BAB II
MEMAHAMI RAHASIA AL-QURAN
Pengertian Muhkam dan Mutasyabih
menurut Para Mufasir dan Ulama
Para ulama banyak berbeda pendapat tentang pengertian
muhkam dan
mutasyabih.
Barangkali, dalam hubungan ini, terdapat dua puluh pendapat
mengenai kedua hal itu. Pendapat yang lazim dan andal (sahih)
sejak awal Islam sampai pada masa kita sekarang ini ialah:
Pertama,
ayat muhkam
adalah ayat yang maksudnya jelas, tidak ada ruang bagi
kekeliruan. Oleh karena itu, ayat-ayat seperti ini wajib diimani
dan diamalkan.
Kedua,
ayat mutasyabih
adalah ayat yang makna lahirnya bukanlah yang
dimaksudkannya, sedangkan makna hakikinya, yang merupakan
takwilnya, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah. Oleh
karena itu, ayat-ayat seperti ini wajib diimani tetapi tidak
wajib diamalkan.
Inilah pendapat-pendapat di kalangan saudara-saudara kami, ulama
Ahlus Sunnah, dan di kalangan ulama Syi'ah. Hanya saja ulama
Syi'ah percaya bahwa Nabi dan para Imam Ahlul Baitnya mengetahui
takwil ayat-ayat
mutasyabih, sedangkan pada umumnya kaum Muslimin,
karena tidak mempunyai jalan untuk mengetahuinya, merujuk
kepada Allah, Rasulullah dan para Imam.
Pendapat ini, walaupun dianut oleh sebagian besar para mufasir,
tidak sesuai dengan firman Allah:
"Dialah yang telah menurunkan Al-Quran kepadamu. Di antaranya
ada ayat-ayat yang
muhkam. ...." (QS 3:7)
dan tidak sesuai pula dengan yang ditunjukkan oleh ayat-ayat
yang lain, karena:
Pertama,
kita tidak mengetahui ayat-ayat Al-Quran yang kita tidak
menemukan jalan untuk mengetahui maksudnya. Al-Quran sendiri
menyifati dirinya sendiri dengan sifat-sifat seperti cahaya,
penunjuk dan penjelas. Sifat-sifat ini tidak sesuai dengan tidak
dapat diketahuinya makna dan maksud Al-Quran.
"Tidakkah mereka itu merenungkan Al-Quran? Seandainya Al-Quran
itu dari sisi selain Allah, maka mereka akan menemukan banyak
pertentangan di dalamnya. "
(QS 4:82)
Bagaimana perenungan terhadap Al-Quran bisa menghilangkan semua
pertentangan, bila di dalamnya terdapat ayat-ayat
mutasyabih yang
tidak mungkin diketahui maknanya, seperti dinyatakan oleh
pendapat yang telah kami kutip tadi?
Bisa dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat-ayat
mutasyabih adalah
huruf-huruf sebagaimana terdapat dalam permulaan
beberapa surat, seperti
(alif-lam-mim),
(alif-lam-ra),
(ha-mim)
dan
lain-lain, karena makna hakiki huruf-huruf ini tidak diketahui.
Mesti diingat bahwa dalam ayat di atas, ayat
mutasyabih
digunakan bertentangan dengan ayat
muhkam, sehingga maksud ayat
mutasyabih
ditunjukkan oleh kata-katanya, meskipun maksud yang ditunjukkan
oleh kata-kata lahirnya bisa sama dengan maksud yang hakiki.
Sedangkan maksud ayat-ayat itu tidaklah demikian.
Di
samping itu, ayat ini tampaknya menunjukkan bahwa sekelompok
orang yang sesat berusaha menyesatkan dan memfitnah orang
dengan menggunakan ayat-ayat
mutasyabih.
Padahal belum pernah terdengar adanya orang di kalangan kaum
Muslimin yang melakukan penakwilan seperti itu terhadap
singkatan-singkatan tersebut. Dan orang-orang yang berbuat
demikian telah berbuat seperti itu terhadap semua ayat
mutasyabih, bukan
hanya terhadap singkatan-singkatan ini saja. Sebagian ulama
berkata bahwa ayat itu mengisyaratkan sebuah kisah tentang usaha
orangorang Yahudi untuk mengetahui masa hidup Islam melalui
singkatan-singkatan itu, tetapi Rasulullah s.a.w. membaca
singkatansingkatan satu demi satu untuk membantah persangkaan
mereka itu.1)
Pernyataan ini tidak benar, karena kisah itu, seandainya benar,
menunjukkan bahwa usaha orang-orang Yahudi itu telah dijawab
seketika oleh Rasulullah. Kejadian ini tidak sepenting itu
sehingga turun ayat
mutasyabih. Alasan ini diperkuat dengan kenyataan
bahwa kata-kata orang Yahudi itu tidak mengandung fitnah. Sebab
suatu agama, jika memang benar, tidak akan terpengaruh
(terhapus) oleh masa. Hal ini tampak pada agama-agama yang benar
sebelum Islam.
Kedua,
akibat dari pendapat ini adalah bahwa arti kata 'takwil' dalam
ayat itu adalah 'maksud yang berbeda dengan makna lahir'.
Pengertian 'takwil' semacam ini hanya terbatas pada ayat-ayat
mutasyabih. Pengertian ini tidak benar, dan dalam pembahasan
tentang 'takwil' dan 'tanzil', selain dijelaskan bahwa dalam
kebiasaan Al-Quran 'takwil' bukanlah berarti 'maksud'
bahasanya, juga dijelaskan bahwa semua ayat
muhkam dan mutasyabih
mempunyai takwil.
Ketiga,
ayat
tersebut menggambarkan ayat-ayat
muhkam sebagai
induk Al-Quran. Hal ini berarti bahwa ayat
muhkam mengandung
pokok-pokok masalah yang terdapat dalam Al-Quran, sedangkan
ayat-ayat lain merincinya. Akibatnya adalah, untuk mengetahui
maksudnya, ayat-ayat
mutasyabih harus dirujukkan kepada ayat-ayat
muhkam.
Berdasarkan hal itu, maka tidak ada satu ayat pun dalam AlQuran
yang tidak mungkin diketahui maknanya. Ayat-ayat AlQuran itu
muhkam secara
langsung dan tak langsung, seperti ayat ayat
mutasyabih. Adapun
maksud singkatan-singkatan di permulaan beberapa surat tidaklah
ditunjukkan oleh kata-katanya, sehingga ia tidak termasuk
muhkam dan
mutasyabih.
Yang
kami katakan ini dapat diketahui dari firman Allah:
"Tidakkah mereka rnerenungkan Al-Quran, ataukah hati mereka itu
tertutup?"
(QS
47:24)
"Tidakkah mereka merenungkan Al-Quran? Seandainya Al-Quran. itu
bukan dari sisi Allah, maka mereka akan menemukan banyak
pertentangan di dalamnya. "
(QS
4:82)
1).
Lihat
Tafsir a!-'Iyasyi
I, hl. 26. Tafsir al-Qummi
pada penafsiran awal surat alBaqarah. Dan
Nuruts
Tsaqalain,
I, h. 22.
|
|