Duck hunt

III. PENYELEKSIAN DAN PENGATURAN BAHAN ALKITAB SECARA INTERN

Kita sudah melihat di atas bahwa segala pemikiran teologis menuntut semacam penyeleksian dan pengaturan bahan Alkitabiah itu sendiri. Kini makin disepakati bahwa Alkitab tidak dapat dipakai secara merata, melainkan ada berbagai macam prioritas yang memainkan peranan dalam memilih dan mengatur bahannya. Apa yang dapat kita katakan tentang proses ini?

1. Pengaruh tradisi gerejani atau akademis terhadap penilaian dan penafsiran bahan Alkitabiah

Pertama-tama, dapat dikatakan bahwa proses penyeleksian itu tidak mulai dengan suatu penilaian-abstrak yang dibuat, sebelum proses penafsiran itu berlangsung. Sebaliknya; bahan Alkitab yang dibaca oleh si penafsir sebenarnya sudah disaring. Saringan itu ialah caranya si penafsir belajar atau membiasakan diri membaca Alkitab. Dengan perkataan lain, dia membaca dalam rangka tradisi tertentu, --entah tradisi gerejani, atau tradisi akademis, atau kedua-duanya. Pembentukan pribadi yang telah dialami si pembaca mengarahkan dia ke arah yang ditunjuk dalam tradisi itu, atau kadang-kadang justru mendorong dia untuk berangkat ke arah yang berlawanan. Itu berarti: proses penafsiran tidak mulai dari Alkitab begitu saja, tanpa memiliki terlebih dulu suatu pra-pengertian tentang maknanya. Maka persoalan yang paling hangat ialah tentang cara mengganti pendapat, yaitu berpindah dari suatu penafsiran yang dulu dipegang, sampai menerima penafsiran yang baru.

2. Ketidak-rataan bahan-bahan Alkitabiah

Teologia-teologia dan tradisi-tradisi akademis mengadakan penyeleksian dan menentukan prioritas-prioritas di dalam bahan-bahan Alkitab berdasarkan alasan-alasan seperti yang kita sebutkan di atas: Alkitab tidak merupakan suatu kesatuan tertulis, melainkan suatu korpus bahan kesusasteraan yang bersifat majemuk. Suatu korpus tulisan yang bersifat kesatuan pun sulit diatur menjadi suatu sintesa yang bersifat monolit, karena dalam karangan yang sederhana itupun si penafsir harus menganalisa serta memilih garis dan ide-ide pokok. Alkitab sangat beraneka-ragam, dari segi periode asalnya, tempat asalnya, pengarangnya, segi pendekatannya, dan sebagainya. Akan tetapi dari segi teologis, yang lebih penting lagi ialah keaneka-ragaman Alkitab secara teologis. Ada variasi-variasi di antara karangan-karangan, yang termuat di dalamnya, dari itu tergantung daripada: --apakah teologianya eksplisit atau implisit? Sampai di manakah corak-uraiannya homogen, baik dalam karangan-karangan itu sendiri maupun dalam perbandingan dengan karangan-karangan yang sejenis? Sampai di manakah rumusan-rumusan dalam bagian Alkitab tersebut merupakan kebenaran-kebenaran obyektif-ekstern yang dapat langsung berperan dalam proses penyusunan suatu teologia? Faktor-faktor ini berarti bahwa bukan tradisi gerejani, atau teologis, atau akademis, yang mengenakan sistim prioritas dan sistim pemilihan atas Alkitab, melainkan pemprioritasan dan penyeleksian itu menjadi perlu justru karena sifat bahan Alkitabiah itu sendiri.

3. Pengakuan-iman-pengakuan-iman sebagai sarana pengaturan bahan Alkitabiah

Kita setuju bahwa dalam bahan-bahan Alkitab itu sendiri ada implisit suatu sistim prioritas-prioritas dan pilihan-pilihan. Maka dari situ timbullah pertanyaan: sampai di manakah prioritas-prioritas itu harus dijadikan eksplisit, dan sampai di manakah sebaiknya prioritas-prioritas itu dibatasi dan dikontrol? Kita mencatat di atas bahwa salah satu ciri teologia ialah bahwa rumusan-rumusannya tentang apa yang dipercayai, menjadi suatu struktur yang membantu proses penafsiran Alkitab. Struktur itu mengarahkan perhatian kepada pokok-pokok yang mutlak penting; maka jaringan pokok-pokok yang mutlak penting itu menjadi kerangkaian yang membantu proses penyeleksian dan pengaturan nats-nats Alkitabiah. Fungsi yang demikian secara historis telah dilakukan secara khusus oleh kredo-kredo dan pengakuan-pengakuan. Saya kira pengakuan-pengakuan yang panjang dan mendetail, seperti yang dihasilkan pada periode Reformasi, mengarah lebih jauh ke arah itu, dibandingkan dengan kredo-kredo dari gereja awal. Akan tetapi kecuali di lingkungan konservatif sekali, orang masa kini segan menerima pendapat bahwa kredo-kredo dan pengakuan-pengakuan ini (meskipun sangat dihargai), dapat merupakan kunci hermeneutis yang sanggup membantu kita mengatur bahan Alkitab, yang multi-kompleks dan majemuk itu, menjadi suatu pola-kebenaran yang jelas. Jadi kalau kredo-kredo dan pengakuan-pengakuan itu tidak merupakan alat seperti yang kita perlukan, ke mana lagi kita harus mencarinya?

4. Usaha "teologia Alkitabiah" untuk mengatur bahan Alkitab

a. Usaha mencari "teologia-inti" yang disodorkan oleh Alkitab sendiri

Di tinjau dari satu segi, teologia Alkitabiah, dan bentuk-bentuk tertentu teologia Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, merupakan usaha untuk mendapat kunci yang kita butuhkan itu. Biarlah saya memberi contoh dari teologia-teologia Perjanjian Lama. Banyak teologia Perjanjian Lama yang terbit antara tahun 1930-1960 berusaha untuk menunjukkan struktur-dasar dari pemikiran dan iman Perjanjian Lama, yaitu suatu struktur yang akan memberi perhatian dan pertimbangan yang cukup pada perbedaan-perbedaan yang ada, --pengarang-pengarang yang berbeda-beda, perbedaan dalam periode-periode historis dan dalam pandangan teologis, dan sebagainya. Tetapi teologia tersebut juga bertujuan untuk memperlihatkan hubungan timbal-balik yang hakiki, antara konsep-konsep dan pola-pola pemikiran yang sudah berkembang dalam Perjanjian Lama itu. Maka struktur itu, kalau sudah ditemukan, akan membantu si penafsir membedakan antara apa yang sentral, dengan apa yang merupakan bahan "pinggiran." Bahan "pinggiran" itu justru dapat mendapat arti sebagai "bahan pendukung" dalam rangka keseluruhan struktur Perjanjian Lama. Teologia Perjanjian Lama itu memang beranggapan bahwa tugas menganalisa serta mendapat struktur-dasar itu adalah tugas yang harus dilaksanakan, malah dapat dilaksanakan, menurut pra-sarat-pra-sarat yang ditentukan Perjanjian Lama sendiri. Pengarang-pengarangnya tidak menggunakan metoda dogmatis atau teologis atau menerapkan kredo Nicea atau Konfesio Augsburg kepada Alkitab. Maka justru karena itulah gerakan tersebut disebut "teologia Alkitabiah." Gerakan tersebut merupakan (atau dimaksudkan sebagai) suatu cara berteologia yang, dalam tugas menyeleksikan dan mengatur bahan-bahan Alkitab, bersandar kepada teologia intern yang integral pada kitab-kitab Alkitab itu sendiri.

b. Kesulitan-kesulitan yang menghambat usaha tersebut

Apakah metoda itu tepat atau keliru? Apakah memang tak mungkin Alkitab dimengerti "menurut pra-sarat-pra-sarat yang ditentukan Alkitab sendiri?" Apakah ini merupakan khayalan belaka, bahwa Perjanjian Lama atau Perjanjian Baru sanggup menunjuk kategori-kategorinya sendiri, dan struktur-struktur prioritas-prioritasnya sendiri; dan bahwa kategori dan struktur tersebut, dapat dianalisa oleh ahli-ahli Alkitab, serta diteruskan kepada ahli-ahli teologia, supaya mereka memanfaatkannya lebih lanjut? Saya tidak akan berusaha memecahkan persoalan itu di sini. Memang aspek tugas teologia Alkitabiah ini tidak sampai selesai; hal itu disebabkan oleh beberapa faktor. Ada yang berkata pada waktu itu bahwa kategori-kategori yang dikemukakan sebagai pra-sarat-pra-sarat yang ditentukan Alkitab sendiri, sebenarnya hanya merupakan kategori-kategori tradisional yang sudah lama terpakai dalam teologia-teologia lama (entah Reformis atau Lutheran atau yang lain lagi) , kemudian secara tidak sadar dibawa masuk ke dalam bidang ilmu Alkitab oleh para ahli Alkitab itu.

Beberapa ahli menemukan kerangkaian-kategori yang berbeda sekali dengan apa yang ditemukan oleh ahli lain. Ada yang beranggapan bahwa memang seharusnya ada teologia Alkitabiah, hanyalah bahwa tujuan teologia tersebut adalah bukan untuk menunjuk struktur-struktur dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Pihak yang lain lagi melawan gerakan teologia Alkitabiah itu sama sekali.

c. Hasil positif yang dicapai melalui usaha itu

Namun demikian, meskipun gerakan itu tertimpa berbagai ketidak-tentuan, dan meskipun banyak usaha yang bercacat-cela dijalankan di bawah bendera gerakan itu, namun ada hasil-hasil tertentu yang berharga sekali yang telah muncul, akibat segala usaha dalam bidang teologia Alkitabiah itu.

Pada prinsipnya, kemungkinan memang ada bahwa prinsip-prinsip struktur dan keteraturan dapat ditunjuk dalam Alkitab itu sendiri, atau dalam bagian-bagian tertentu dari Alkitab. Bahkan beberapa aspek struktur dan keteraturan itu sudah diakui secara umum, walaupun dengan agak samar juga. Alkitab itu tidak merupakan lautan yang tidak pernah disurvai; dan bukan suatu padang belantara tanpa jalan sama sekali, sehingga baru dapat dipetakan kalau ahli teologia sudah sampai, lengkap dengan pedoman dan alat-alat pengukurnya! Meskipun para ahli teologia cenderung kepada pendapat bahwa Alkitab tak dapat bermakna sebelum teologia dikenakan kepadanya, namun dipandang dari perspektif ahli arkeologi atau ahli dunia Asia Barat Daya Kuna, Perjanjian Lama tidak kelihatan begitu chaotis (kacau). Dan konsep-konsep yang merupakan sarana dalam penafsiran Alkitab, dapat ditunjuk juga, seperti halnya dalam bidang-bidang yang lain, --misalnya Islamologi, atau penyelidikan terhadap naskah-naskah agama Zoroaster.

Jadi sebagai kesimpulan, dapat dikatakan bahwa penyelidikan teologia Perjanjian Lama atau teologia Perjanjian Baru berguna sekali dalam mempersiapkan pemetaan struktur-struktur dan garis-garis-penentu dalam Alkitab. Maka oleh karena itu, sebaiknyalah ilmu teologia, dalam tugasnya menyeleksikan dan mengatur bahan Alkitab itu, memanfaatkan hasil teologia Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Memang itulah yang lazimnya terjadi sekarang. Jadi di sini saya hanya mencatat sesuatu yang sudah nampak, tetapi yang mudah dilupakan, mengingat kesulitan-kesulitan yang sedang menimpa teologia Alkitabiah.

5. Pengutamaan tema-tema tertentu dalam Alkitab

Menurut kecenderungan yang paling biasa, ada bagian-bagian tertentu atau tema-tema tertentu di dalam Alkitab yang diberi prioritas. Misalnya Calvinisme tradisional mengutamakan tema "pemilihan"; Lutheranisme tradisional mengutamakan prinsip "pembenaran karena iman." Maka sejajar dengan pengutamaan tema-tema tersebut, nampaklah juga suatu pemusatan perhatian kepada surat-surat Paulus (dengan perhatian utama kepada surat Galatia atau surat Roma). Suatu teologia yang lebih bersifat kosmis, mungkin akan menonjolkan tulisan-tulisan Yohanes atau Surat Kolose. Dalam keadaan-keadaan ekstrim, penentuan prioritas-prioritas yang demikian kadang-kadang membangkitkan suatu rasa antipati terhadap kitab-kitab tertentu dalam Alkitab, yang kecenderungan teologisnya bertentangan dengan tema yang diutamakan itu. Misalnya Surat Yakobus atau Surat Ibrani dapat menjadi tergeser demikian. Teologia "liberal" pada masa jayanya sering memperlihatkan suatu kecenderungan yang kuat pada Injil-injil Sinoptis, atau bagian-bagian tertentu dari Injil-injil itu, dan sejajar dengan itu suatu peremehan terhadap surat-surat Paulus.

6. "Kanon-inti" dan "bahan-inti"

a. Pendefinisian istilah-istilah

Memang dapat disetujui bahwa pengaturan dan penyeleksian terjadi, dan bahwa proses demikian wajar dan agak perlu. Jadi apalagi yang dapat dikatakan mengenai hal ini? Kadang-kadang ada yang berbicara tentang "suatu kanon di dalam kanon." Tetapi pengistilahan semacam itu menciptakan kesan negatif, seolah-olah menghina teologia yang digambarkan dengan istilah itu. Karena kata "kanon" menggambarkan sesuatu yang bersifat lahiriah-umum, yang sudah ditetapkan oleh instansi-instansi gerejawi, sesuatu yang formal, dan yang agak bersifat seperti daftar.

Ada juga usaha untuk mendapat "bahan-inti" dalam Alkitab. Namun ada perbedaan antara "kanon di dalam kanon" dengan "bahan-inti" itu. Istilah-istilah seperti "kanon di dalam kanon" atau "inti kanon" atau "kanon aktual," dalam kontras dengan "kanon formal," dipakai untuk menunjuk suatu bagian Alkitab, suatu kelompok tulisan-tulisan, atau suatu kelompok unsur-unsur di dalam tulisan-tulisan itu, yang mendapat tempat utama. Sedangkan istilah seperti "bahan-inti" tidak langsung menunjuk kepada suatu kelompok tulisan, melainkan kepada suatu "realita-inti" yang mengkaitkan serta mempersatukan semua tulisan-tulisan dalam Alkitab. Dengan demikian status utama itu tidak diberikan kepada sebagian dari Alkitab, melainkan kepada sesuatu yang terletak di belakang Alkitab dan yang menjadi bahan-inti atau hakekat-pokok Alkitab. Contoh-contohnya ialah "kebangkitan" atau "pembenaran karena iman." -- Sesuatu yang dapat dianggap tema utama, dan dengan demikian dilihat sebagai faktor penyusun atau faktor pengatur, yang mempersatukan semua unsur-unsur sekunder. Tetapi perbedaan antara konsep "bahan-inti" dan konsep "kanon di dalam kanon" tidak begitu mutlak. Karena dalam menggunakan istilah "realita-inti" itu, biasanya para ahli menunjukkan justru suatu perikop atau kelompok perikop yang sungguh mencerminkan dan mencakup "realita-inti" itu. Jadi dengan demikian kita sudah kembali, dengan cara tak langsung, kepada konsep "kanon di dalam kanon."

b. Keberatan-keberatan terhadap konsep-konsep tersebut

i."Tema-tema inti" tak boleh diutamakan secara permanen

Dalam diskusinya tentang istilah-istilah demikian, laporan Louvain 197129 berkata sbb.:

"Memang benar bahwa interpretasi-interpretasi yang termuat dalam Alkitab tidak semuanya senilai. Namun istilah-istilah seperti "kanon di dalam kanon' memberi kesan bahwa kita dapat menentukan perbedaan-perbedaan nilai itu secara permanen. Istilah-istilah seperti 'kanon di dalam kanon' dan 'bahan inti' terlalu mudah ditafsirkan dalam arti statis. Maka tak bolehlah suatu kelompok tulisan-tulisan inti, atau rumusan-rumusan inti dalam Alkitab dianggap memiliki kewibawaan permanen sedemikian rupa, sehingga bahan-bahan lain dalam Alkitab harus diinterpretasikan berdasarkan bahan inti itu."

Apakah artinya uraian Louvain ini?

ia. Dalam menolak suatu konsep yang "statis" dan "permanen" itu, mungkin Louvain 1971 hanya bermaksud mengelakkan pengabadian keputusan yang keliru. Maksudnya, bahan tertentu mungkin kelihatan kepada kita sekarang sebagai bahan inti, tetapi kemudian setelah proses penyelidikan berjalan lebih jauh, kita menjadi sadar bahwa sebenarnya bahan itu tidak merupakan suatu "inti." Sedangkan kalau bahan tersebut sudah terlanjur diakui secara resmi sebagai "inti Alkitab" yang sebenarnya, maka usaha untuk menggesernya kembali dari tempat-utamanya itu, serta menggantinya dengan sesuatu yang baru dirasakan sebagai inti yang sebenarnya, menjadi sulit sekali.

ib. Akan tetapi ada beberapa ahli yang mungkin ingin maju lebih jauh lagi, yaitu dengan mempertahankan pendapat bahwa inti Alkitab itu sungguh-sungguh bergeser, sesuai dengan situasi yang berubah. Misalnya, mereka berkata bahwa pada jaman Luther "pembenaran karena iman" memanglah merupakan inti Alkitab: tetapi untuk situasi kita pada masa kini, suatu inti baru haruslah didapat.

ic. Rumusan Louvain itu mungkin berarti bahwa segala usaha untuk menunjukkan suatu bahan-inti dalam arti seperti itu haruslah ditentang: paling-paling kita boleh menentukan bagian-inti Alkitab itu secara sementara, secara flexibel, dan bahkan sebagai seleksi pribadi saja. Dengan pendapat terakhir ini saya sebenarnya setuju

ii. "Tema-tema inti" tak boleh dikecualikan dari penyorotan kritis

Menurut pendapat saya, ada suatu keberatan yang lebih besar terhadap usaha menunjukkan suatu "kanon di dalam kanon" atau "bahan-inti." Bahaya yang besar itu bukanlah bahwa dengan demikian bagian-bagian lain dari Alkitab turun derajatnya, melainkan sebaliknya bahwa penyeleksian itu terlampau meningkatkan derajat bagian-bagian yang terpilih sebagai inti. Unsur-unsur yang terpilih itu dimutlakkan, sehingga tak dapat dikritik atau dianalisa lagi. Akibat yang demikian itu perlu ditolak, karena tidak ada unsur di dalam Alkitab, baik bagian atau kitab atau peristiwa atau jaringan eksistensi-eksistensi teologis tertentu, yang dapat begitu ditingkatkan derajatnya, sehingga tidak boleh dipertimbangkan atau dianalisa lagi secara kritis. Jadi bahaya yang mengancam, kalau kita berbicara tentang "kanon di dalam kanon" atau tentang "bahan-inti" Alkitab, bukanlah bahwa kanon-inti itu dipakai untuk mengukur sah-tidaknya bagian-bagian lain dari Alkitab, melainkan bahwa kanon-inti itu sendiri dianggap bebas dari segala kemungkinan pengkritikan teologis.

7. "Titik-titik penyambung"

a. "Titik-titik penyambung" boleh bersifat Alkitabiah atau nonAlkitabiah

Namun demikian, patut kita akui (seperti Louvain 1971) bahwa memang ada beberapa "titik-hubungan" atau "titik-penyambung" dalam teologia, misalnya: konsep-konsep seperti cinta kasih Allah atau kebangkitan Kristus. Pokok-pokok ini menjadi fokus-fokus, sehingga rumusan-rumusan lain dalam Alkitab diatur sekitar pokok-pokok tersebut, dan bergantung kepadanya. Tetapi masih tinggal persoalan-persoalan yang belum terpecahkan, sekalipun titik-titik-penyambung itu sudah ditunjuk. Soal jenis teologia yang akan disusun adalah sangat berpengaruh dalam hal ini. Sebagian dari bahan mentah yang dimanfaatkan teologia itu bersifat Alkitabiah sungguh, sedangkan bahan-bahan lain tidak begitu Alkitabiah. Mengenai bahan Alkitabiah itu, mungkin tidak terlalu sulit untuk menunjukkan titik-titik-penyambung itu; misalnya, hampir semua orang setuju bahwa cintakasih Allah, atau kebangkitan Kristus, merupakan titik-titik-penyambung dalam Perjanjian Baru. (Titik-titik penyambung dalam Perjanjian Lama masih harus dicari). Tetapi suatu teologia tertentu mungkin mempunyai titik-titik-penyambung yang hanya sedikit saja disinggung dalam Alkitab; misalnya, prinsip tentang ada-tidaknya unsur teologia alamiah, atau "metoda korelasi" yang dipakai Tillich. Fokus-soal-soal teologis semacam itu sangat berpengaruh dalam tugas pengaturan bahan Alkitabiah, sekalipun fokus-soal tersebut tidak nampak dengan jelas sebagai titik-penyambung dalam nats Alkitab sendiri.

b. Adanya "Titik-titik penyambung" tidak menghambat proses penyeleksian dan pengaturan

Dalam hal-hal seperti ini, apabila metoda penyeleksian dan pengaturan yang dipakai itu tergantung kepada penyusun teologia yang bersangkutan, maka sepatutnyalah penyusun itu diberi kebebasan penuh dalam mengembangkan daya-cipta dan originalitas yang ada padanya. Menurut pola-kerja teologia modern, tidak ada "sumber kewibawaan" yang menentukan secara "a priori" metoda penyeleksian yang wajib atau yang terlarang dipakai. -- Yang menentukan dan yang menilai ialah mufakat yang tercapai, setelah hasil-hasil konkrit dari teologia tersebut didiskusikan dan dipertimbangkan. Forum diskusi yang memberikan penilaian itu harus mendapat keleluasaan bekerja, dan keterangan-keterangan yang cukup lengkap. Harus ada juga kontak pribadi antara para penganut pendapat-pendapat yang bertentangan, kesempatan harus cukup untuk menguraikan pendapat-pendapat yang bertentangan, dan sarana-sarana untuk mengedarkan pendapat-pendapat itu secara luas. Termasuk tugas (dan hasil) gerakan oikumene, bahwa konteks untuk diskusi yang luas itu dapat disediakan.

8. Pengaruh kritik-historis terhadap proses penyeleksian

a. Kemajemukan lapis-lapis bahan Alkitabiah

Teknik kritik-historis modern telah membawa suatu dimensi baru ke dalam soal penyeleksian ini. Dulu soal-soal penyeleksian dan pengaturan ini menyangkut bentuk-lahiriah Alkitab, misalnya, pemilihan antara Paulus atau Yakobus. Tetapi sekarang kita disuruh memilih antara berbagai lapis atau edisi bahan itu. Misalnya, suatu perikop seperti berita taman Eden (Kejadian: 2,3) meliputi beberapa tahap, seperti yang berikut:

i. Suatu dongeng-asli yang barangkali bersifat pra-Israeli atau prahistoris;

ii. Cerita itu sebagai unit tersendiri dalam tradisi rakyat Israel;

iii. Cerita itu sebagai unsur riwayat sumber Y dalam Panca Jilid (Pentateuch);

iv. Cerita itu, sesudah bergabung dengan sumber P, dalam peredaksian Panca Jilid yang terakhir;

v. Cerita, sebagaimana dibaca dan dimengerti oleh orang-orang Israel pada tahap-tahap terakhir dalam periode Perjanjian Lama.

b. Penafsiran lapis-lapis tersebut

Mengingat bahwa cerita itu pada tiap-tiap tahap, ditempatkan dalam konteks yang makin luas, maka maknanya tentulah berbeda-beda pada tiap tahap. Jadi mungkin timbul pertanyaan: tahap yang manakah yang definitif untuk penafsir yang hendak menyusun suatu teologia? Pertanyaan itu langsung terjawab: Karena ide bahwa hanya ada satu dari sekian tahap yang dapat menentukan secara teologis, berlawanan dengan segala sesuatu yang saya uraikan selama buku ini. Pada prinsipnya, sebagai bahan penafsiran si penafsir berhak mengambil tahap yang mana saya (atau bahkan semuanya sekaligus). Hanya ada satu tahap yang barangkali harus dikecualikan; yaitu unsur-unsur cerita dan legenda yang diambil-alih dari sumber kafir (yang bukan-Israel) dan pra-Israeli. Pada tahap itu bahannya mungkin politheistis. Memang bahan itu relevan dalam usaha menjelaskan makna nats-nats, tetapi tidak merupakan tahap dalam pengalaman dan tradisi Israel sendiri.

c. Keutamaan teks-definitif

Akan tetapi, meskipun pada prinsipnya tiap-tiap tahap tradisi itu relevan, namun unit-unit kesusasteraan dalam bentuknya yang terakhir, patutlah dianggap sebagai bentuk-dasar. Dari segi-segi praktisnya saja, inilah tahap yang biasanya berada secara obyektif dalam jangkauan kita sekalian. Tahap-tahap yang lain itu bergantung kepada rekonstruksi historis. Ditinjau dari segi apresiasi kesusasteraan modern juga, bentuk-nats yang terakhir adalah bentuk yang terpenting. Dan prinsip ini agaknya akan diterima secara lebih luas lagi, akibat pengaruh kritik peredaksian (redaction criticism) dan strukturalisme. Nats dalam bentuknya yang terakhir itu, ditinjau dari segi tradisi, merupakan bentuk definitif. Karena pada tahap itu tradisi tidak lagi mengubah nats, melainkan memutuskan bahwa nats itu sudah jadi. Maka dengan demikian motivasi teologis, yang mengembangkan tradisi itu, sepakat dengan teknik-teknik penyelidikan modern. Kedua-duanya setuju bahwa bentuk terakhir nats patutlah dianggap sebagai bentuk dasarnya.

Di atas ini saja mengambil contoh Perjanjian Lama tentang lapis-lapis nats. Rentetan-rentetan yang serupa terdapat juga misalnya dalam cerita-cerita Tuhan Yesus. Corak-corak berfungsinya cerita-cerita itu berbeda-beda menurut tahap-tahap perkembangan tradisi:

i. tradisi lisan;

ii. cerita menurut sumber "Q" atau Markus;

iii. fungsi ceritera dalam Injil Matius atau Lukas.

9. Nisbah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru

a. Kecenderungan modern untuk menurunkan derajat Perjanjian Lama

Di antara begitu banyak persoalan berkenaan dengan penyeleksian dan pengaturan bahan di segenap kerangkaian skriptura, ada satu perkara yang menonjol sebagai pokok yang penting sekali, yaitu nisbah antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Konsep tradisional yang menganggap segala bahan Alkitab senilai dan sama berat, antara lain memberi kedudukan yang kokoh kepada Perjanjian Lama. Demikian juga halnya (dalam batas-batas tertentu) dengan gerakan neo-orthodox, yang menekankan kembali kewibawaan Alkitab, dan yang begitu menonJolkan peranan pemikiran Ibrani. Tetapi belakangan ini pemikiran yang bebas dan radikal tentang kewibawaan Alkitab telah disertai (bukan secara prinsip tentunya, melainkan secara kenyataan) suatu keragu-raguan tentang nilai dan pentingnya Perjanjian Lama. Dengan menerima prinsip bahwa teologia harus memakai suatu proses penyeleksian dan pengaturan terhadap bahan Alkitab, maka kita membuka pintu terhadap kemungkinan bahwa derajat Perjanjian Lama akan diturunkan, dibandingkan dengan Perjanjian Baru. Akan tetapi dalam hal ini patut diingat pertama-tama bahwa persoalan ini bukanlah suatu persoalan modern, yang baru timbul sebagai akibat sikap-sikap yang bebas dan radikal terhadap Alkitab. Unsur penyeleksian dan pengaturan kritis dalam pemakaian Perjanjian Lama memanglah nampak dalam agama Kristen sejak semula. Kecenderungan itu nampak dalam dokumen-dokumen Perjanjian Baru, dan pernah diakui, bahkan oleh kaum konservatif sekali. Misalnya, ada yang beranggapan bahwa wanita haras menutupi kepala bilamana mengikuti kebaktian, karena hal itu diperintahkan dalam Alkitab; namun orang konservatif demikian tidak merasa wajib mentaati segenap Tora Musa, walaupun Tora itu juga diperintahkan di dalam Alkitab. Paling-paling mereka mentaati suatu seleksi tuntutan-tuntutan hukum Tora itu. Bahkan segala pemakaian Perjanjian Lama di gereja menjadi agak tidak langsung; karena memang nisbah antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru bersifat dialektik.

b. Kaitan kecenderungan tersebut dengan sikap "fundamentalis"

Jadi di sini kita menghadapi suatu paradox. Kaum konservatif di gereja yang beranggapan bahwa Perjanjian Lama senilai dengan Perjanjian Baru sebagai wadah kewibawaan, terpaksa menjalankan semacam penyeleksian dalam menangani Perjanjian Lama, padahal penyeleksian itu bertentangan dengan prinsip-prinsip mereka sendiri. Sebaliknya, argumen-argumen radikal yang melawan Perjanjian Lama biasanya mengutip contoh-contoh tentang nilai-moral yang rendah dalam Perjanjian Lama, --pembasmian kaum Kanani, Mazmur kutukan-- padahal keberatan-keberatan mereka itu hanyalah berarti berdasarkan pola penafsiran dan penerapan Perjanjian Lama secara langsung, bahkan secara fundamentalis. Keberatan-keberatan tersebut agaknya diajukan berdasarkan asumsi bahwa bahan-bahan yang dibaca dalam Alkitab disengaja sebagai teladan unizzersal. Itu berarti bahwa orang Kristen modern yang membacanya, diajak bersukaria atas dibasminya kaum Kanani, atau disuruh menilai-positif peristiwa pelontaran anak-anak bayi dari benteng-benteng kota. Akan tetapi pada masa kini tidak ada orang yang sungguh-sungguh berasumsi demikian. Keberatan-keberatan moral yang dirasakan pembaca modern memang wajar. Tetapi penilaian-moral itu barulah berguna kalau dibuat berdasarkan suatu penelitian latar-belakang cerita-cerita dan puisi-puisi Perjanjian Lama, termasuk: sosiologi periode itu; soal historisitas-tidaknya cerita-cerita itu; sebab-sebabnya cerita-cerita tersebut disusun dalam bentuknya yang konkrit; dan argumen-argumen teologis di dalam tradisi Israel yang didukung nats-nats tersebut. Barulah setelah penyelidikan yang demikian, dapat kita pertimbangkan respons yang patut diberikan oleh pembaca modern --suatu respons yang kompleks dan yang mungkin lain dari pada yang diduga semula. Namun saya setuju dengan pendapat bahwa perikop-perikop sejenis itu sebaiknyalah jangan dipakai sebagai bahan liturgis atau nyanyian jemaat. Karena kalau dipakai dalam suasana perayaan liturgis tanpa uraian dan penafsiran yang teliti, memanglah kesannya negatif.

c. Pada prinsipnya, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sederajat, dan berdiri sendiri-sendiri

Kita kembali kepada pokok yang lebih umum. Saya sudah menerbitkan buku, Old and New in Interpretation, yang menyinggung nisbah antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, maka bahan itu tidak usah saya ulangi di sini. Tetapi dalam diskusi saya ini, pendapat-pokok yang ingin saya pertahankan ialah sebagai berikut: Iman-kepercayaan Kristen berdiri seimbang atas dasar Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, atau lebih tepat lagi, atas dasar Allahnya orang Israel dan Yesus dari Nazaret. Dalam arti demikian, kedudukan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru pada prinsipnya adalah kurang lebih sama. Dan patut ditambahkan bahwa kedua-duanya relatif berdiri sendiri. Ketersendirian itu berdasarkan fakta bahwa peristiwa yang terjadi dalam kedatangan Yesus Kristus adalah merupakan peristiwa yang unik. Jadi kalau memang ada suatu proses penyeleksian dan pengaturan di dalam Alkitab, proses itu berlangsung dalam Perjanjian Lama sendiri maupun dalam Perjanjian Baru sendiri. Tetapi keterpisahan dan ketidak-samaan antara kedua Perjanjian itu berlaku sedemikian, hingga usaha untuk menempatkan bahan Perjanjian Lama pada taraf yang rendah dan bahan Perjanjian Baru pada taraf yang lebih tinggi, tidaklah bermakna. Jikalau kita mengambil langkah lebih jauh lagi, serta memutuskan bahwa pada prinsipnya derajat Perjanjian Lama lebih rendah dari pada Perjanjian Baru, atau bahkan menganggap bahwa Perjanjian Lama hanya bersifat prolegomena historis terhadap Perjanjian Baru, maka akibat dari keputusan yang demikian itu ialah bahwa kita beralih kepada suatu pengertian yang lain sama sekali tentang arti agama Kristen. Akan tetapi kecenderungan untuk menurunkan derajat Perjanjian Lama itu tidaklah dapat dicegah pada masa kini dengan memakai konsep kewibawaan. Jalan yang harus kita pakai ialah suatu penyelidikan kritis terhadap teologia yang dihasilkan pandangan yang begitu menurunkan status Perjanjian Lama itu.

d. Perbedaan fungsi antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru

Namun fungsi bahan-bahan Perjanjian Lama dalam proses berteologia Kristen itu agaknya lain, dibandingkan dengan fungsi bahan-bahan Perjanjian Baru. Pertimbangan-pertimbangan yang relevan pada pokok ini ialah sebagai berikut:

i. Latar belakang-sosiologis Perjanjian Lama, yaitu sebagai dokumen kebangsaan, dapat dibedakan dengan cukup jelas dari latar belakang Perjanjian Baru.

ii. Perjanjian Baru memanglah mengikuti Perjanjian Lama; sehingga dari segi tertentu Perjanjian Baru meliputi bahan Perjanjian Lama. Teologia yang terkandung dalam Perjanjian Baru itu menyoroti dan menafsirkan serta merumuskan-ulang bahan-bahan Perjanjian Lama. Itu berarti bahwa teologia yang terkandung dalam Perjanjian Baru itu menghasilkan suatu "pandangan dwi-perjanjian" yang tidak ada dalam Perjanjian Lama.

iii. Hal itu berarti bahwa sebagian besar dari teologia yang terumus dalam Perjanjian Baru dapat dimanfaatkan lebih langsung dalam kerangkaian keseluruhan teologia Kristen, dibandingkan dengan bahan Perjanjian Lama itu.

c. "Allahnya Israel" dan "Yesus dari Nazaret"

Sebagai kesimpulan, dapat digariskan dua alternatif:

i. Bahwa Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru adalah senilai derajatnya, dan statusnya berdiri sendiri. Atau,

ii. Perjanjian Lama hanya mendapat status dalam agama Kristen melalui hubungannya dengan Perjanjian Baru. Pendapat saya ialah bahwa kedua perjanjian itu berdiri sendiri-sendiri dalam rangka agama Kristen. Karena iman Kristen bersandar pada Allahnya orang Israel dan Yesus dari Nazaret. Mungkin dijawab bahwa bagi orang Kristen, Yesus itu merupakan puncak dan titik definitif dalam proses penyataan, sehingga Perjanjian Baru yang menyaksikan (bersaksi tentang) Dia pastilah berstatus lebih tinggi. Tetapi jawaban itu dapat diimbangi dengan catatan bahwa Yesus sendiri takluk kepada Allahnya Israel; sehingga ditinjau dari segi itu Perjanjian Lama boleh dianggap berstatus lebih tinggi. Bahwa Perjanjian Lama berfungsi secara tidak langsung dalam proses berteologia, belumlah tentu berarti bahwa dalam hal status, Perjanjian Lama bergantung kepada Perjanjian Baru.

f. Apakah sepatutnya riwayat Yesus dihisabkan kepada Perjanjian Baru atau kepada Perjanjian Lama?

Dan sebagai catatan terakhir: ada suatu pendapat modern yang (kalau diterima) akan memaksa kita meninjau-kembali pandangan yang digariskan di atas, tentang keseimbangan-status antara kedua Perjanjian itu. Pendapat tersebut ialah bahwa hidup dan pengajaran Tuhan Yesus, walaupun sekarang termuat dalam Perjanjian Baru sebenarnyalah lebih tepat ditempatkan dalam kerangkaian Israel dari pada dalam kerangkaian gereja. Itu berarti, bahwa kalau kita menggunakan istilah-istilah tradisional, sepatutnyalah riwayat pelayanan Yesus itu dimuat dalam Perjanjian Lama, bukan dalam Perjanjian Baru. Usul ini tak akan saya perkembangkan di sini.

Berdasarkan posisi umum yang diambil dalam buku ini, agaknya jelaslah bahwa rumusan-rumusan tradisional tentang isi dan batas-batas kanon tidaklah mutlak. Kitab-kitab kanonik itu sendiri berakar dalam tradisi-tradisi lisan, dan tradisi-tradisi lisan itu merupakan bagian dari kontinuum-kontinuum yang lebih flexibel, dibandingkan dengan penggarisan batas-batas kitab-kitab dan bagian-bagian kanon yang tradisional.

(sebelum, sesudah)


Alkitab di Dunia Modern (The Bible in the Modern World) Prof. James Barr Terjemahan Dr. I.J. Cairns BPK/8331086/7 Penerbit BPK Gunung Mulia, 1979 Kwitang 22, Jakarta Pusat  

| Indeks Artikel | Tentang Penulis

Islamic Media Ibnuisa
Kritik & Saran
Counter
INDEX UTAMA