BAB II
MEMAHAMI RAHASIA AL-QURAN
Bagaimana Menafsirkan
Al-Quran?
Jawaban untuk pertanyaan ini akan menjadi jelas bila kita
merujuk kepada pembahasan-pembahasan sebelumnya. Al-Quran -
seperti telah kami paparkan di atas - adalah sebuah kitab
universal dan abadi untuk semua orang, berbicara kepada mereka
dan menunjukkan tujuan-tujuan mereka. Dalam banyak ayatnya,
Al-Quran menantang agar didatangkan perkataan yang menyamainya.
Dengan demikian ia mengalahkan pemyataan manusia, dan
menempatkan dirinya sebagai cahaya yang memperjelas segala
sesuatu, sehingga kitab ini tidak perlu dijelaskan dengan yang
lain. Untuk membuktikan bahwa ia bukan perkataan manusia,
AlQuran berkata:
"Tidakkah mereka merenungkan Al-Quran? Seandainya ia itu dari
sisi selain Allah, tentu mereka akan menemukan banyak
pertentangan di dalamnya."
(QS 4:82)
Dalam Al-Quran tidak ada satu pertentangan pun. Andaikata secara
selintas tampak ada pertentangan, maka pertentangan itu akan
sirna dengan merenungkan Al-Quran itu sendiri. Seandainya dalam
menjelaskan maksud-maksud kitab ini dibutuhkan sesuatu yang
lain, maka kedudukannya sebagai hujah tidak akan sempurna.
Karena andaikata seorang kafir menemukan suatu pertentangan
dalam Al-Quran yang tidak dapat dihilangkan dengan merujuk
kepada ayat-ayat lain Al-Quran itu sendiri, maka ia tidak akan
dapat menerima dihilangkannya pertentangan itu melalui jalan
lain, dengan menggunakan hadis, umpamanya. Hal itu dikarenakan
orang kafir tidak mempercayai kebenaran Nabi dan tidak
mempercayai kenabian serta kesuciannya, sehingga ia akan
menolak pernyataan Nabi. Dengan kata lain, akan sia-sia bila
Nabi menjelaskan untuk menghilangkan pertentangan-pertentangan
dalam AI-Quran tanpa menggunakan bukti verbal dari Al-Quran itu
sendiri kepada orang yang tidak mempercayai kenabian dan
kesuciannya. Dan ayat di atas memang ditujukan kepada
orang-orang kafir yang tidak beriman kepada Nabi Muhammad s.a.w.
Mereka tidak mau menerima sabda-sabda beliau jika tidak ada
bukti kuat dari Al-Quran sendiri. Kita pun mengetahui bahwa Al-Quran
sendiri mengabsahkan sabda dan penafsiran Nabi. Begitu pula,
Nabi mengabsahkan sabda dan penafsiran Ahlul Baitnya.
Dari
dua pernyataan ini dapat kami simpulkan bahwa di dalam AI-Quran
ada sebagian ayat yang dapat dijelaskan dengan ayatayat yang
lain, dan kedudukan Rasulullah serta keluarga beliau berkenaan
dengan Al-Quran adalah sebagai guru dan pembimbing suci yang
tidak akan ada kekeliruan atau kesalahan dalam ajaranajaran dan
petunjuk-petunjuk mereka. Oleh karena itu, penafsiran mereka
adalah sesuai dengan penafsiran yang dibuat dari memadukan
ayat-ayat Al-Quran itu sendiri.
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat kita peroleh dalam pembahasan yang lalu
adalah bahwa penafsiran yang realistis terhadap Al-Quran
merupakan penafsiran yang bersumber dari perenungan terhadap
ayat-ayat Al-Quran dan pemaduan sebagiannya dengan sebagian yang
lain. Lebih jelasnya, dalam menafsirkan Al-Quran, kita dapat
menempuh salah satu dari tiga jalan berikut:
-
Menafsirkan suatu ayat dengan bantuan data ilmiah atau
nonilmiah yang kita miliki.
-
Menafsirkan suatu ayat dengan bantuan hadis-hadis yang
diriwayatkan dari Imam-imam suci.
-
Menafsirkan suatu ayat dengan jalan merenungkan dan mengkaji
ayat itu dan ayat lain yang berkaitan, dan dengan bantuan
hadis-hadis.
Jalan ketiga adalah kesimpulan pada akhir pembahasan yang lalu.
Jalan ini diisyaratkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari
Nabi dan Ahlul-Bait beliau. Nabi bersabda:
"Sesungguhnya sebagian ayat membenarkan sebagian yang lain. "
Ali
berkata:
"Al-Quran, sebagiannya menjelaskan sebagian yang lain, dan
sebagiannya menguatkan sebagian yang lain. "
Dari
paparan di atas jelaslah bahwa jalan ini bukanlah jalan yang
dilarang dalam sebuah hadis Nabi yang terkenal:
"Barangsiapa menafsirkan Al-Quran berdasarkan pendapat
pribadinya, maka dia telah mempersiapkan tempat duduknya dari
api neraka. "
karena jalan tersebut berupa menafsirkan Al-Quran dengan
AlQuran, tidak dengan pendapat pribadi.
Jalan pertama tidak boleh diikuti. Sebab, pada hakikatnya ia
merupakan penafsiran dengan menggunakan pendapat pribadi. Adapun
jalan kedua adalah jalan yang digunakan oleh para ulama tafsir
pada periode awal, dan telah dipraktekkan selama beberapa abad.
Jalan itu adalah jalan yang dipraktekkan sampai sekarang oleh
para penulis hadis dari kalangan Syi'ah dan Ahlus Sunnah. Jalan
ini terbatas dan tidak dapat memenuhi ketidakterbatasan
kebutuhan, karena lebih dari enam ribu ayat dalam Al-Quran
menghadapi beratus-ratus ribu pertanyaan ilmiah ataupun
nonilmiah. Dari manakah kita menemukan jawaban untuk
pertanyaanpertanyaan ini, dan bagaimana menghindarinya? Apakah
kita akan mencarinya dalam riwayat-riwayat dan hadis-hadis?
Dalam hal ini, jumlah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh kalangan
Ahlus Sunnah kurang dari dua ratus lima puluh hadis. Dan banyak
dari hadishadis ini lemah sanad-nya dan sebagiannya tertolak
(munkar). Dan
hadis-hadis yang diriwayatkan oleh kalangan Syi'ah mencapai
beberapa ribu hadis. Di antaranya ada sejumlah besar hadis yang
andal (shahih).
Meskipun demikian, hadis-hadis sebanyak itu tidak mencukupi
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak terbatas tentang
ayat-ayat Al-Quran.
Di
samping itu, ada ayat-ayat yang tidak ada satu hadis pun yang
menjelaskan ayat-ayat itu, baik yang diriwayatkan oleh kalangan
Ahlus Sunnah maupun Syi'ah. Bagaimana tindakan kita terhadap
ayat-ayat tersebut? Menghadapi masalah ini, kita bisa merujuk
kepada ayat-ayat Al-Quran yang sesuai dengan ayat yang ingin
kita tafsirkan. Hal ini tidak dilarang. Mungkin kita menolak
untuk membahas ayat itu dan mengabaikan kebutuhan-kebutuhan
ilmiah yang menuntut kita untuk melakukan pembahasan. Jika
demikian, apakah yang akan kita perbuat dengan ayat-ayat berikut
yang menganjurkan pengkajian, perenungan dan pembahasan?
"Kami telah menurunkan Al-Quran kepadamu untuk menjelaskan
segala sesuatu."
(QS 16:89)
"Tidakkah mereka merenungkan Al-Quran?"
(QS 4:82)
,
"Sebuah kitab yang penuh berkah yang telah Kami turunkan
kepadamu agar mereka merenungkan ayat-ayatnya, dan orangorang
yang berakal menjadi sadar."
(QS
38:39)
"Tidakkah mereka merenungkan Al-Quran, ataukah telah datang
kepada mereka sesuatu yang tidak
datang kepada nenek moyang mereka?" (QS 23:68)
Dalam beberapa hadis sahih yang diriwayatkan dari Nabi dan para
Imam Ahlul Bait, kita dianjurkan untuk kembali kepada Al-Quran
ketika menghadapi masalah.34) Apakah yang harus kita perbuat
dengan hadis-hadis ini?
Hadis-hadis Nabi, pada umumnya, dan khususnya hadis-hadis
mutawatir Nabi dan
para Imam Ahlul Bait, telah menetapkan suatu kewajiban untuk
merujukkan hadis-hadis kepada Al-Quran.35)Yang sesuai dengan
AI-Quran, dapat diikuti dan yang tidak sesuai, dibuang.
Kandungan hadis-hadis ini dipandang benar jika maksud dan
pengertian (tafsir) ayat itu jelas. Apabila untuk mengetahui
pengertian suatu ayat, kita harus merujuk kepada hadis, maka
tidak ada ruang lagi untuk merujukkan hadis kepada Al-Quran.
Hadis-hadis yang telah kami paparkan ini merupakan bukti paling
kuat bahwa ayat-ayat Al-Quran itu seperti kata-kata berarti yang
digunakan dalam pembicaraan. Ayat-ayat itu sendiri sudah
merupakan hujah jelas yang tidak memerlukan hadis-hadis untuk
menerangkannya.
Dari
beberapa pembahasan yang lalu telah menjadi jelas bahwa
kewajiban seorang mufasir adalah memperhatikan hadis-hadis Nabi
dan para Imam Ahlul Bait dalam menafsirkan Al-Quran, dan
mengetahui metode mereka. Kemudian menafsirkan Al-Quran dengan
metode Al-Quran dan Sunnah, mengambil hadis-hadis yang sesuai
dengan Al-Quran, dan membuang yang tidak sesuai.
34). Baca bagian
awai Tafsir
al-'Iyasyi, ash-Shafr, al-Burhan dan
Biharul Anwar.
35).
Biharul Anwar,
l, h. 137.
|
|