.

3. Keberatan-keberatan terhadap konsep kewibawaan

Akan tetapi, walaupun pemakaian istilah kewibawaan membawa keuntungan-keuntungan seperti yang dijelaskan di atas, namun belakangan ini timbul kesulitan-kesulitan berkenaan dengan istilah kewibawaan itu. Dalam hasil penelitian dari Dewan Gereja-gereja sedunia, para pengarang berusaha untuk mendefinisikan kewibawaan itu dengan teliti, demi mencegah kesalah-pahaman tentang maksudnya. Bahkan ada suara-suara tertentu yang menyatakan kecenderungannya untuk tidak menggunakan istilah kewibawaan sama sekali. Kesulitan-kesulitan yang dirasakan berkenaan dengan istilah kewibawaan itu ialah sebagai berikut:

a. Krisis kewibawaan di dunia modern

Agaknya ada nampak suatu krisis di dunia modern tentang konsep kewibawaan pada umumnya. Dalam krisis ini terlibat bukan hanya Alkitab, tetapi juga kewibawaan gereja, kewibawaan synode-synode, kewibawaan Sri Paus dan kewibawaan pemimpin-pemimpin gereja lain-lainnya, kewibawaan hukum dan pemerintah, kewibawaan guru dan dosen, dan termasuk juga kewibawaan orangtua dan angkatan tua. Kertas-kerja yang dipersiapkan oleh Dewan Gereja-gereja5 sedunia mencatat demikian:

"Agaknya krisis umum tentang kewibawaan telah muncul pada masa kini; atau sedikit-dikitnya konsep kewibawaan itu sudah berubah. Kewibawaan lembaga tertentu tidak lagi diakui begitu saja, tetapi hanya apabila lembaga yang mau dianggap berwibawa itu sungguhsungguh membuktikan kewibawaannya. Maka dengan demikian makin lama makin sulitlah mempertahankan kewibawaan Alkitab secara axiomatis atau secara umum."

b. "Kewibawaan" disamakan dengan "keotoriteran"

Jikalau benar demikian, agaknya hal itu membawa beberapa implikasi. Pertama, dalam situasi masa kini pemakaian istilah kewibawaan dapat memberi kesan yang negatif. Itu berarti bahwa kita menghadapi dua alternatif: atau kita menjelaskan dengan lebih tajam apa yang kita maksudkan dengan "kewibawaan Alkitab," atau kita mencari istilah lain. Dalam suatu artikel berjudul "Empat pertimbangan dasar tentang konsep kewibawaan," E. Jungel6 dan kawan-kawannya berusaha mengambil alternatif pertama itu, yaitu menegaskan apa persis yang dimaksudkan dengan konsep kewibawaan Alkitab itu. Pengarang tersebut berusaha mendefinisikan kewibawaan secara lebih flexibel, dengan membedakan antara istilah otoriter dan istilah berwibawa. "Otoriter" tersebut berarti memaksakan kewibawaan itu, sehingga orang ditundukkan tetapi tidak diyakinkan; sedangkan "berwibawa" berarti bahwa lembaga yang menuntut kewibawaan itu berusaha meyakinkan umatnya, sampai mereka tunduk dengan rela. Menurut pembedaan demikian, kewibawaan Alkitab seharusnyalah bersifat berwibawa, bukan otoriter. Memang pembedaan yang demikian itu menarik, tetapi sukar dipertahankan dalam pemakaian bahasa sehari-hari.

Kesulitan-kesulitan yang dicatat di atas ini mungkin memberi alasan yang cukup, untuk berusaha mencari istilah lain yang lebih cocok. Tetapi kalau istilah baru yang didapatkan itu mempunyai arti yang sejajar dengan istilah kewibawaan, maka soalnya tetaplah sama saja. Maka adalah lebih berguna barangkali, kalau kita mengusahakan suatu pendekatan yang baru sama sekali terhadap seluruh persoalan status Alkitab itu. Maka dari situlah timbul usul-usul, supaya dipakai kata "peranan" atau "pengaruh" atau "fungsi."

c. Konsep kewibawaan yang "lunak" dan yang "keras"

Jikalau definisi istilah kewibawaan itu diubah sampai lebih menjadi flexibel dan sampai menekankan unsur kerelaan dari pihak yang mengakui kewibawaan itu, maka mungkin terjadi bahwa akhirnya konsep kewibawaan itu menjadi kabur sama sekali. Laporan definitif tentang hasil penelitian Dewan Gereja-gereja sedunia (Louvain, tahun 1971)7 mencari flexibelitas yang demikian, maka justru karena itulah kewibawaan tersebut menjadi kabur. Ada baiknya kalau kita membedakan dua konsep kewibawaan; yaitu konsep yang "keras," dan konsep yang "lunak."

- Konsep yang "keras"

Kalau konsep yang "keras" (atau ketat) tentang kewibawaan itu dikenakan kepada Alkitab, itu berarti bahwa Alkitab dianggap:

i. sudah mempunyai kewibawaan sebelum ditafsirkan, dan

ii. sudah mempunyai kewibawaan yang berlaku secara umum.

Itu berarti bahwa si pembaca mendekati Alkitab berdasarkan suatu pra-anggapan bahwa perikop yang hendak dia selidiki itu pastilah berwibawa, yaitu pastilah berbicara kepadanya. Kewibawaan yang demikian tidak akan terdapat pada perikop yang diselidiki itu, dan pra-anggapan tentang kewibawaan itu sudah menjadi pegangan, sebelum proses penginterpretasian perikop itu mulai. Dengan perkataan lain, kewibawaan tidak muncul dari hasil tafsir, melainkan menjadi landasan tafsir.

- Konsep yang "lunak"

Di pihak lain, konsep yang "lunak" tentang kewibawaan Alkitab mengandung implikasi bahwa kewibawaan Alkitab itu:

i. menyusul dari tafsiran dan penerapan perikop; dan bahwa

ii. kewibawaan itu tidak berlaku secara umum di mana-mana saja dalam seluruh Alkitab, melainkan terbatas kepada perikop yang memang berbicara dengan nada berwibawa kepada si pembaca. Menurut perasaan saya, laporan Louvain itu bergantung antara konsep "keras" dengan konsep "lunak."

d. Istilah "kewibawaan" biasanya diartikan secara keras atau hukumiah

Saya kira, haruslah diakui bahwa unsur-utama dalam konsep kewibawaan adalah unsur hukum. Maka berdasarkan pentingnya unsur hukum itu, konsep kewibawaan dengan sendirinya cenderung kepada arti yang "keras" tadi; yaitu bahwa kewibawaan Alkitab sudah ada sebelum proses tafsir mulai dan bahwa kewibawaan Alkitab itu berlaku secara umum. Jadi tidak mengherankan kalau kaum awam, bila mendengar istilah kewibawaan itu, mengartikannya menurut arti "keras" tersebut. Tidak mengherankan juga bahwa ahli-ahli teologia dari gereja-gereja Orthodox Timur menyatakan keberatannya terhadap pemakaian istilah kewibawaan Alkitab. Misalnya Zizioulas8 dari gereja Orthodox Yunani berkata begini: "Dalam sejarah teologia Kristen, agaknya persoalan tentang kewibawaan muncul terutama di gereja-gereja Barat." Pertimbangan-pertimbangan di atas, kalau dianggap benar, menciptakan kesan bahwa jikalau kita sungguh ingin beralih dari konsep kewibawaan Alkitab yang "keras" kepada konsep yang lebih "lunak," maka lebih baiklah kita meninggalkan istilah "kewibawaan" itu serta mencari konsep yang baru.

Memang dapat dijawab, bahwa di samping arti kata kewibawaan yang mengandung unsur hukum yang kuat, ada pemakaian istilah kewibawaan yang lebih bersifat personalistis dan rohani. Misalnya ada ayat Perjanjian Baru yang mengatakan tentang Tuhan Yesus: "Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa" (atau "sebagai orang yang berwibawa") (Markus 1:22). Kewibawaan semacam itu, yang mengandung unsur keluhuran pribadi serta cara membawa diri yang meyakinkan, nampaknya adalah lebih dekat kepada apa yang kita maksudkan dengan istilah "konsep kewibawaan yang lunak." Nampaknya konsep yang lunak itu mengandung unsur rohani yang lebih menonJol. Tetapi timbul pertanyaan: apakah konsep kewibawaan yang bersifat perorangan itu dapat dikenakan secara langsung kepada Alkitab? Karena di satu fihak harus diakui bahwa kewibawaan yang demikian memang terdapat dalam buku-buku lain selain Alkitab, sedang di fihak lain tidak menjadi jelas secara otomatis bahwa kewibawaan semacam itu melekat pada tiap-tiap bagian Alkitab itu sendiri.

e. Akar-akar konsep kewibawaan

Timbul keragu-raguan, apakah konsep kewibawaan itu sungguh-sungguh termasuk tradisi asli Kristen. Istilah seperti "kewibawaan Alkitab" sebenarnya tidak terdapat dalam Alkitab itu sendiri. Memang ada terbaca bahwa Yesus mengajar "sebagai orang yang berwibawa" (atau "berkuasa") . Tetapi kewibawaan Yesus itu merupakan kewibawaan pribadi; jadi agak lain artinya dari pada kalau dikatakan bahwa Alkitab mempunyai "kewibawaan" atas orang-orang yang menuruti petunjuk-petunjuknya. Bahkan timbul kesan bahwa barangkali konsep kewibawaan itu berasal dari bidang hukum Romawi, dan dari situlah menyusup ke dalam teologia gereja, (terutama dalam konteks yang membahas tentang kewibawaan uskup-uskup dan pemimpin-pemimpin gereja, yaitu oknum-oknum yang menuntut hak kepemimpinan atas umat Kristen). Maka kemungkinannya besar bahwa dari akar itulah diterapkan kemudian konsep kewibawaan kepada Alkitab sendiri.

f. Konsep kewibawaan tidak sesuai dengan kerangkaian/struktur pemikiran teologis modern

Keberatan paling prinsipal yang dapat diajukan sebagai lawan terhadap konsep kewibawaan itu ialah begini: bahwa konsep itu tidak lagi cocok dengan kerangkaian/struktur intelektual yang menentukan pola-pola teologia modern. Pada masa lampau, bahkan sampai kepada periode modern, hampir seluruh usaha ber-teologia itu berlangsung dalam kerangkaian kewibawaan. Para ahli teologia biasa bekerja dalam suatu struktur yang sangat menghargai lembaga-lembaga kewibawaan yang ada; dan sumber-sumber kewibawaan teologis yang harus mereka manfaatkan sudah ditunjuk sebelum mereka mulai dengan tugasnya. Bahkan bukan hanya teologia yang dikenai oleh struktur kewibawaan itu, melainkan tiap-tiap aspek kehidupan gereja dibatasi dan dikontrol melalui struktur-struktur kewibawaan itu. Jadi di tengah suasana di mana ditekankannya kewibawaan, dengan sendirinya status Alkitab dijelaskan menurut konsep kewibawaan itu.

Tetapi pada masa kini suasana sudah berubah. Konteks teologia masa kini adalah bukan konteks kewibawaan, melainkan konteks oikumene. Dan hubungan antara teologia dan struktur-struktur hukum gereja pada umumnya sudah menghilang. Tidak terdapat lagi teologia-teologia aliran, teologia Anglikan, teologia Baptis, teologia Lutheran dan lain-lain. Bahkan sanksi-sanksi, yang memaksakan teologia aliran-aliran itu, sudah merosot dan menghilang. Teologia masa kini pada prinsipnya adalah bersifat pluralistis, dan para ahli teologia pada umumnya menerima kenyataan baru ini, bukan hanya secara pasif, melainkan secara positif. Dalam rangka struktur-struktur kewibawaan yang laku dulu di gereja, kewibawaan Alkitab mendapat tempat yang tinggi. Sedikit-dikitnya secara teoretis, Alkitab merupakan instansi yang tertinggi dalam menentukan persoalan-persoalan berkenaan dengan kewibawaan. Misalnya, tak dapat diragukan bahwa orang Kristen dulu membuat perbedaan antara teologia dengan teologia lainnya, dengan jalan menguji teologia-teologia tersebut menurut norma Alkitab. Di Gereja modern agaknya tidak lagi demikian: ada berbagai cara untuk membedakan serta memilih antara teologia yang satu dengan teologia yang lain. Perkaranya tak dapat diputuskan hanya dengan jalan mengukur tiap-tiap teologia tersebut dengan ukuran Alkitab. Karena sudah merupakan kenyataan, bahwa tiap-tiap teologia itu sendiri mengandung dalam dirinya suatu penjelasan tentang hubungan teologia tersebut dengan Alkitab. Maka di tengah-tengah pluralisme teologia itu, konsep kewibawaan Alkitab menjadi usang.

g. "Kewibawaan. Alkitab" sebagai pengalaman perorangan dan sebagai prinsip umum

Kita kembali sebentar kepada konsep "lunak" tentang kewibawaan. Dapat diajukan konsep bahwa kewibawaan yang sebenarnya adalah merupakan hasil pengalaman yang bertambah-tambah selama proses yang panjang. Bilamana kita membaca perikop Alkitab, kita mengalami bahwa perikop tersebut berbicara kepada kita dengan nada kewibawaan. Pengalaman yang demikian itu begitu sering terulang bagi kita, sehingga akhirnya timbul keyakinan bahwa akan selalu terjadi demikian, bila tiap kali kita membuka Alkitab. Memang pelukisan yang demikian itu benar-benar menggambarkan perkembangan pengalaman pribadi, yang mengantar banyak orang kepada keyakinan akan kewibawaan Alkitab. Tetapi jikalau kenyataan ini diperluas, sampai dijadikan alasan logis untuk kepercayaan tentang kewibawaan Alkitab, maka ternyatalah bahwa hal ini dapat menjerumuskan kita ke dalam kesalahan. Banyak ahli teologia, yang ikut dalam diskusi modern tentang kewibawaan Alkitab, memang telah mengalami bahwa perikop-perikop tertentu betul-betul berbicara secara berwibawa kepada mereka. Akan tetapi pengalaman pribadi itu tak dapat diperluas menjadi suatu prinsip yang umum dan universal. Karena ternyata bahwa perikop-perikop yang berbicara secara berwibawa kepada saya, mungkin tidak berbicara demikian kepada orang lain. Dan pengalaman yang saya rasakan berkenaan dengan perikop-perikop tertentu itu tidak saya rasakan berkenaan dengan perikop-perikop yang lain.

Beberapa hal yang kita kemukakan di sini akan kita soroti kembali nanti. Cukuplah di sini kalau kita sudah menunjuk bahwa konsep kewibawaan memang membawa beberapa keuntungan, namun tidak mencukupi sebagai konsep dasar, yang dapat melandasi diskusi tentang peranan Alkitab dalam iman dan hidup kekristenan. Jadi kita beralih kepada konsep yang lain lagi, yang dapat digunakan sebagai kerangkaian diskusi, yaitu konsep tentang "fungsi-fungsi" Alkitab.

(sebelum, sesudah)


Alkitab di Dunia Modern (The Bible in the Modern World) Prof. James Barr Terjemahan Dr. I.J. Cairns BPK/8331086/7 Penerbit BPK Gunung Mulia, 1979 Kwitang 22, Jakarta Pusat  

| Indeks Artikel | Tentang Penulis

Islamic Media Ibnuisa
Kritik & Saran
Counter
INDEX UTAMA