XtGem Forum catalog

IV. PENGARUH PROSES PEMBENTUKAN SKRIPTURA TERHADAP STATUS ALKITAB

Nanti kita kembali membicarakan beberapa soal berkenaan dengan kanon dan sebagainya secara lebih mendetail. Untuk sementara waktu, pertanyaan pokok ialah: Berdasarkan pengertian yang demikian tentang asal-mula Alkitab, maka apakah yang patut disimpulkan tentang status Alkitab?

1. Prinsip-prinsip umum

Agaknya status Alkitab ditetapkan berdasarkan dua faktor:

a. Kenyataan historis, bahwa gereja memanglah sudah mengambil keputusan untuk menegakkan kitab-kitab tertentu sebagai skriptura.

b. Kenyataan historis itu selanjutnya sudah masuk struktur-dasariah iman Kristen.

a. Status Alkitab berlandaskan keputusan sejarah

Kenyataan historis ialah bahwa Alkitab memang ditetapkan sebagai skriptura serta dipisahkan, baik dari kitab-kitab lain-lain yang terkarang pada waktu itu maupun dari perkembangan-perkembangan tradisi lisan selanjutnya. Itu berarti bahwa pada taraf tertentu dalam sejarahnya, umat Allah telah mengambil suatu keputusan fundamental untuk memberikan status istimewa kepada bahan yang terkandung dalam Alkitab itu serta mengakui bahan itu sebagai pola-klasik untuk pengertian kita tentang Allah. Jadi dalam arti tertentu, adalah tepat kalau dikatakan bahwa Alkitab mempunyai status itu untuk kita, justru karena pada jaman awal dalam perkembangan synagoge dan gereja, tokoh-tokoh itu sudah mengambil keputusan bahwa Alkitab memang akan diberi status definitif yang demikian.

b. Alkitab sebagai "pola-klasik" iman-keagamaan Kristen atau Yahudi

Namun demikian, kita tak boleh bersandar seratus persen kepada argumen yang agak bersifat formal itu. Soalnya bukanlah hanya keputusan itu sudah diambil di gereja kuna, tetapi yang lebih penting ialah bahwa keputusan itu memang serasi dengan sifat-dasariah iman Kristen. Iman menjadi khusus iman Kristen, justru karena iman tersebut mengaitkan diri dengan pola-pola yang terumus secara klasik itu. Agaknya inilah yang dimaksudkan dengan rumusan populer, bahwa "agama Kristen merupakan agama historis." Iman Kristen bukanlah apa saja yang kebetulan dipercayai orang Kristen modern, biar bagaimanapun alasan kepercayaannya itu, melainkan adalah iman yang dikaitkan dengan Yesus dan dengan Allahnya orang Israel. Mengakui sentralitas Alkitab dalam iman Kristen, adalah mengakui sumber-sumber klasik yang menggambarkan dan yang menyaksikan Yesus dan Allah.

2 . Pokok-pokok yang mendetail

Demikianlah dalil pokok yang dipertahankan dalam buku ini. Tetapi dalil itu sendiri belum cukup jelas, kalau kita tidak mendukungnya dengan beberapa pertimbangan konkrit sbb.:

a. Mutu-kesusasteraan Alkitab

Argumentasi saya ini tidaklah pernah saya sandarkan atas nilai kesusasteraan atau nilai keagamaan Alkitab, walaupun itu memang tinggi. Karena saya beranggapan bahwa faktor-faktor yang demikian itu tidak merupakan alasan yang cukup kuat untuk mendasari status Alkitab. Namun setelah mencatat demikian, bolehlah juga kita mengaku bahwa nilai kesusasteraan dan keagamaan Alkibat, atau sedikit-dikitnya sebagian besar dari Alkitab, memang tinggi sekali. Tentunya ada beberapa kekecualian: di satu pihak, ada kitab-kitab dalam Alkitab yang nilainya kurang, dibandingkan dengan bagian-bagian lain dan di pihak lain, ada kitab-kitab non-Alkitabiah yang mutu-kesusasteraan dan keagamaannya setaraf dengan bahan Alkitab. Tetapi pada umumnya, nilai tinggi bahan Alkitab itu, berhadapan dengan bahan-bahan kesusasteraan yang sebanding, akan mendapat persetujuan umum.

b. Pembentukan skriptura adalah proses manusiawi

Dapat diperhatikan bahwa uraian saya tentang status Alkitab ini diungkapkan dengan cara yang menekankan unsur kemanusiaan. Selama ini saya tidak menyandarkan argumentasi itu pada soal intervensi ilahi, --misalnya pengilhaman oleh Allah yang hanya mengenai kitab-kitab tertentu saja, atau teori bahwa Allah menyatakan daftar kitab-kitab kanorőik yang sah. Faktor-faktor yang termasuk proses ini, --yaitu pembentukan tradisi, baik di Israel kuna maupun di gereja awal; penulisan tradisi itu; keputusan untuk menghimpunkan beberapa kitab pilihan menjadi suatu "skriptura,"-- semuanya ini merupakan keputusan yang diambil manusia. Ya, memang mereka termasuk manusia-manusia beriman, namun tetaplah manusia juga. Di sini tidak ada intervensi istimewa yang nampak, melainkan proses-proses mental yang mirip proses-proses, seperti yang terdapat di gereja masa kini. Maka itulah sebabnya para ahli Alkitab dan para ahli kitab-kitab Patristik dapat menjelaskan proses-proses itu dengan memakai istilah-istilah historis biasa. Dan sekalipun penjelasan-penjelasan itu kurang lengkap, kekurangan itu disebabkan melulu karena keterangan pelengkap itu tidak ada, dan bukan karena proses-proses tersebut melampaui batas-batas penyelidikan historis. Namun, itu tidak berarti bahwa kita tidak memerlukan istilah seperti "keilhaman." Kita akan kembali membahas istilah itu nanti.

c. Unsur ketak-sempurnaan dan distorsi dalam Alkitab

Jikalau proses-proses itu berdasarkan keputusan-keputusan manusia, apakah hal itu berarti bahwa keputusan-keputusan tersebut dapat salah? Tentunya demikian. Kita tidak pernah berkata sepanjang uraian ini bahwa segala sesuatu dalam Alkitab pastilah benar. Bahkan sudah implisit dalam uraian-uraian di atas, bahwa Alkitab memanglah mengandung beberapa keterangan yang keliru, ditinjau dari segi ilmu pengetahuan dan ilmu sejarah. Malah secara teologis pun ada alasan-alasan yang cukup kuat untuk mengakui bahwa Alkitab tidak sempurna. Alkitab tidak merupakan suatu text-book yang mengutarakan pengajaran Kristen yang paling mendalam. Saya mempertahankan keunikan Alkitab berdasarkan statusnya sebagai pola-klasik untuk pengertian tentang Allah, dan bukan berdasarkan ide bahwa pola itu pasti sempurna. Status Alkitab menyangkut kecukupan Alkitab, bukan kesempurnaannya. Tetapi jikalau saya berbicara tentang "ketidak-sempurnaan," istilah itu saya pakai bukan dalam arti bahwa memang segala bahasa manusia tentang Allah pastilah tidak sempurna. Tentulah benar demikian; tetapi kita boleh mengambil langkah yang lebih jauh lagi, dan mengaku bahwa boleh jadi ada rumusan-rumusan teologia modern tentang Allah, yang lebih teliti dan benar, dibandingkan dengan rumusan-rumusan yang terdapat dalam Alkitab. Karena ketelitian dan keseksamaan dalam merumuskan teologia itu tidak selalu termasuk sasaran yang dicita-citakan oleh pengarang-pengarang Alkitab. Dan harus diakui bahwa ketelitian dan keseksamaan dalam bidang itu tidak selalu dicapainya. Tetapi status Alkitab tidak dikaitkan terutama dengan sasaran-sasaran intelektual, atau metoda-metoda intelektual yang dipakai para pengarang Alkitab. Karena pola Alkitabiah untuk pengertian tentang Allah itu tidak terdapat sebagai hasil proses intelektual, melainkan terdapat melalui suatu pergumulan pribadi, di mana tokoh-tokoh iman bergumul dengan Allahnya, bahkan bergumul bersama-sama mengenai Allah mereka. Menurut istilah Perjanjian Lama, proses ini merupakan suatu "ribh" (perdebatan), yang dilangsungkan di hadapan umum, supaya manusia menaruh perhatian kepadanva, serta belajar dari padanya. Dan kalau memang ada distorsi-distorsi dalam gambaran Alkitabiah tentang Allah, maka distorsi itu timbul bukan hanya karena visi ataupun penglihatan manusia tentang Allah adalah kurang, melainkan juga karena manusia melawan kebenaran Allah, serta melawan pengertian yang pernah ditangkap serta disadari oleh manusia-manusia lain. Konflik antara tradisi dengan tradisi dalam Alkitab itu mencerminkan adanya perselisihan serta pertentangan antara penekanan mazhab ini dengan mazhab itu, antara pendapat penulis ini dengan pengarang itu. Dalam uraian selanjutnya, akan saya singgung nanti tentang rumusan yang tepat mengenai kekurangan atau kelemahan teologis dalam Alkitab.

d. Hubungan konsep "penyataan" dan konsep "pola-klasik"

Dapat diperhatikan bahwa pendapat saya ini sudah diuraikan dengan tidak menggunakan konsep "wahyu" atau "penyataan" yang biasanya muncul dalam konteks ini. Saya sengaja menghindarkan penggunaan istilah demikian, mengingat kesulitan-kesulitan dan kekaburan-kekaburan yang timbul dari istilah tersebut. Misalnya, suatu keberatan yang sering diajukan dalam membicarakan status- istimewa Alkitab, ialah kesulitan yang dialami, kalau harus dibayangkan bahwa proses penyataan berhenti pada akhir periode Alkitabiah. Tetapi persoalan itu tidak timbul, kalau kita menggunakan argumentasi seperti yang saya ajukan di sini, yaitu yang tidak menekankan konsep "penyataan," melainkan ide "pola klasik untuk pengertian tentang Allah." Tentulah benar bahwa umat Allah menerima pengertian dari Allah di samping pengertian yang tersedia bagi mereka dalam Alkitab, tetapi catatan itu tidak mengubah status Alkitab sebagai "polaklasik" untuk pengertian kita.

e. Alkitab sebagai "sabda Israel" atau "sabda tokoh-tokoh gereja-awal"

Dapat diajukan keberatan sbb.: Apakah "pembentukan pola klasik" itu tidak identik dengan "penyataan"? Dan kalau memang identik, berdasarkan apakah kita menarik kesimpulan bahwa pola klasik itu sudah muncul dengan lengkapnya, persis pada periode tertentu? Bukankah pandangan itu sama dengan anggapan bahwa proses penyataan sudah berhenti? Bagi saya, kedua hal itu tidak sama. Uraian, yang saya berikan tentang proses pembentukan tradisi Alkitabiah, merupakan suatu uraian tentang suatu karya manusia. Alkitab mengandung pernyataan-pernyataan manusia tentang kepercayaannya, tentang peristiwa-peristiwa yang pernah dialaminya, tentang cerita-cerita yang pernah diceritakan kepadanya, dan sebagainya. Memang sudah lama menjadi kebiasaan bahwa kita menyejajarkan Alkitab dengan konsep-konsep seperti "Firman Allah" atau "penyataan"; dan salah satu akibat dari penyejajaran itu ialah bahwa proses pembentukan Alkitab dianggap sebagai suatu proses gerak dari pihak Allah menuju ke arah manusia. Tetapi yang saya tekankan di sini ialah bahwa manusialah yang memperkembangkan tradisi Alkitabiah, dan manusialah yang mengambil keputusan tentang soal kapankah tradisi itu dapat dipermanenkan/diabadikan dalam bentuk tertulis serta dijadikan kanonik. Jikalau kita tetap berhasrat menggunakan istilah "firman" berkenaan dengan Alkitab, maka rumusan yang tepat ialah bahwa Alkitab adalah "firman Israel" atau "firman tokoh-tokoh gereja awal (mula-mula)."

f. Hubungan "pola-klasik" dan berakhirnya proses penyataan

Tetapi ada yang bertanya, demikian: Kalau begitu, apakah tidak berarti bahwa pembentukan pola-klasik itu merupakan respons manusia terhadap penyataan Allah pada masa lampau mengambil beberapa tindakan yang merupakan penyataan diriNya, maka Alkitab merupakan respons terhadap penyataan itu. Memang banyak yang menganut pendapat yang demikian. Tetapi kalau memang begitu kenapa kita harus beranggapan bahwa proses penyataan dalam arti demikian itu sudah berakhir.

i. "Kristus menjadi puncak proses penyataan"

Jawaban yang biasanya diberikan ialah bahwa karya Allah yang terakhir dalam seri itu, yaitu kedatanganNya di dalam Yesus Kristus, merupakan puncak seluruh proses, dan itu adalah penyataan Allah yang selengkap-lengkapnya. Maka oleh karena kedatangan Yesus itu merupakan kelengkapan yang definitif dari tahap-tahap penyataan sebelumnya, maka kuranglah tepat kalau kita masih berbicara tentang penyataan lebih lanjut, yang seolah-olah menambah sesuatu kepada penyataan yang definitif itu. Unsur-unsur baru yang menyusuli penyataan definitif itu tidak dapat dianggap sebagai penyataan tambahan, melainkan karya-karya baru yang dikerjakan oleh Yesus yang telah bangkit itu. (Dia sendiri merupakan penyataan definitif).

ii. Beberapa kejanggalan dalam konsep "puncak penyataan" itu

Apakah pendapat yang demikian itu sungguh-sungguh memuaskan? Ya, barangkali itulah rumusan yang terbaik yang dapat tercapai, kalau kita memang merasa wajib menetapkan "penyataan" sebagai pokok primer, sehingga dengan demikian "skriptura" menjadi pokok sekunder, (suatu respons terhadap penyataan). Akan tetapi ada beberapa kesulitan terkandung dalam pendapat demikian:

iia. "Peristiwa Kristus" bukanlah "puncak" melainkan penyataan unik

Kesulitan yang pertama ialah bahwa arti rumusan "Yesus adalah penyataan Allah" bagi orang Kristen adalah sebenarnya lain dari pada arti rumusan "peristiwa ini atau fenomenon itu adalah penyataan Allah." Apakah peristiwa atau fenomenon yang disinggung dalam tradisi Perjanjian Lama, sungguh dapat mengandung "penyataan" dalam arti yang sama seperti kalau dikatakan "Yesus adalah penyataan Allah"? Begitu juga dengan berbagai peristiwa, fenomena, dan ide-ide yang diceritakan dalam Perjanjian Baru: bahan-bahan itu tidak mengandung penyataan dalam arti yang sama seperti kalau dikatakan bahwa "Yesus adalah penyataan." Jadi ringkasnya: mengingat betapa besarnya peristiwa yang terjadi dengan kedatangan Kristus, dan besarnya peranan peristiwa Kristus itu dalam konteks iman Kristen, tidaklah patut dikatakan (jikalau istilah "penyataan" memang dipertahankan) bahwa hanya ada satu penyataan yang sungguh-sungguh, yaitu penyataan Allah dalam Diri Yesus itu?

iib. Obyektivitas atau historisitas Yesus, dibandingkan dengan "peristiwa-peristiwa penyataan" yang mendahuluiNya

Sudah kita singgung di atas tentang soal ketidak-tentuan mengenai peristiwa-peristiwa karya-karya Allah dan sebagainya yang diduga melatar-belakangi riwayat-riwayat Perjanjian Lama. Dalam beberapa kasus timbul ketidak-tentuan apakah eksistensi-eksistensi atau peristiwa-peristiwa yang disinggung itu pernah sungguh-sungguh ada atau terjadi. Maka kalau obyek-obyek tersebut sungguh-sungguh pernah ada atau terjadi, barulah dapat obyek-obyek itu dianggap "penyataan" yang merangsang "respons." ("Respons" itu, yakni Perjanjian Lama). Dalam kontras dengan ketidak-tentuan status eksistensi-eksistensi dan peristiwa-peristiwa itu, Yesus sungguh-sungguh merupakan fenomenon obyektif yang pernah berada di dunia ini.

iic. Jurang yang tak dapat dijembatani antara tradisi dan "peristiwa-peristiwa penyataan" yang melandasi tradisi

Problema yang sebenarnya, menurut pendapat saya, ialah bahwa kita tidak mempunyai jalan untuk menangkap atau menanggapi suatu penyataan dari Allah yang sungguh-sungguh mendahului tradisi manusiawi tentang karya Allah itu, yaitu suatu penyataan yang malah dapat menumbuhkan tradisi itu sendiri. Usaha untuk mendasarkan status skriptura pada suatu penyataan yang mendahului tradisi Alkitab itu sendiri, merupakan usaha untuk menjelaskan sesuatu yang kabur dengan bantuan sesuatu yang tidak dapat diketahui sama sekali. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa penyataan asasi itu tidak ada; hanya saya ingin menekankan bahwa:

* Status penyataan asasi itu terlampau kabur, sehingga tidak dapat dijadikan landasan iman; dan kalau demikian

** Mempersoalkan penyataan asasi itu menjadi suatu spekulasi melulu, yang tidak berfaedah.

iii. Pendekatan "eskatologis": Alkitab bukanlah hasil proses, melainkan landasan proses penyataan

Apakah ada pendapat alternatif yang dapat diajukan? Sebagaimana saya katakan di atas, istilah "penyataan" jarang dipakai dalam Alkitab dalam arti "sumber pengetahuan manusia tentang Allah." Beberapa contoh penting tentang pemakaian kata "penyataan" ada sangkut-pautnya dengan eskhaton; yaitu bahwa "penyataan" itu diharapkan pada masa mendatang. Mungkin pemakaian kata "penyataan" dalam arti eskhatologis itu menunjukkan suatu pendekatan baru dalam diskusi kita. Mungkin hubungan utama antara "penyataan" dengan Alkitab bukanlah bahwa penyataan itu terjadi lebih dahulu barulah kemudian Alkitab disusun sebagai respons terhadap penyataan tersebut. Sebaliknya; penyataan itu menyusul sebagai buah atau hasil tradisi (atau "skriptura") yang sudah jadi itu. Skriptura menyediakan kerangkaian/struktur, maka dalam konteks kerangkaian itulah baru peristiwa bermakna dan berarti. Kedatangan Yesus sendiri bermakna hanya karena kerangkaian arti yang disediakan oleh Perjanjian Lama, yang sudah ada lebih dulu. Maka ke-definitifan Yesus tidak berarti bahwa dengan kedatangan Dia segala penyataan berhenti, melainkan bahwa tradisi tentang Yesus (dalam bentuknya yang klasik yang diakui umum itu) sekarang menjadi kerangkaian, sehingga dalam kerangkaian peristiwa Kristus itu, kejadian-kejadian yang baru dapat ditanggapi serta diartikan. Agaknya rumusan yang demikian menghindarkan beberapa kesulitan yang terkandung dalam rumusan-rumusan tradisional, serta mengantar kita kepada suatu pengertian tentang Alkitab yang lebih "terarah ke masa depan." Soal ini akan kita singgung di bawah, pasal 8 bagian 9.

g. Pandangan Alkitab sendiri tentang status Alkitab

Timbul pertanyaan: apakah gambaran tentang Alkitab yang saya ajukan ini sesuai dengan gambaran yang disodorkan Alkitab sendiri? Pertanyaan yang demikian patut dipertimbangkan. Bukankah betul bahwa Alkitab memberikan suatu gambaran tentang karya-karya Allah yang bersifat obyektif dan petunjuk-petunjuk-kalamiah Allah? Apakah ini tidak berarti bahwa Alkitab memperkenalkan diri terutama sebagai komunikasi dari Allah kepada manusia, yaitu suatu "laporan" tentang "penyataan" yang sudah diberikan? Jawaban terhadap pertanyaan ini harus disampaikan dalam dua bagian:

i. Ada perbedaan antara penjelasan harfiah yang diberikan Alkitab, dan pengertian kita tentang peristiwa-peristiwa yang dilaporkan dalam Alkitab itu. Memang benar bahwa pola-klasik kita biasanya menggambarkan Allah yang berkarya melalui ''perbuatan-perbuatan perkasa" yang berbicara menggunakan bahasa manusia. Maka sebagaimana kita catat di atas, aspek-aspek ini secara tradlslonal telah sangat mempengaruhi pengertian kita tentang hakekat Alkitab. Tetapi meskipun aspek-aspek ini menonjol dalam bentuk pola kita, tidak usahlah aspek-aspek itu begitu menonjol bila kita berusaha menilai pengaruh pola itu atas pengertian kita. Yang saya kemukakan di sini bukanlah perkara yang baru; ada beberapa konsep penyataan yang kini laku secara luas, yaitu yang mengurangi peranan aspek "pembicaraan Allah dalam bahasa manusia."

ii. Dalam bentuk harfiah Alkitab pun, laporan-laporan tentang pembicaraan Allah kepada manusia hanyalah merupakan sebagian dari bahan yang ada. Banyak kitab dalam Alkitab memuat pembicaraan manusia-manusia; maka dalam rangka pembicaraan yang demikian itu terdapatlah beberapa bagian yang didalamnya manusia melaporkan pembicaraan Allah kepada manusia. Surat misalnya, adalah merupakan surat-surat seorang rasul kepada jemaat-jemaat, bukan surat-surat Allah kepada Rasul Paulus.

h. "Penyataan berbentuk pengalimatan" dan "penyataan perorangan"

Saya mengharap bahwa pendekatan ini membantu kita untuk mengelakkan pertentangan yang sering disebut-sebut itu, antara "penyataan dalam bentuk pengalimatan" dan "penyataan perorangan."

Perbedaan antara kedua jenis penyataan ini telah ditekankan tanpa habis dalam teologia modern. Tetapi sebenarnya, menurut pandangan kita ini, argumen yang demikian tidak begitu penting. Bahkan kebanyakan rumusan argumen itu mencampur-baurkan beberapa unsur yang sebenarnya berbeda-beda:

i. "Penyataan Diri Allah" dan status-logis pengalimatan Alkitab perlulah dibedakan

Ada soal tentang caranya Allah menyatakan Diri. Yaitu caranya Dia sampai berkomunikasi dengan manusia; sedangkan soal tentang status pengalimatan Alkitab secara logis adalah merupakan perkara tersendiri. Sekalipun kita mendesak bahwa penyataan tidak bersifat pengalimatan, hendaknya itu jangan ditafsirkan seolah-olah kita segan mengakui bahan keterangan yang ada dalam Alkitab sebagai rumusan-rumusan yang memang informatoris. Sebaliknya, pengakuan akan adanya rumusan-rumusan informatoris dalam Alkitab itu tidak berarti bahwa rumusan-rumusan itu bersifat penyataan, atau bahwa penyataan pada umumnya berbentuk rumusan-rumusan informatoris.

ii. Pemisahan yang salah

Ada pendapat umum bahwa pengenalan akan orang (mengenal orang) dan pengetahuan tentang fakta (mengetahui fakta), atau kepercayaan kepada orang (mempercayai orang) dan kepercayaan akan rumusan-rumusan keterangan (mempercayai rumus-rumus keterangan), merupakan dua pola pengetahuan yang berbeda satu sama lain. Persoalan ini memerlukan pertimbangan-pertimbangan filosofis yang tak akan saya usahakan di sini. Tetapi ada kemungkinan bahwa pemisahan yang demikian merupakan pemotongan yang salah. "Tidak ada pertentangan antara 'mempercayai rumusan-keterangan' dan 'mempercayai orang,' jikalau rumusan-keterangan tersebut memang diterima sebagai ucapan orang."25 Selain dari unsur-unsur filosofis yang terkandung dalam soal ini dapat diperhatikan juga bahwa teologia-teologia yang menekankan "penyataan perorangan" dalam prakteknya sering mengisi konsep "penyataan perorangan" itu dengan banyak detail berupa rumusan-rumusan-keterangan.

iii. Penyerangan-penyerangan terhadap konsep "penyataan berbentuk rumusan-rumusan informatoris"

Patut diperhatikan juga bahwa mereka yang menolak konsep "penyataan berbentuk rumusan-rumusan-keterangan" sering mengobah dasar pembicaraan dengan menyisipkan salah satu faktor tambahan, bilamana mereka menghadapi kesulitan dalam diskusi.

iiia. "Rumusan informatoris" dianggap identik dengan "kebenaran abadi"

Misalnya ada yang mulai argumentasinya dengan menolak konsep "penyataan berbentuk rumusan-rumusan-keterangan," tetapi kemudian mereka melanjutkan argumentasi dengan mengatakan bahwa Alkitab tidak menyodorkan "rumusan-rumusan kebenaran abadi." Tetapi itu adalah lain soal; karena belum tentu "rumusan-rumusan keterangan" itu terdiri melulu dari penyataan-penyataan tentang "kebenaran-kebenaran abadi." Apalagi, istilah "kebenaran abadi" itu menjerumuskan kita ke dalam persoalan-persoalan filosofis yang amat kompleks. Apakah istilah "kebenaran-kebenaran abadi" itu berarti:

* Suatu kebenaran yang mutlak lepas dari pertimbangan-pertimbangan tentang waktu-asalnya atau konteks-aslinya?

** Apakah dimaksudkan sesuatu yang dapat dikenakan secara umum misalnya sebuah peribahasa?

*** Ataukah, dimaksudkan sesuatu yang selalu berlaku, lepas dari segala pertimbangan tentang perubahan-perubahan historis atau tentang kepahitan-kepahitan pengalaman manusia?

Bilamana orang menyerang konsep penyataan yang menekankan "rumusan-rumusan-keterangan," biasanya yang mereka maksudkan ialah pandangan seperti (***) di atas. Tetapi menurut definisi "rumusan-keterangan" yang lazim, sifat (***) itu hanya merupakan ciri sebagian kecil dari rumusan-rumusan-keterangan yang ada. Jikalau kita menganalisa, apa yang dikatakan tentang hal ini oleh para ahli teologia, agaknya beberapa pokok yang mereka kemukakan tentang Allah berdasarkan Alkitab adalah sungguh-sungguh bersifat "abadi," dalam arti bahwa rumusan-rumusan tersebut berlaku pada segala waktu. Dikatakan misalnya bahwa "Allah ialah Allah yang hidup." Tetapi di pihak lain, kebanyakan fakta-kebenaran yang dikemukakan para ahli teologia berdasarkan Alkitab, dikaitkan dengan proses sejarah; itu berarti bahwa kebenaran-kebenaran tersebut memang merupakan rumusan-rumusan-keterangan; hanya rumusan-rumusan-keterangan tersebut bukanlah "abadi," melainkan "berwaktu-waktu."

iiib. "Rumusan informatoris" dianggap identik dengan "rumusan abstrak"

Contoh lain: banyak argumen, yang dipakai untuk melawan kemungkinan adanya "penyataan berbentuk rumusan-rumusan keterangan," pindah landasan sedemikian rupa, sehingga akhirnya yang diserang ialah konsep "penyataan melalui rumusan-rumusan-keterangan yang abstrak." Ini juga merupakan soal lain, kecuali kalau definisi tentang "rumusan-keterangan" itu diperketat, sehingga hanya meliputi kalimat-kalimat yang abstrak saja. Tetapi itupun tergantung kepada apa yang dimaksudkan "abstrak." Mungkin sekali yang dimaksudkan bukanlah "abstrak," melainkan keterangan yang terlepas dari kaitan konteks, netral, dan obyektif; yaitu, keterangan yang tidak menuntut respons, atau keputusan, atau keterlibatan secara perorangan. Tetapi kalau itulah yang dimaksudkan dengan istilah "abstrak," maka soal sudah menjadi lain dari pada yang semula. Paul Helm memberi contoh soal, demikian: Kalimat, "ada singa di belukar itu" mungkin dapat dianggap suatu "rumusan netral," suatu rumusan-keterangan yang bersifat faktual melulu. Tetapi kemungkinannya lebih besar bahwa kalimat yang demikian "menuntut respons"; yaitu, dia dimaksudkan sebagai peringatan, sebagai ungkapan rasa takut, sebagai tantangan kepada barang siapa yang berani berkonfrontasi dengan singa tersebut, dan sebagainya. Sebaliknya, sering terjadi bahwa bentuk kalimat yang dengan jelas "menuntut respons" itu tokh mengandung unsur "keterangan-faktual" juga.

iv. Masalah pokok: fungsi "rumusan-rumusan informatoris" yang sebenarnya

Sering terjadi bahwa argumentasi yang seolah-olah mempersoalkan "penyataan dalam bentuk rumusan-rumusan-keterangan" itu sebenarnya ditujukan bukan terhadap rumusan-rumusan-keterangan itu sendiri; melainkan yang dipersoalkan ialah tentang fungsi yang setepatnya dimainkan oleh rumusan-rumusan-keterangan tersebut. Misalnya, kadang-kadang yang dipersoalkan ialah: apakah rumusan-keterangan tertentu berfungsi sebagai kerygma, atau "penuntut respons," atau sebagai "penyalur keterangan secara netral"? Atau kadang-kadang yang dipersoalkan ialah: apakah rumusan-keterangan itu berfungsi sebagai perumpamaan, yaitu berbicara secara tidak langsung; atau berfungsi sebagai penyalur keterangan secara langsung? Jadi titik persoalan di sini ialah: rumusan-keterangan ini sepatutnya dimasukkan ke dalam kategori kesusasteraan yang manakah? bukannya soal, apakah bahan itu bersifat rumusan-keterangan atau tidak. Karena kekeliruan dalam menentukan golongan kesusasteraannya, maka kalimat-kalimat Alkitab diberi fungsi yang kurang tepat.

v. "Penyataan berbentuk pengalimatan" dan fundamentalisme

Sering dikatakan bahwa kaum konservatif atau kaum fundamentalis beranggapan bahwa penyataan disampaikan melalui rumusan-rumusan keterangan. Bahkan kadang-kadang penjelasan yang demikian itu diterima oleh ahli-ahli apologetik dari pihak konservatif itu sendiri. Menurut anggapan saya, kemungkinannya besar bahwa titik persoalan yang sebenarnya ialah tentang jenis-kesusasteraan bahan, dan fungsi bahan itu. Kekeliruan dalam menggolongkan bahan menurut jenis-kesusasteraannya mengakibatkan bahwa kita keliru dalam jenis kebenaran yang kita tuntut dari kalimat-kalimat Alkitab yang bersangkutan. Dengan demikian unsur-unsur perhiasan kesusasteraan berubah menjadi rumusan-rumusan fakta ilmu pengetahuan. Kata-kata karismatis, yang penuh anugerah dan perjanjian, berubah menjadi rumusan doktrin yang definitif. Maka bilamana kaum fundamentalis memang keliru dalam menentukan fungsi rumusan-rumusan-keterangan tertentu, cara yang tepat untuk menanggapi pendapatnya itu bukanlah dengan menyangkal bahwa bahan itu merupakan rumusan-rumusan keterangan, melainkan dengan menunjukkan kekeliruan tersebut secara terus terang. Yaitu, boleh dijelaskan bahwa kalimat-kalimat itu tidak benar, kalau harus diterima sebagai "keterangan faktual."

vi. Kesimpulan

Sebagai ringkasan, dapat dikatakan bahwa pertentangan antara konsep "penyataan yang berbentuk rumusan-rumusan-keterangan" dan konsep "penyataan yang tidak bersifat rumusan-rumusan-keterangan" biar bagaimanapun daya-tariknya dalam konteks teori penyataan, akhirnya tidak membawa hasil yang begitu positif kalau diterapkan kepada pengertian tentang Alkitab.

i. Nisbah skriptura dan tradisi

i. Pengertian Katholik: skriptura dan tradisi saling melengkapi

Sekarang kita akan membicarakan hubungan antara skriptura dengan tradisi. Dari beberapa segi, pokok ini termasuk yang paling sulit dalam seluruh kompleks persoalan kita ini. Dalam membahasnya, mudah sekali kita terjerumus ke dalam pertentangan Katholik-Protestan yang tradisional, dan yang sudah begitu lama menguasai diskusi tentang pokok-pokok seperti ini. Suatu rumusan Katholik tradisional yang lazim diterima ialah bahwa tradisi dalam perkembangannya itu melengkapi serta menafsirkan skriptura. Baik tradisi maupun skriptura dibutuhkan dalam eksistensi gereja yang genap sehingga tak mungkin terjadi suatu pertentangan antara kedua-duanya. Suatu rumusan Protestan tradisional menjawab bahwa ada kemungkinan tradisi dapat berkembang ke arah yang salah. Kalau memang terjadi demikian, tradisi dalam fungsinya sebagai penafsiran akan mendistorsikan berita skriptura. Jadi tradisi memanglah bermakna dan penting, tetapi dapat berfungsi secara tepat hanya bila tradisi sungguh-sungguh takluk di bawah kewibawaan skriptura yang utama itu. Apakah ada kemungkinan bahwa pertentangan yang tajam itu dapat dihindarkan?

ii. Pengertian Protestan: tradisi dapat menyeleweng

Saya sebagai orang Protestan menganggapnya jelas bahwa tradisi memanglah dapat berkembang ke arah yang salah. Saya tidak mendukung pendapat ini dengan argumentasi yang sudah lazim, melainkan ingin mencatat dua pokok lain yang sering diabaikan-:

iia. Lepas sama sekali dari kecenderungan Protestan tradisional itu, para ahli sejarah dan ahli Alkitab sering terdorong kepada kesimpulan bahwa tradisi dapat keliru. Kita melihat dari hasil penyelidikan obyektif, bahwa dalam perkembangan waktu, suatu tradisi yang telah dianut, dapat berubah dalam proses perkembangan penafsirannya, menjadi sesuatu yang bertentangan dengan isi tradisi yang semula. Memang bukanlah tugas kita di sini untuk menentukan apakah perkembangan itu merupakan suatu "kemerosotan" atau tidak; cukuplah dicatat bahwa dalam rangka penyelidikan ilmiah pada umumnya, tidak ada kepastian bahwa tiap-tiap perkembangan tradisi akan selalu merupakan kelanjutan atau interpretasi yang sah dan wajar.

iib. Tak dapat disangkal bahwa problema tentang hubungan skriptura dan tradisi adalah sangat kusut, sehingga dirasa enak, kalau persoalan itu dapat dihindarkan. Namun saya yakin juga bahwa persoalan itu memang tidak dibuat-buat begitu saja. Berdasarkan Perjanjian Lama (lepas dari Perjanjian Baru), persoalan ini sudah mempunyai kedudukan kuat di dalam agama Yudaisme. Persoalan itu juga sering disadari sebagai persoalan dalam Perjanjian Baru, di mana hal itu timbul sebagai pokok penting, baik dalam pelayanan Tuhan Yesus dan dalam bagian-bagian tertentu teologia Rasul Paulus. Prinsip bahwa ditekankannya tradisi-tradisi manusia dapat menyia-nyiakan perintah-perintah Allah, begitu sering tercantum dalam Perjanjian Baru, justru karena hal ini merupakan suatu persoalan eksistensial yang penting, bila tiap kali ada perkembangan atau perubahan terjadi dalam agama yang sudah memiliki suatu skriptura. Bahan Perjanjian Baru tentang pokok ini oleh para tokoh Reformasi diterapkan kepada gereja Katholik pada abad-abad pertengahan. Lepas dari soal tepat tidaknya penerapan itu, namun tidaklah mengherankan bahwa mereka teringat kepada rumusan itu, karena pokok itu memang menonjol dalam Perjanjian Baru. Ada ahli-ahli teologia yang mengiakan rumusan-rumusan Perjanjian Baru mengenai hal kemungkinan keliru tradisi, namun sekaligus mempertahankan pandangan tradisional tentang adanya suatu tradisi Kristen yang tak mungkin salah, melainkan pasti membimbing ke dalam makna Perjanjian Baru yang sah. Menurut hemat saya, kedua keyakinan tersebut hanya dapat dipegang sekaligus, kalau kita berani mengatakan bahwa tradisi tafsir Yahudi membawa distorsi, sedangkan tafsir Kristen tidak. Akan tetapi kesimpulan yang demikian sangat menusuk perasaan; dan di samping itu tidak dapat dibenarkan berdasarkan perbandingan obyektif antara metoda atau isi tafsir Yahudi dan tafsir Kristen.

iii. Pengertian modern: Baik skriptura maupun tradisi mengandung ketidak-sempurnaan

Namun demikian, dapat timbul keragu-raguan juga, apakah persoalan tradisi dan skriptura mereda, kalau kita mengaku bahwa skriptura itu sendiri tidak sempurna secara teologis. Pengakuan demikian merupakan unsur yang tidak berperan dalam persengketaan tradisional, karena baik pihak Katholik maupun pihak Protestan beranggapan bahwa pengajaran teologis dalam Alkitab adalah "bebas dari kesalahan." Sedangkan pada masa kini kalau kita mengambil prinsip Protestan itu serta menekankan bahwa tradisi post-Alkitabiah itu dapat keliru, tak perlu lagi kita sekaligus menggariskan kontras yang tajam antara skriptura yang tak mungkin salah dan tradisi yang mudah keliru. Karena menurut pandangan masa kini, skriptura maupun tradisi itu tidak merupakan eksistensi ilahi dan sempurna, yang turun lengkap dari sorga ke dalam dunia manusia. Sebab yang menyusun, baik skriptura maupun tradisi itu ialah anggota-anggota umat Allah, yang bekerja melayani Dia, namun yang diombang-ambingkan oleh keyakinan-keyakinan kuat yang mereka pegang sendiri. Maka kekuatan dan daya-distorsi keyakinan-keyakinan itu malah bertambah kuat justru karena orang-orang tersebut mempunyai motivasi yang luhur, yaitu, bukan cinta kepada uang atau kepada kesenangan, melainkan terdorong oleh hasrat mereka untuk melakukan hal-hal yang benar, dan untuk menyatakan kehendak Allah dengan cara yang tepat.

iv. Untung-ruginya pembekuan/membekukan tradisi menjadi skriptura

Sebagaimana kita lihat tadi, Alkitab itu sendiri berkembang dan terwujud dari tradisi Israel dan gereja-awal (mula-mula). Tradisi mendahului skriptura, dan tidak hanya menyusulinya. Maka mana mungkin kita membatasi pengaruh tradisi post-Alkitabiah, mengingat bahwa Alkitab itu sendiri berkembang dari tradisi? Dalam hal ini kita harus memberi perhatian kepada pihak yang mengusulkan bahwa terwujudnya skriptura merupakan perkembangan yang agak negatif, sehingga sebenarnya adalah lebih menguntungkan, sekiranya tradisi lisan saja berkembang terus, dengan selalu dirumuskan kembali generasi demi generasi. Ditinjau sepintas lalu, argumentasi ini agaknya menolak status keutamaan skriptura. Pembentukan Alkitab dinilai sebagai suatu kekeliruan. Tetapi sebenarnya argumentasi ini juga dapat ditafsirkan sebagai pengritikan terhadap tradisi. Skriptura itu, sekali terbentuk, telah merubah status segala faktor lain di dalam rangka umat Allah. Tradisi, sebelum skriptura muncul, merupakan satu aliran kontinuum saja, di mana segala pemikiran teologis, segala pengaruh kontemporer, dan segala ingatan historis berlangsung sejajar, malah sebagai kesatuan. Semua faktor itu mengalami penyesuaian dengan situasi-situasi baru yang muncul, sehingga nampak sebagai keputusan umat Allah yang eksistensial berkenaan dengan situasi-situasi tersebut. Akibat pembentukan skriptura ialah bahwa pola-klasik untuk pengertian tentang Allah itu diobyektifkan, sehingga nampak sebagai barang yang dapat ditinjau dari luar. Angkatan-angkatan baru dalam umat Allah tidak langsung berpartisipasi lagi dalam mengolah bahan itu. Karena skriptura itu berada di luar diri mereka, sehingga mereka harus mengambil tindakan konkrit untuk menerimanya sebagai milik dan standard mereka. Dapat dikatakan bahwa perubahan yang demikian itu menyebabkan suatu kemerosotan dalam nilai dan fungsi tradisi. Karena dengan demikian dengan mudah tradisi menjadi sarana untuk memanipulasikan skriptura yang permanen dan obyektif itu. Tradisi tidak lagi mencakup segenap hidup eksistensial umat Allah. Karena luas dan dalamnya tradisi itu dibatasi dengan adanya pola pengertian yang obyektif dan klasik, yaitu skriptura. Kenyataan itu termasuk harga yang harus dibayar, demi terwujudnya skriptura. Namun harga itu dianggap tidak terlalu mahal, karena pola klasik itu sendiri merupakan pola historis. Maka unsur historisitas itu amat penting sekali dalam struktur keagamaan, baik dalam Yudaisme maupun dalam agama Kristen. Pola itu ditentukan sebagai suatu skriptura, karena pola itu sendiri dianggap mencukupi. Sekiranya tidak pernah terjadi suatu pentuan pola, maka alternatifnya ialah bahwa hanya akan terdapat suatu proses penulisan dan perumusan-ulang terus-menerus tanpa habis, disertai pula suatu kecenderungan untuk meninggalkan tahap-tahap awal dari proses itu. Tetapi sekiranya demikian, unsur historisitas akan hilang; dalam dua arti:

Pertama, garis-garis pola, sebagaimana digariskan pada periode yang formatif, akan menjadi kabur, lantas menghilang dalam proses perubahan.

Kedua, kekonkritan-historis periode formatif (yang sekarang termasuk ke dalam pola itu) pastilah dianggap makin tidak relevan, sehingga akhirnya dibuang.

j. Efek-efek negatif ide "kewibawaan Alkitab"

i. Kesembronoan dalam menafsir

Memang harus diakui bahwa konsep kewibawaan Alkitab dapat menghasilkan akibat-akibat yang negatif. Dengan dipergunakannya metoda-metoda penafsiran yang bersifat typologis atau alegoris, sebagaimana sering terjadi sepanjang sejarah gereja yang lama, maka Alkitab dapat diperas sampai menghasilkan pengertian-pengertian yang bertentangan sekali dengan makna lahiriah-historis nats-nats tersebut.

ii. Legalisme Alkitab

Akan tetapi pada pihak lain, suatu cara-membaca yang harfiah dan historis dengan mudah menghasilkan suatu "toratisme-Alkitabiah."

Sikap seperti itu telah sangat merugikan aliran-aliran konservatif Alkitabiah dalam gereja Protestan, misalnya Calvinisme. Namun kita harus mencatat juga di sini suatu kenyataan, yaitu bahwa legalisme (atau "toratisme"), dalam bentuk satu dan lain, adalah termasuk unsur-tetap dalam agama Kristen. Kecenderungan itu memang dirangsang oleh berbagai kesalah-pahaman tentang inti-agama Kristen, dan bukan hanya karena semangat untuk membela Alkitab secara berlebih-lebihan. Sebagaimana legalisme-alkitabiah muncul, di mana status Alkitab disalah-tafsirkan, begitu juga muncul legalisme gerejani atau legalisme-moral. Maka oleh karena itu tak dapat dikatakan bahwa pengakuan akan kewibawaan Alkitab adalah merupakan faktor yang satu-satunya yang menghasilkan akibat-akibat negatif dalam hidup gereja. Hanya kita catat saja di sini bahwa akibat-akibat negatif itu memang ada; seperti yang timbul juga, bilamana faktor-faktor lain ditekankan secara berlebih-lebihan. Adanya suatu skriptura kanonis dalam bentuk tetap, yang berada secara obyektif berhadapan dengan umat Allah, memang menjadi suatu faktor yang menyebabkan pembekuan dalam sikap-sikap orang Kristen. Karena adanya skriptura itu menciptakan kesan bahwa pokok-pokok yang dipercayai sudah definitif dan lengkap sehingga penekanan pindah dari iman-kepercayaan itu sendiri kepada rumusan pokok-pokok kepercayaan. Pembekuan yang demikian memang tidak hanya timbul karena ditekankannya kesentralan Alkitab; namun harus diakui bahwa konsentrasi (pemusatan) kepada Alkitab sering menciptakan sikap yang demikian. Harus diakui bahwa agama berdasarkan skriptura tidak merupakan berkat melulu, tanpa campuran unsur negatif.

iii. Penyamaan pandangan pribadi dengan pandangan Alkitab

Dengan demikian sampailah kita kembali kepada pokok yang disinggung pada pasal 4 bagian 4, kepada pokok yang bahkan sering muncul juga dalam diskusi tentang Alkitab; yaitu perbedaan antara ide-ide kita sendiri dengan pemikiran-pemikiran yang terdapat dari Alkitab. Sepintas lalu agaknya kita menghadapi suatu perbedaan mutlak di sini, tetapi sebaiknya perbedaan yang demikian jangan terlalu ditekankan. Sering kedengaran bahwa "ide-ide kita sendiri" (misalnya pendapat-pendapat filosofis yang kita anut) adalah milik kita sendiri. Implikasi dalam rumusan demikian ialah bahwa kita tidak berhak mendesakkan ide-ide itu kepada orang lain. Sedangkan pemikiran-pemikiran yang timbul dari Alkitab dianggap berasal dari luar kepribadian kita. Ide-ide itu bukanlah milik kita sendiri, dan tidak melayani maksud-maksud kita; sehingga mendesakkan ide-ide tersebut kepada orang lain tidaklah berarti bahwa kita menyerang mereka dengan kekuatan ego kita. Tetapi harus diakui juga bahwa ide-ide Alkitabiah sering menjadi "ide-ide kita sendiri." Maka justru itulah yang terjadi pada orarhg-orang "Alkitabiah" yang penuh semangat. Bahwa ide-ide itu mula-mula berasal dari Alkitab tidak mempengaruhi kenyataan bahwa ide-ide tersebut dapat diambil-alih manusia, dan bahwa manusia itu kemudian membangun kepribadiannya di sekitar ide-ide itu, sedemikian rupa, hingga ide-ide Alkitabiah betul-betul menjadi "ide-ide orang itu sendiri." Maka tentulah perubahan demikian membawa implikasi-implikasi moral. Sama halnya bila orang berkata bahwa mereka "didesak" oleh Alkitab untuk percaya begini dan begitu. Sebenarnya sering terjadi bahwa tidak ada "desakan," karena orang yang bersangkutan sendiri ingin mempercayai Alkitab. Dia berkeyakinan bahwa mempercayai Alhkitab merupakan sikap yang amat penting sekali, sehingga dia menjadi pengakuan akan Alkitab itu sebagai prioritas-utama dalam hidup pribadinya. (Akan tetapi motivasinya yang sebenarnya, --walaupun mungkin tidak disadari,-- dalam begitu menjunjung-tinggi Alkitab, adalah bukan supaya mengabdi kepada Tuhan, begitu saja, melainkan juga untuk memperalat Alkitab menjadi pendukung pendapatnya dan egonya sendiri) .

k. Alkitab perlu dibaca secara kritis, karena mengandung unsur distorsi

Perlu kita menambah sedikit di sini tentang unsur kesalahan atau distorsi yang ada dalam Alkitab. Tentunya ucapan ini akan menimbulkan kegelisahan; tetapi yang saya maksudkan, kalau saya katakan bahwa Alkitab mengandung unsur kesalahan atau distorsi, ialah bahwa Alkitab harus dibaca secara kritis, - baik uraiannya tentang peristiwa-peristiwa dan fakta-fakta historis, maupun uraian-uraian teologisnya. Kita harus membaca Alkitab dengan sikap dan kesadaran kritis, sebagaimana kita membaca karangan Athanasius atau Augustinus dengan kesadaran kritis. Tentunya kesadaran kritis itu dihalang-halangi kalau kita beranggapan bahwa kita tidak berhak mempertimbangkan sah-tidaknya rumusan-rumusan teologis yang terkandung di dalam Alkitab, melainkan wajib menerima segala sesuatu yang kita baca itu justru karena kita telah menemuinya di dalam Alkitab. Tetapi harus digarisbawahi bahwa mengenakan sikap kritis itu terhadap Alkitab merupakan tanggung-jawab yang berat. Khususnya, sikap kita patut disesalkan, kalau kita beranggapan bahwa dengan mudah saja kita dapat menentukan perikop-perikop manakah yang mengandung kesalahan; sehingga selanjutnya kita merasa diri berhak mengabaikan perikop yang demikian sambil mengaku "kebenaran" perikop-perikop lain. Sikap yang demikian masih termasuk fundamentalisme, namun suatu fundamentalisme yang bersifat selektif. Jikalau ada unsur dalam Alkitab yang mendistorsikan kebenaran Allah yang mutlak itu, maka unsur distorsi tersebut tidak melekat hanya pada perikop-perikop tertentu, melainkan melekat pada Alkitab sebagai suatu keseluruhan, walaupun belum tentu nampak secara merata pada seluruh Alkitab itu.

l. Masalah "pengilhaman tradisi"

Dengan mengingat ini, maka sebagai penutup kita boleh kembali kepada pokok "keilhaman." Sudah jelas sekarang bahwa konsep "keilhaman" tidak ada sangkut-pautnya sama sekali dengan konsep ketakmungkinan-salah. Konsep keilhaman bukan terutama menyangkut pembentukan skriptura, melainkan pembentukan tradisi, baik di Israel maupun di gereja awal, yaitu tradisi yang merupakan pola-klasik untuk pengertian. Baru secara sekunder, konsep "keilhaman" itu dapat dikenakan kepada proses pembentukan tradisi itu menjadi skriptura. Dan akhirnya, pada tahap ketiga, konsep keilhaman kena juga kepada proses pembatasan skriptura dalam kerangkaian (struktur) kanon suci. Tetapi tahap pertama, yakni tahap pembentukan tradisi, itulah yang paling bermakna secara teologis. Itu berarti bahwa persoalan pokok adalah mengenai "keilhaman tradisi."

i. Pembentukan tradisi atau skriptura sebagai akibat samping dari tugas-kepemimpinan

Namun demikian, kita perlu memperhatikan juga bahwa pembentukan tradisi atau penyusunan karangan-karangan tertulis dapat dikatakan agak insidentil, dibandingkan dengan tugas panggilan para pemimpin Israel dan gereja yang sebenarnya. Musa, Yesaya, dan Paulus tidak ditugaskan menyusun suatu tradisi, atau menulis sebagian dari Alkitab, sebagai tugas-utama yeng diserahkan kepadanya. Tugasnya yang sebenarnya ialah kepemimpinan dalam masyarakat pada jamannya sendiri. Jadi dapat dikatakan bahwa penyusunan tradisi, dan akhirnya penyusunan skriptura, merupakan suatu "akibat-sampingan" tugas kepemimpinan. Hubungan-dasar antara mereka dengan Allah ialah hubungan Allah dengan hamba-hambaNya dalam rangka tugas mereka pada jaman mereka sendiri. Ada banyak yang tidak kita tahu tentang seluk-beluk sejarah mereka dalam usaha-usaha yang mereka perjuangkan; sehingga skriptura, yang merupakan peninggalan mereka, mudah menonjol dalam pemikiran kita. Dalam hal ini, penyelidikan historis telah mengembalikan keseimbangan, --padahal dalam Alkitab sendiri sudah mulai nampak suatu keberat-sebelahan dalam soal ini--, serta membantu kita melihat tokoh-tokoh, seperti misalnya para-nabi, sebagai manusia yang melayani Allah pada jaman mereka sendiri. Maka status tradisi yang merupakan hasil-sampingan dari pelayanannya itu, dan status skriptura, yang merupakan kristalisasi tradisi itu, agaknya bergantung kepada keyakinan bahwa Allah telah menyertai umatNya dalam pelayanan mereka pada jamannya sendiri itu.

ii. Allah menyertai pemimpin "melalui RohNya"

Apakah soal penyertaan Allah ini dapat diuraikan secara lebih mendetail? Di sini saya hanya meraba-raba saja. Secara tradisional akan ditambah istilah: "dengan perantaraan RohNya." Apakah istilah itu sungguh menambahkan sesuatu, atau menjadikan soalnya lebih jelas? Saya mengaku terus-terang bahwa saya belum mendalami persoalan ini. Namun ada dua pemikiran yang ingin saya kemukakan untuk para pembaca:

iia. Roh menerangkan makna penyertaan Allah itu

Istilah "Roh Tuhan" dalam konteks-konteks seperti ini agaknya dipakai untuk menunjukkan semacam kaitan antara "makna" dengan "kehadiran." Bila kata-kata manusia dipakai tentang Allah, maka kata-kata itu harus didengar "di dalam Roh," supaya dapat ditangkap dengan tepat. Hal itu terjadi bukan karena Roh seolah-olah merupakan suatu kaitan-intelektual antara Allah dengan manusia, melainkan sbb.: bilamana kata-kata yang diucapkan tentang Allah itu ditangkap, maka kata-kata itu disertai oleh suatu "cara-kehadiran" Dia yang dibicarakan dalam kata-kata tersebut. Kalau dapat dikatakan demikian tentang proses pemahaman skriptura, maka dapat dikatakan juga barangkali tentang proses pembentukan skriptura itu. Jadi, hubungan para pengarang Alkitab (dan para penyusun tradisi) dengan Allah melalui Roh, pada prinsipnya tidak berbeda dengan hubungan antara gereja masa kini dan Allah, dalam proses gereja mendengarkan pembicaraan Allah. Namun ada perbedaan dalam taraf proses yang berlangsung. Para tokoh Alkitab memainkan peranan sebagai perintis dalam penyusunan pola-klasik, sehingga mungkin tepat juga kalau berdasarkan peranan itu mereka disebut "penerima ilham" dalam arti khusus.

iib. Roh mendampingi reflexi dan karya manusia

Pemikiran kedua yang ingin saya kemukakan ialah yang berikut: selama uraian ini saya berusaha mengelakkan apa yang disebut strategi "Allah-pengisi-lowong" ("God-of-the gaps"), yaitu suatu pendekatan yang sedapat mungkin menjelaskan segala sesuatu pada taraf manusiawi, historis, dan ilmiah, lantas pada titik-titik di mana nampak lowong-lowong dalam penjelasan manusiawi dan ilmiah itu, tiba-tiba Allah ditampilkan sebagai pengisi lowong itu. Kalau pengertian saya tepat, maka konsep Roh Allah ialah mengenai Oknum yang tidak mengganti usaha manusia, melainkan justru menyertai serta mendampingi pemikiran dan karya manusia itu. Pemikiran dan karya manusia itu dapat diuraikan dengan istilah-istilah yang menonjolkan segi manusiawi dan historis, dengan tidak memasukkan unsur intervensi-intervensi supra-manusiawi pada titik-titik yang sukar diuraikan. Maka saya tertarik kepada aspek ini, dalam usaha saya menguraikan tentang hakekat Alkitab.

(sebelum, sesudah)


Alkitab di Dunia Modern (The Bible in the Modern World) Prof. James Barr Terjemahan Dr. I.J. Cairns BPK/8331086/7 Penerbit BPK Gunung Mulia, 1979 Kwitang 22, Jakarta Pusat  

| Indeks Artikel | Tentang Penulis

Islamic Media Ibnuisa
Kritik & Saran
Counter
INDEX UTAMA