Snack's 1967

III. KEBERATAN-KEBERATAN TERHADAP PENDAPAT BAHWA ALKITAB MERUPAKAN "KESAKSIAN TENTANG PERISTIWA-PERISTIWA PENYELAMATAN"

Jadi kalau pandangan yang demikian telah diterima secara begitu luas, apakah masih terkandung kelemahan-kelemahan di dalamnya? Apakah masih ada persoalan-persoalan yang belum terpecahkan? Dari segi-segi manakah pandangan yang demikian dapat dinilai kurang?

1. Konsep "Alkitab = Kesaksian" tidak membuktikan kedefinitifan kanon Alkitab

Memang haruslah dikatakan bahwa ada beberapa kesulitan dan ketidak-tentuan terkandung dalam pendapat yang kita gariskan di atas. Tetapi keberatan pokok terhadapnya ialah sebagai berikut: Argumentasi yang demikian tidak memberikan alasan yang meyakinkan dan yang definitif, mengapa justru Alkitab (yaitu justru kelompok kitab-kitab yang termasuk kanon kita ini) yang harus dianggap menjadi norma atau sumber kewibawaan, atau harus dijadikan ukuran yang mengukur segala keputusan-keputusan teologis yang kita ambil? Kalau pendapat yang saya gariskan di atas itu disoroti dengan betul-betul, maka nampaklah adanya jurang antara pendapat itu dengan konsensus praktis tentang status Alkitab yang berlaku di gereja masa kini.

2. Konsep tentang rentetan "peristiwa penyelamatan" mempersempit lapangan karya Allah dalam sejarah atau dunia

Konsep tentang adanya suatu rentetan "peristiwa-peristiwa yang menyelamatkan" mengandung beberapa kekaburan, bahkan barangkali pertentangan-pertentangan. Soal ini memang luas sekali dan diskusi tentang itu sudah hangat-hangat. Saya tidak akan membahasnya secara panjang-lebar; untuk sementara waktu cukuplah saya mengutip satu pendapat yang melawan konsep "peristiwa-peristiwa yang menyelamatkan" itu. C.F. Evans17 menulis sebagai berikut:

Kelemahan dalam konsep "sejarah keselamatan," sebagaimana diuraikan oleh Cullman, ialah bahwa konsep yang demikian menciptakan kesan, se-olah-olah ada suatu saluran, tempat penampungan peristiwa-suci atau karya-ilahi, yang mengalir melalui lapangan sejarah dunia ini. Pengertian yang demikian mendorong orang Kristen untuk berusaha mendefinisikarh serta menentukan letaknya saluran itu. Usaha itu saya anggap agak berbahaya.

Kutipan ini merupakan kritik terhadap ide-ide Cullmann, namun dapat dikenakan juga kepada kebanyakan penganut faham yang saya gariskan di atas. Konsep "sejarah keselamatan," menurut Cullman, merupakan dasar mutlak sebagai landasan kanon Alkitab, yaitu sebagai penggarisan batas skriptura. Menurut Cullmann, tidaklah jujur kalau kita memberi status "skriptura" kepada Alkitab, kecuali kalau kita mendasarkannya kepada konsep "sejarah keselamatan." Makin erat kaitan antara status Alkitab dengan "peristiwa-peristiwa yang menyelamatkan" itu, makin besar ancaman terhadap status Alkitab, bilamana konsep "peristiwa-peristiwa penyelamatan" itu dikritik.

3. Status Alkitab sebagai sumber historis tidak menjamin kewibawaannya sebagai norma teologis

Ada perbedaan-arti yang penting antara istilah "kewibawan" berkenaan dengan suatu sumber sejarah, dan istilah "kewibawaan" dalam arti 'norma teologis.' Jikalau kita menggunakan kata kewibawaan, maka artinya berbeda antara kedua kasus itu. Antara peristiwa-peristiwa yang dilaporkan dalam Alkitab, ada beberapa yang dilaporkan hanya oleh Alkitab saja tanpa adanya sumber yang lain-lain. Misalnya, tentang riwayat hidup Yesus dari Nazaret hampir tidak ada keterangan selain dari apa yang kita peroleh dari Perjanjian Baru. Dan dokumen-dokumen Perjanjian Baru itu memang dikarang berdekatan dengan masa hidup Yesus. Fakta demikian berarti bahwa dokumen-dokumen Perjanjian Baru itu menjadi sumber-utama tentang riwayat hidup Yesus. Sehingga dalam arti demikian, dokumen-dokumen itu menjadi suatu "sumber yang berwibawa" tentang riwayat hidup Yesus. Hal yang demikian dapat dikatakan mengenai hampir setiap penulisan sejarah dalam Alkitab. Karena agak jarang ada sumber non-Alkitabiah, yang memparalelkan sumber-sumber Alkitabiah karena meriwayatkan peristiwa-peristiwa yang sama.

a. "Kewibawaan sumber sejarah" lain dan pada "kewibawaan norma teologis"

Fakta ini kalau ditinjau sepintas lalu, agaknya membuktikan betapa tingginya status Alkitab sebagai laporan yang terdekat, laporan yang paling awal tentang peristiwa-peristiwa itu. Tetapi kalau kita berpikir sejenak, kita akan sadar bahwa keutamaan sebagai sumber historis tidak sama dengan status sebagai norma teologis. Kenyataan bahwa Perjanjian Baru, hampir-hampir dapat dikatakan merupakan sumber keterangan yang satu-satunya tentang Yesus, tidaklah berarti secara otomatis bahwa konsep-konsep kita tentang Allah, tentang etika, tentang kepermanenan perkawinan, dan sebagainya, harus ditentukan oleh keterangan yang terkandung dalam Perjanjian Baru itu. Ada beberapa sebab, mengapa perbedaan antara kewibawaan sebagai sumber-historis, dan kewibawaan sebagai norma-teologis, harus diperhatikan.

Prinsipnya memang penting, yaitu bahwa status sebagai sumber historis (karena dekatnya pengarang pada peristiwa-peristiwa yang dilaporkan), tidaklah identik dengan status sebagai norma-teologis.

b. Kadang-kadang ada jarak-waktu antara peristiwa dan laporan

Laporan-laporan dalam Alkitab itu sebenarnya tidak selalu dekat secara kronologis kepada peristiwa-peristiwa yang dilaporkannya. Pengarang-pengarang dokumen-dokumen terakhir dalam Perjanjian Baru berada jauh sekali dari peristiwa-peristiwa itu, dibandingkan dengan dokumen-dokumen yang paling awal. Dalam Perjanjian Lama kadang-kadang ada jarak seribu tahun antara peristiwa-peristiwa itu (misalnya kejadian-kejadian pada jaman Abraham atau Musa) dan laporan-tertulisnya. Kalau kita menentukan nilai bagian-bagian Alkitab menurut dekatnya laporannya kepada peristiwa yang dilaporkan, maka akhirnya kita akan terpaksa membuat suatu pembedaan radikal antara kitab-kitab yang dikarang pada waktu yang dekat kepada peristiwanya, dengan kitab-kitab lain yang tidak demikian.

c. Bahan dapat digeser dari statusnya sebagai sumber yang utama atau unik

Memang kita pernah mencatat bahwa sumber-sumber Alkitabiah sering merupakan sumber-utama (atau bahkan sumber yang satu-satunya) yang melaporkan peristiwa-peristiwa tersebut. Tetapi prinsip umum itu harus ditambah dengan dua catatan:

i. Perlu disadari bahwa sedikit-dikitnya dalam teori, kenyataan itu dapat berubah. Bisa jadi bahwa dokumen-dokumen baru akan ditemukan, yang lebih awal dari pada dokumen-dokumen yang kita miliki sekarang.

ii. Menurut kenyataan masa kini, sumber-sumber Alkitabiah memang merupakan sumber-sumber unik. Tetapi kenyataan itu merupakan hasil proses sejarah juga; misalnya, pada abad ke-3 Masehi ada berbagai dokumen dalam peredaran, yang menceriterakan riwayat hidup dan pengajaran Yesus, atau berisi kisah mengenai Rasul-rasul tertentu, (yaitu sumber-sumber selain dari kitab Injil dan kitab Kisah Para Rasul yang termasuk kanon Perjanjian Baru). Pada abad ke-3 itu, seorang awam yang membaca secara luas, tanpa bimbingan konsep "kanon," tidak akan langsung mengetahui bahan yang mana, yang dikarang dekat dengan waktu peristiwa-peristiwanya terjadi, dan mana yang bersifat sekunder.

d. Ada bahan sekunder dalam Alkitab

Akhirnya perlu kita menyadari bahwa beberapa karangan yang bersifat sekunder, telah lambat-laun masuk ke dalam kanon juga: misalnya Kitab Tawarikh dalam Kitab Perjanjian Lama. Mungkin Kitab Tawarikh itu mengandung bahan-bahan kuna, namun sebagian besar merupakan pengulangan dari bahan kitab Raja-raja, - bahkan bersifat kurang teliti sebagai sumber historis, dibanding dengan Kitab Raja-raja itu. Jadi sumbangan orisinil, yang dibawa oleh Kitab Tawarikh, adalah pandangan teologisnya terhadap peristiwa-peristiwa yang kuna, dan cara dia memilih peristiwa-peristiwa mana yang akan ditekankannya.

e. Kesimpulan

Jadi pada umumnya, kenyataan bahwa sumber tertentu dikarang dalam waktu yang dekat kepada peristiwa-peristiwa yang diceritakannya, adalah merupakan faktor yang netral, yang tidak membuktikan secara otomatis bahwa sumber tersebut mempunyai status yang normatif. Sehingga kenyataan bahwa kitab-kitab dalam Alkitab itu merupakan saksi-saksi yang paling dekat kepada peristiwa-peristiwa yang dilaporkannya, tidaklah langsung menjamin status Alkitab sebagai norma teologis untuk kita pada masa kini. Argumentasi yang sama juga muncul dalam bentuk yang lain, yaitu bila dikatakan bahwa Alkitab (atau sedikit-dikitnya Perjanjian Baru) berasal dari "saksi-saksi pertama," yaitu orang-orang yang terdekat kepada peristiwa-peristiwa tersebut. Mereka yang bergaul dengan Yesus sendiri, dan oleh karena itu paling berhak dianggap sebagai, penyalur tradisi otentik tentang Yesus, atau (dengan rumusan yang lain sedikit), merekalah yang merupakan saksi-saksi tentang penyataan ilahi yang memuncak dalam peristiwa-peristiwa berkenaan dengan diri Yesus. Menurut kenyataannya, pendapat ini tidak seratus persen benar. Misalnya ada beberapa tulisan Perjanjian Baru, diantaranya beberapa surat Rasul Paulus, yang memang berasal dari periode awal (periode mula-mula), tetapi tidak merupakan karya-saksi yang langsung bergaul dengan Yesus pada periode pra-kebangkitan. Sedangkan ada tulisan-tulisan lain yang termasuk periode kemudian, mungkin hampir seratus tahun sesudah penyaliban Yesus. Jadi anggapan bahwa tulisan-tulisan menjadi skriptura karena merupakan karangan-karangan apostolis, tidak berdasarkan kenyataan yang obyektif, melainkan berdasarkan legenda, kesalah-pahaman dalam bidang bahasa, atau dilebih-lebihkannya kenyataan.

4. Nisbah antara peristiwa dan penafsirannya

a. Tiga jenis "peristiwa"

Masih ada beberapa pokok tentang konsep "peristiwa-peristiwa yang menyelamatkan" yang perlu kita singgung, khususnya tentang hubungan istilah tersebut dengan tema "peristiwa dan penafsirannya." Ada suatu kesamaran berkenaan dengan pokok ini yang mungkin menjadi jernih kalau kita membedakan antara tiga jenis "peristiwa."

i . Karya Allah melalui tindakan manusia-agen/pelaku

Ada peristiwa yang dalam Alkitab disebut karya Allah, namun yang dianggap juga sebagai hasil tindakan manusia dan hasil rentetan sebab-musabab historis. Misalnya, perebutan kota Yerusalem oleh raja Nebukadnesar. Memang, kejadian itu bukanlah persis suatu "peristiwa yang menyelamatkan," tetapi tentulah suatu kejadian dalam rentetan karya-karya Allah. Contoh-contoh lain: pemulangan orang buangan dari Babel, kematian Tuhan Yesus, dan rentetan peristiwa yang membawa Rasul Paulus dari Palestina sampai ke kota Roma.

ii. Peristiwa berupa "mujijat"

Ada peristiwa-peristiwa yang biasanya dianggap "mujijat,.' Contoh-contoh: cerita tentang terbelahnya air laut menjadi suatu jalan untuk umat Israel dengan air sebagai tembok di sebelah kanan dan kiri; cerita tentang kelahiran Tuhan Yesus dari anak dara; ceritera-ceritera berkenaan dengan kebangkitan dari antara orang mati. Saya kira, tidak usahlah saya membela penggunaan istilah "mujijat" dalam konteks ini, karena itulah bahasa yang lazim dipakai berkenaan dengan peristiwa-peristiwa yang demikian.

iii. "Peristiwa" yang bersifat legenda

Ada "peristiwa" yang sebenarnya bukan peristiwa, melainkan legenda; misalnya, kini disadari bahwa tidak pernah ada air bah yang menutupi seluruh permukaan bumi sampai menghapuskan segala jenis makhluk hidup, dan tidak pernah ada bahtera yang historis; tidak pernah ada oknum Yunus yang dicemplungkan ke dalam laut dan kemudian ditelan oleh ikan raksasa. Peristiwa-peristiwa semacam itu lazimnya diakui pada masa kini sebagai legenda.

Kalau kita meninjau perkara ini secara kasar, bolehlah dikatakan bahwa kita menghadapi tiga kategori peristiwa; yaitu peristiwa yang imanen, peristiwa yang transenden dan "peristiwa" yang termasuk "bukan-peristiwa." Tentulah penggolongan yang demikian tidak dapat dikenakan secara ketat. Ada kasus-kasus yang campur-aduk dan yang kompleks; misalnya, bisa jadi ada penyebab manusiawi atau historis, tetapi penyebab historis itu dipengaruhi oleh komunikasi dari Allah dalam bentuk mimpi, dengan perantaraan malaikat, atau berbentuk Firman yang diilhamkan kepada nabi. Termasuk golongan yang manakah contoh yang demikian itu? Tetapi meskipun ada contoh-contoh yang sukar digolongkan seperti itu, penggarisan-kasar yang kita usulkan di atas adalah memadai untuk sementara waktu. Penggolongan yang demikian itu bermakna untuk kita dalam membicarakan Alkitab:

b. Kekaburan dalam pemakaian istilah "karya penyelamatan"

i. Karya Allah yang obyektif? atau "Pola pemikiran yang memakai konsep "Allah berkarya/bertindak, berbuat"?

Mereka, yang berusaha mempertahankan status Alkitab berdasarkan argumentasi bahwa ada "peristiwa-peristiwa yang menyelamatkan" yang melandasi serta melatar-belakangi cerita-cerita Alkitab, nampaknya sering kabur pendapat mereka tentang soal, apakah peristiwa-peristiwa tersebut termasuk golongan imanen atau transenden. Teologia yang bertemakan "Allah yang berkarya/bertindak" justru berpengaruh karena dia seolah-olah berhasil sekaligus mempertahankan: konsep intervensi Allah di dunia secara transendental, dan konsep kekhasan berita Alkitabiah dibandingkan dengan agama-agama sekitarnya. Karangan-karangan mutakhir dalam tradisi "Allah yang berkarya" itu memberi kesan bahwa memang ada campur-tangan Allah (dalam sejarah Israel); hanya, bukan melalui "mujijat," melainkan melalui suatu rentetan faktor dan kejadian yang nampak tepat pada waktunya (sehingga menghasilkan "keselamatan") Dengan demikian, penekanan sudah beralih dari "karya-karya Allah" yang obyektif-nyata, kepada ditekankannya suatu cara-pemikiran orang beriman yang memanfaatkan konsep "karya Allah" itu. Sebagai contoh tentang perkembangan ini, kita sebut pola "perjanjian"; yang menurut mazhab "Allah yang berkarya" mencerminkan campur-tangan Allah dalam sejarah Israel. Akan tetapi penemuan-penemuan mutakhir dalam bidang riset Perjanjian Lama mendukung kesimpulan bahwa struktur perjanjian itu, yang dahulu dianggap khas Israeli dan yang tanpa paralel di dunia sekitar, sebenarnya merupakan perkembangan dari tradisi perjanjian Hitti yang kuna. Dengan demikian, nyatalah bahwa pola "perjanjian" itu bukanlah khas Israeli; yang khas ialah paling-paling penerapannya dalam agama Israel. Maka kalau demikian, timbullah kesan bahwa kejadian-kejadian sekitar peristiwa pembuatan "perjanjian" itu memanglah merupakan "peristiwa-peristiwa yang menyelamatkan," - tetapi dalam arti bahwa intervensi transendental yang berada di belakang kejadian-kejadian itu, terjadi melalui proses-proses sejarah yang bersifat imanen.

Maka dengan terjadinya perubahan pendekatan yang demikian, dapat disimpulkan bahwa "peristiwa berupa karya Allah" yang disinggung dalam riwayat Alkitabiah itu, sebenarnya merupakan suatu "penggambaran mitologis" berdasarkan "peristiwa penyelamatan" yang memang sungguh terjadi dalam sejarah, tetapi terjadi sedemikian rupa sehingga sifat dan corak-aslinya berlainan dengan penggambaran mitologis itu. Kalau demikian, arti istilah "peristiwa" itu sendiri mulai menjadi samar dan kabur.

ii. Hubungan "Karya Allah" dengan bahan legenda

Kesan "kekaburan" itu bertambah kuat kalau kita melanjutkan diskusi dengan membahas bahan Alkitabiah tentang "peristiwa" yang termasuk golongan "bukan-peristiwa." Itu berarti bahwa dalam membaca suatu cerita Alkitabiah secara harfiah, maka adalah sukar memastikan jenis "peristiwa" (atau bahkan "bukan-peristiwa") yang diuraikan. Bukanlah maksud saya untuk mengatakan bahwa kepastian tidak mungkin tercapai; tetapi yang ingin saya perlihatkan di sini ialah bahwa jenis peristiwa tak dapat ditentukan hanya berdasarkan fakta bahwa peristiwa itu diceritakan dalam Alkitab. Kesamaran yang sama juga meliputi istilah yang sering kedengaran, yaitu bahwa pemikiran Israeli atau pemikiran Alkitabiah adalah pemikiran tentang "kejadian atau karya yang bersifat historis." Apakah istilah itu berarti bahwa peristiwa-peristiwa historis tersebut sungguh-sungguh terjadi, sebagaimana diceritakan oleh pengarang-pengarang Alkitab?

iii. Titik-titik persamaan antara "peristiwa-penyelamatan" dan "mitos-dasar"

Konsekwensi dari pokok yang kita uraikan di atas ini ialah sbb.: konsep bahwa status Alkitab bergantung kepada "peristiwa yang menyelamatkan" sebenarnya tidaklah begitu jauh berbeda dengan konsep atau fungsi Alkitab sebagai bahan kesusasteraan, atau sebagai "mitos." Sebenarnya lingkaran sudah menjadi tertutup. Karya-karya Allah, sebagaimana diceritakan dalam Alkitab, akhirnya agak mirip kepada suasana mitologi. Biar bagaimanapun hakekat peristiwa-peristiwa yang telah terjadi itu, agaknya kewibawaan atau status Alkitab bukanlah bergantung dari peristiwa itu begitu saja, melainkan dari pengisahan riwayat kejadian-kejadian itu dalam bentuk Alkitabiahnya.

5. Konsep "peristiwa penyelamatan" dan penentuan skriptura

Pendapat, bahwa peristiwa-peristiwa yang menyelamatkan itulah yang menjadi dasar skriptura, menimbulkan pertanyaan yang lain lagi: mengapa proses ini harus berhenti dengan terbentuknya Perjanjian Baru? Apakah tidak ada peristiwa-peristiwa yang menyelamatkan yang terjadi, sesudah abad pertama Masehi? Pertanyaan ini memang terkenal dalam tiap-tiap diskusi tentang status Alkitab. Ada terkandung di dalamnya: soal hubungan Alkitab dengan tradisi post-Alkitabiah itu, juga hubungan Alkitab dengan kitab-kitab yang terrnasuk Apokrif, dsb. Persoalan ini akan kita bicarakan dalam pasal IX, yaitu di bawah tema: Pembatasan dan Penyeleksian/penyaringan. Di sini saya hanya ingin menunjukkan saja bahwa jikalau status Alkitab bergantung kepada peristiwa-peristiwa yang menyelamatkan, maka pembatasan kanon Alkitab kepada kitab-kitab dari periode tertentu menimbulkan persoalan berkenaan dengan konsep "peristiwa-peristiwa yang menyelamatkan" itu. Ditinjau dari perspektif Perjanjian Baru, soal nisbah "kanon" dengan "peristiwa-peristiwa yang menyelamatkan" itu, sering dirumuskan sebagai berikut. Yesus sendiri merupakan kulminasi atau puncak suatu rentetan peristiwa-peristiwa yang menyelamatkan. Tentu ada juga keselamatan, setelah Yesus tidak berada di dunia ini lagi, tetapi segala sesuatu yang berlangsung kemudian sesudah masa hidup Yesus itu terjadi berdasarkan karya-keselamatan yang dikerjakan lengkap-sempurna oleh Dia. Saya tidak akan membicarakan tentang soal, apakah jawaban yang demikian itu memang memuaskan. Tetapi dapat dicatat sebagai tambahan bahwa persoalan yang sama timbul juga berkenaan dengan jangka waktu yang cukup panjang, yang terdapat antara kitab-kitab kanon Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Apakah tidak ada peristiwa-peristiwa yang menyelamatkan selama masa-selang itu? Persoalan itu sudah saya singgung dalam artikel lain, ("Judaism Its Continuity with the Bible") 18, sehingga tidak akan saya ulangi di sini lagi.

6. Konsep "peristiwa penyelamatan" tidak membuktikan kedefinitifan kanon

Kelemahan yang sebenarnya berkenaan dengan usaha mendasarkan status Alkitab kepada peristiwa-peristiwa yang menyelamatkan itu, tidak terletak dalam kekaburan tentang status peristiwa-peristiwa itu sendiri. Kelemahan pokok malah terletak dalam hal bahwa argumentasi yang demikian tidak mencapai tujuan yang diharapkan. Argumentasi yang demikian itu memang dapat dipakai untuk membuktikan status atau kewibawaan salah satu kredo, atau suatu daftar peristiwa-peristiwa yang terpenting, disertai sedikit unsur tafsiran. (Adalah menarik bahwa diskusi yang telah menekankan pentingnya peristiwa-peristiwa yang menyelamatkan itu, berjalan sejajar dengan diskusi yang menekankan bahwa cukup banyak bagian Alkitab berkembang dari kredo-kredo primitif) . Kita teringat bahwa kredo-kredo memang dipakai secara luas di gereja kuna sebagai suatu ukuran atau standard iman. Tetapi yang tak dapat dibuktikan dengan argumentasi yang menekankan peranan peristiwa-peristiwa yang menyelamatkan itu, ialah bahwa standard yang unik dan definitif serta penuh kewibawaan untuk gereja masa kini, ialah Alkitab yang terdiri dari 66 kitab itu. Ada jurang yang dalam antara argumentasi itu dan tujuan yang hendak dicapai, yaitu pembuktian status Alkitab.

a. Banyak bahan Alkitab yang bukan laporan peristiwa

Ada banyak bahan dalam Alkitab yang tak dapat diklasifikasikan sebagai laporan peristiwa, atau sedikit-dikitnya bukan peristiwa-peristiwa-penyelamatan yang merupakan dasar-mutlak untuk iman, pula bukan sebagai bahan penafsiran atas peristiwa-peristiwa-penyelamatan itu. Alkitab mengandung berbagai macam bahan: ada bahan sejarah, ada bahan ilmu bumi, ilmu sosial, bahan anthropologi, bahan hukum, dan terutama keterangan keagamaan. Alkitab meliputi berbagai ide-ide tentang Allah, pandangan-pandangan tentang hubungan pria-wanita, norma-norma etis, konsep-konsep tentang hidup bahagia, ide-ide tentang makna kematian dan kebangkitan dan kekekalan, pandangan-pandangan tentang tabiat manusia dan hubungan jiwa-raga manusia; dan terutama Alkitab meliputi (baik secara eksplisit maupun implisit) teologia-teologia yang menjadi keyakinan masing-masing pengarangnya. Pokok terakhir inilah yang menjadi titik persoalan. Menurut pendapat saya, hal yang sebenarnya dicari dalam gerakan neo-orthodox yang ingin mempertahankan kewibawaan Alkitab, ialah: bahwa teologia Alkitab (atau kemajemukan teologia yang terkandung dalam Alkitab) haruslah diterima sebagai norma untuk perkembangan teologia selanjutnya. Keyakinan yang demikian tentang status Alkitab memang dapat dipertahankan, tetapi usaha untuk mempertahankannya dengan jalan menunjuk kepada peristiwa-peristiwa dasariah yang melandasi Alkitab itu, harus dinyatakan gagal.

b. Ada tafsiran-tafsiran alternatif tentang peristiwa-peristiwa tersebut, disamping tafsiran Alkitabiah

Argumentasi itu mungkin dapat meyakinkan, sekiranya dapat dibuktikan bahwa teologia Alkitab (atau kemajemukan theologia itu) timbul, melulu dan otomatis dan secara keseluruhan, dari tafsiran atas peristiwa-peristiwa tertentu itu. Tetapi sudah cukup jelas bahwa pembuktian yang demikian tak mungkin. Misalnya kalau kita ambil contoh dari surat-surat Paulus: biar kita akui secara umum bahwa sasaran utama dari segala sesuatu yang dimasukkan ke dalam surat-surat Paulus itu adalah memberi penafsiran atas peristiwa Kristus itu. Tetapi bahan yang dipakai dalam argumentasi Paulus, praduga-praduga dari bidang kebudayaan yang menyaluti argumentasinya, konsep umum tentang jiwa dan tubuh, tentang pria dan wanita, tentang Tora dan status Yahudi dan non-Yahudi, banyak dari bahan detail ini harus dianggap sebagai buah-buah kebudayaan umum yang merupakan latar belakang jaman Rasul Paulus. Dan contoh-contoh yang sejenis dapat dikemukakan berkenaan dengan bagian-bagian lain dari Alkitab. Dan sekalipun dapat dibuktikan bahwa teologia, yang dikemukakan oleh pengarang tertentu, langsung berakar pada tafsirannya atas peristiwa-peristiwa-penyelamatan, namun masih tinggal soal, apakah tafsiran itu merupakan tafsiran yang mutlak perlu, tafsiran yang satu-satunya yang boleh dianggap sah, atau yang hanya merupakan satu saja di antara beberapa kemungkinan.

Sebenarnya sebagian besar dari Alkitab yang kita miliki sekarang ini tak dapat dianggap sebagai tafsiran atas peristiwa-peristiwa yang terjadi lebih dulu. Paling-paling bagan "peristiwa-penafsiran" itu dapat dikenakan kepada kerangkaian (struktur) teologis yang menjadi landasan-utama Alkitab. Tetapi justru itulah yang saya tekankan: argumentasi yang menekankan peristiwa-peristiwa-penyelamatan membawa kita kepada suatu kerangkaian, atau kepada suatu dokumen berupa kredo, dan bukan kepada Alkitab. Bahkan saya merasa perlu menambah bahwa kerangkaian teologis itupun hanya sebagian saja berasal dari pola "peristiwa-penafsiran" itu. Unsur-unsur teologis yang cukup dasariah, misalnya konsep tentang Allah yang laku di Israel, tidak dapat dimasukkan ke dalam pola "peristiwa-penafsiran" itu.

c. Bukan "peristiwa beserta penafsirannya" yang merupakan norma, melainkan teologia Alkitab

Pendapat yang saya ajukan di sini ialah bahwa mereka yang ingin mempertahankan status Alkitab berdasarkan peristiwa-peristiwa-penyelamatan yang ditafsirkan dalam Alkitab, sebenarnya membuat teologia Alkitab sebagai norma mereka. Pendapat ini didukung oleh faktor lain, yaitu bahwa sepanjang periode yang mempertahankan status Alkitab itu secara kuat sekali ditekankan apa yang disebut "cara pemikiran Alkitab," "cara pemikiran Ibrani," dan sebagainya. Penekanan tersebut patut ditafsirkan sebagai usaha untuk menjadikan "cara pemikiran Alkitabiah" dan "cara pemikiran Ibrani" itu normatif untuk teologia modern. Usaha itu memang agak diprotes dari beberapa pihak. Misalnya, Leonard Hodgson19 berkata begini: "Memang benar penyataan yang diberikan kepada kita melalui Alkitab itu datang dengan perantaraan pemikiran Ibrani. Benar juga bahwa persoalan-persoalan yang menarik perhatian filsuf-filsuf Yunani agaknya tidak menjadi soal untuk orang Ibrani. Tetapi, adalah tidak logis sama sekali kalau dari situ kita menarik kesimpulan bahwa Tuhan tidak menghendaki kita memikirkan persoalan-persoalan "Yunani" itu, dan bahwa kita tidak usah belajar dari orang-orang yang banyak memikirkannya. Mengapa kita harus belajar berpikir sebagai orang Ibrani, kalau kita mau menjadi orang Kristen yang baik? Apakah cara pemikiran Ibrani memang lebih penting dari pada air muka Ibrani dalam hal ini?"

Saya tidak akan mempersoalkan, apakah protes Hodgson ini benar atau tidak. Cukuplah untuk maksud kita di sini kalau kita mencatat bahwa usaha untuk memutlakkan "cara berpikir Ibrani," "cara berpikir Alkitabiah" itu pada kenyataannya merupakan suatu unsur penting, dalam gerakan yang sangat berpengaruh. Menurut pendapat saya, suatu gerakan yang berusaha mempertahankan status Alkitab sebagai norma, berdasarkan peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi Alkitab itu, dalam prakteknya mengharapkan terlalu banyak dari argumentasi yang mereka pakai. Mereka menyangka bahwa argumen tadi itu sudah membuktikan kenormatifan kategori-kategori pemikiran Alkitab, dan metoda-metoda berteologia yang dipakai Alkitab.

Mungkin ada yang menjawab bahwa akibatnya sama saja; karena "pemikiran Ibrani" itu tidak mengolah ide-ide yang abstrak, melainkan mengolah peristiwa-peristiwa historis. Tetapi kesimpulan yang demikian terlalu samar. Ada perbedaan yang besar sekali antara a: menormatifkan suatu rentetan peristiwa beserta penafsirannya, dan b: menormatifkan suatu cara pemikiran yang memusatkan perhatiannya kepada peristiwa-peristiwa-historis.

d. Argumentasi tentang "peristiwa-peristiwa penyelamatan" bersifat a priori

Dalam hal ini, bukanlah maksud saya untuk mengatakan bahwa usaha selanjutnya, yaitu untuk menentukan kenormatifan teologia Alkitab itu, adalah salah. Dari beberapa segi, hasrat untuk menegakkan teologia Alkitab itu sebagai norma memanglah tepat, dan sesuai dengan arah seluruh gerakan yang mengidam-idamkan suatu "teologia Alkitabiah" tersebut. Hanya yang saya tekankan di sini, ialah bahwa argumentasi yang bertolak dari "peristiwa-peristiwa-penyelamatan" tidaklah mencukupi untuk mencapai maksud yang dicita-citakannya itu, yakni maksud untuk menegakkan teologia Alkitab sebagai norma.

Mungkin ada yang menanggapi: kalau begitu, mengapa para penggerak pada waktu itu tidak menyadari bahwa argumentasinya tidak mencapai maksud yang dicita-citakan? Jawaban, saya kira, ialah bahwa orang-orang yang bersangkutan sudah hampir semuanya terlebih dulu memihak kepada konsep "kewibawaan Alkitab" itu. Mereka begitu berhasrat membuktikan kewibawaan Alkitab, sehingga mereka sangka bahwa argumentasi mereka sudah mencapai maksud yang begitu diinginkan. Ada persetujuan umum pada waktu itu bahwa pengaruh "teologia Alkitabiah" sudah mulai bertambah besar. Maka maksud mereka ialah untuk membuktikan bahwa memulihkan teologia Alkitabiah tidaklah berarti memulihkan pendekatan fundamentalis terhadap Alkitab.

(sebelum, sesudah)


Alkitab di Dunia Modern (The Bible in the Modern World) Prof. James Barr Terjemahan Dr. I.J. Cairns BPK/8331086/7 Penerbit BPK Gunung Mulia, 1979 Kwitang 22, Jakarta Pusat  

| Indeks Artikel | Tentang Penulis

Islamic Media Ibnuisa
Kritik & Saran
Counter
INDEX UTAMA