Polly po-cket

PASAL VIII. TEOLOGIA DAN PENAFSIRAN

I. PEMIKIRAN TEOLOGIS HARUS BERSIFAT KONSTRUKTIF

Jikalau Alkitab hendak ditafsirkan sebagai suatu dokumen iman, maka itu berarti bahwa Alkitab itu harus dikaitkan dengan suatu teologia. Memang Alkitab mungkin ditafsirkan tanpa suatu teologia, tetapi penafsiran yang demikian akan bersifat historis atau kesusasteraan melulu. Peranan suatu teologia ialah untuk membimbing, untuk menguraikan, dan untuk menerbitkan pengakuan-pengakuan iman yang diucapkan orang-orang Kristen.

Bentuk-dasar suatu teologia terdiri dari pernyataan-pernyataan tentang apa yang dipercayai gereja pada masa kini. Pernyataan-pernyataan yang demikian harus merupakan rumusan-rumusan yang segar. Maksudnya ialah bahwa rumusan-rumusan itu harus terus-menerus diolah kembali, berdasarkan penilaian kritis yang berlangsung secara kontinu. Tentulah boleh jadi juga bahwa rumusan yang kita keluarkan pada masa kini akhirnya identik juga dengan rumusan yang lama; namun kalau terjadi demikian, terjadinya itu adalah berdasarkan keputusan kini dan di sini, bahwa rumusan-rumusan yang lama itu tidak usah diubah. Dalam arti demikian dapat dikatakan bahwa pemikiran teologis adalah bersifat konstruktif; pemikiran teologis tidak dapat merupakan hanya pengambil-alihan saja, suatu perumusan-ulang sumber-definitif. Prinsip ini juga berlaku berkenaan dengan hubungan antara teologia dan Alkitab. Biar suatu teologia tertentu mengikat diri secara erat sekali kepada sumber atau standard tertentu seperti Alkitab namun dalam prakteknya teologia itu tidak dapat menggunakan Alkitab hanya sebagai sumber bahan yang tinggal digali dan disajikan begitu saja. Suatu pendirian teologis tidak boleh merupakan hanya suatu pengulangan bahan Alkitabiah dalam bentuk modern atau bentuk sistematik. Suatu teologia adalah bukan suatu uraian historis tentang apa yang dipercayai dan dipikirkan pada jaman dulu. Memang teologia boleh mengandung pemikiran-pemikiran dari masa lampau itu; tetapi cara mengandungnya ialah dengan mengambil keputusan pada masa kini bahwa pemikiran-pemikiran dari masa dulu itu dapat dipakai dan diamini oleh kita orang modern.

1. Bahan-bahan yang dimanfaatkan dalam menyusun teologia: Alkitabiah dan non-Alkitabiah

Suatu teologia tentulah tidak membatasi diri kepada Alkitab saja sebagai sumber yang satu-satunya. Dia juga mempertimbangkan suatu rentetan keadaan dan realita yang luas sekali. Sebaliknya dia bertugas untuk mengadakan seleksi terhadap bahan-bahan Alkitab, serta menyusun atau mengurutkan bahan-bahan tersebut. Prinsip itu berlaku juga malah untuk teologia-teologia yang kelihatan sangat Alkitabiah. Keputusan ahli teologia tersebut untuk menyusun suatu teologia yang sangat Alkitabiah (misalnya dengan jalan menyangkali pengaruh teologia alamiah), justru merupakan keputusan yang dipengaruhi oleh penilaian tentang unsur-unsur apakah yang penting dalam situasi modern. Sebaliknya tugas teologia tersebut dalam menyeleksi/menyaring dan mengatur atau mengurutkan bahan-bahan Alkitabiah adalah sama beratnya, dibandingkan dengan tugas yang harus diusahakan oleh teologia yang bersifat kurang Alkitabiah. Bahkan barangkali tugas teologia Alkitabiah dalam hal ini lebih berat lagi, karena perhatiannya kepada Alkitab itu sendiri adalah lebih besar. Ada beberapa aspek tentang Alkitab yang mendorong para ahli teologia dan yang menuntut aktivitas teologia seperti yang kita singgung di sini:

a. Bahan teologia yang implisit dalam Alkitab perlu dirangkaikan

Sebagaimana telah.kita lihat, ada teologia yang terkandung atau yang implisit di dalam Alkitab; maka fakta itu menjamin kontinuitas antara pemikiran Alkitab dengan pemikiran teologis pada jaman kemudian. Namun perlu juga dicatat bahwa Alkitab sendiri tidak merupakan teologia yang nyata atau langsung. Banyak dari teologia yang ada dalam Alkitab itu bersifat implisit saja. Maka dalam usaha menafsirkan Alkitab, teologia itu mengambil (menyusun) suatu kerangkaian (struktur) teologis yang rasanya sudah ditemukan dalam Alkitab. Kerangkaian teologis itu, yang sebagian baru implisit dalam Alkitab, dijadikan lebih nyata. Hubungan-hubungan antara bagian dengan bagian dalam kerangkaian itu digariskan dengan jelas, dan kemudian kerangkaian itu diintegrasikan ke dalam suatu rumusan tentang apa yang dipercayai gereja pada masa kini. Teologia itu harus merupakan suatu konstruksi (susunan) yang demikian, justru karena unsur teologis dalam bahan Alkitabiah itu tidak merata dan tidak sama-sama jelas atau explisit.

b. Keaneka-ragaman bahan Alkitab menuntut penyeleksian dan pengaturan

Proses teologis yang seperti itu juga diperlukan, karena Alkitab merupakan suatu karangan majemuk yang mengandung berbagai variasi waktu, kebudayaan, situasi dan pandangan. Variasi-variasi ini berasal dari berbagai pengarang atau lingkaran tradisi. Dalam hal ini Alkitab berbeda dengan karangan-karangan kuna yang lain-lain, misalnya al-Qur'an; karena meskipun surat-surat al-Qur'an itu menyoroti berbagai soal dari berbagai titik-pandangan, namun seluruhnya disampaikan melalui pemikiran satu oknum. Sifat majemuk yang termasuk ciri Alkitab adalah merupakan sebab-tambahan, mengapa teologia harus mengadakan suatu proses penyeleksian serta pengaturan bahan. Nyatanya teologia-teologia itu tidak menekankan secara merata seluruh isi Alkitab, melainkan cenderung untuk menekankan secara khusus unsur-unsur tertentu, termasuk kadang-kadang unsur-unsur yang statusnya tidak begitu kuat dalam Alkitab sendiri, (misalnya, riwayat-riwayat tentang kelahiran Tuhan Yesus).

c. Penyusun teologia patutlah memanfaatkan bahan Alkitab secara kritis

Proses penyeleksian dan pengaturan itu dapat dibenarkan juga, bahkan diperlukan, mengingat bahwa Alkitab dipakai secara kritis dalam teologia, sebagaimana kita singgung di atas. Suatu penilaian kritis-teologis terhadap pandangan-pandangan Alkitab dapat dilaksanakan, tetapi tidak boleh diadakan secara ringan-ringan saja. Penilaian yang demikian barulah dapat dilakukan secara sah, kalau semua bahan bukti sudah dipertimbangkan dengan matang-matang, dan kalau konsekwensi-konsekwensi penilaian itu untuk bidang teologia secara keseluruhan sudah dipikirkan. Perlu kita tambahkan catatan satu lagi; fungsi teologia sebagai pengritik Alkitab biasanya berarti bahwa bahan Alkitabiah itu diatur dan diseleksi, dan bukan dibuang begitu saja. Tetapi setelah memperhatikan catatan-catatan di atas ini, dapatlah digarisbawahi bahwa fungsi-kritis itu adalah termasuk sebab-sebab mengapa kita harus memiliki suatu teologia dalam usaha kita menafsirkan Alkitab.

d. Peranan kredo-kredo dalam penyusunan teologia

Proses teologia biasanya menaruh perhatian yang cukup besar juga kepada beberapa pola pelengkap yang terdapat dari periode-periode klasik dalam sejarah gereja awal; sebagai contoh-contoh yang jelas ialah pola kristologi tradisional dan doktrin ketritunggalan yang tradisional. Pola-pola yang demikian sering kurang mengandung unsur historis, seperti perorangan, dan suasana kesusasteraan konkrit, seperti yang nampak dalam bahan-bahan Alkitabiah, namun merupakan rumusan-rumusan pengajaran yang sangat jelas, padat, dan terperinci.

Dengan cara-cara seperti di atas ini, proses teologia menyusun dan menyeleksi bahan-bahan Alkitabiah dengan sekaligus mengkaitkan bahan Alkitabiah itu dengan eksistensi-eksistensi non-Alkitabiah; misalnya bahan Alkitabiah itu dibanding-bandingkan dengan pertimbangan-pertimbangan filosofis, atau dengan karangan teologis dari masa dulu, atau dengan situasi kontemporer.

2. Peranan "teologia-teologia Alkitabiah" dalam proses penyusunan teologia yang menyeluruh

Dapat dipersoalkan: apakah dalam kerangkaian skema teologis yang global itu masih ada tempat untuk apa yang disebut teologia Alkitabiah, atau suatu teologia Perjanjian Lama, atau suatu teologia Perjanjian Baru? Saya sendiri merasa bahwa soal ini tidaklah begitu prinsipial, tetapi tergantung kepada pertimbangan-pertirnbangan praktis. Perlu saya catat bahwa saya di sini menggunakan istilah "teologia Alkitabiah" dalam arti yang agak berlainan dengan apa yang terdapat dalam pasal-pasal sebelumnya. Persoalan yang diajukan di sini ialah sebagai berikut: Apakah ada suatu tahap-menengah antara bahan-bahan konkrit yang merupakan hasil penafsiran kitab-kitab atau bagian-bagian Alkitab yang tertentu di satu pihak, dan rumusan-rumusan teologis yang definitif, yang merupakan hasil terakhir dari proses berteologia di lain pihak. Pada taraf-menengah itu ada usaha untuk merumuskan suatu teologia Perjanjian Lama atau teologia Perjanjian Baru, atau Teologia Alkitab secara keseluruhan. Memang sudah ada cukup banyak karangan-karangan yang bermutu yang mengusahakan rumusan-rumusan-menengah seperti itu; namun menurut perasaan saya, peranan karangan-karangan tersebut pada prinsipnya adalah sebagai pembantu teologia, sebagai usaha yang bersifat deskriptif. Memang ada faedahnya kalau pengertian-pengertian teologis dari Perjanjian Lama atau Perjanjian Baru, atau dari Alkitab secara keseluruhan, dikumpulkan dan dirumuskan. Tetapi kita harus tetap ingat akan pendapat yang mengatakan bahwa nats-nats Perjanjian Lama, nats-nats Perjanjian Baru, bahkan nats-nats Alkitab secara keseluruhan, terlalu beraneka-ragam dari segi isi teologisnya, sehingga karangan-karangan pada taraf-menengah itu terlampau sulit dilaksanakan, atau bahkan kurang berguna. Suatu teologia dalam arti lengkap, yaitu suatu teologia yang berbentuk bukan "Perjanjian Lama berkata, begini," atau "Alkitab berkata, begini" tetapi "gereja masa kini mengaku kepercayaannya sbb.," tidak dapat diusahakan (apalagi tidak dapat terlaksana), kecuali kalau semua sumber-sumber serta pertimbangan-pertimbangan yang relevan dimanfaatkan. Pemikiran teologis pada taraf definitif haruslah merupakan suatu kesatuan. Maka berdasarkan prinsip itu, jelaslah bahwa teologia-teologia pada taraf-menengah itu tidak memainkan peranan yang mutlak.

3. Unsur-unsur falsafi dan Alkitabiah saling melengkapi

Sebagaimana telah dikatakan, teologia-teologia dapat mengambil berbagai bentuk. Agaknya tak mungkin untuk menentukan terlebih dulu peranan apa yang akan dimainkan oleh bahan-bahan Alkitabiah dalam tiap-tiap teologia itu, atau untuk menunjuk tempat dalam proses penyusunan teologia itu di mana bahan Alkitabiah itu akan dimasukkan. Hanya dapat dikatakan bahwa suatu teologia yang pada prinsipnya merupakan teologia filosofis haruslah bersedia memikirkan hubungan ide-ide filosofis itu dengan Allah Alkitab; dan sebaliknya suatu teologia yang termasuk jenis teologia Alkitabiah, yang sebagai titik-tolaknya banyak mengutip dan memanfaatkan bahan-bahan Alkitabiah, haruslah bersedia menjelaskan, bagaimana pemikirannya itu berkaitan dengan segala jenis pertimbangan non-Alkitabiah .

(sebelum, sesudah)


Alkitab di Dunia Modern (The Bible in the Modern World) Prof. James Barr Terjemahan Dr. I.J. Cairns BPK/8331086/7 Penerbit BPK Gunung Mulia, 1979 Kwitang 22, Jakarta Pusat  

| Indeks Artikel | Tentang Penulis

Islamic Media Ibnuisa
Kritik & Saran
Counter
INDEX UTAMA