BAB III
RAHASIA WAHYU
Wahyu dan Kenabian menurut Al-Quran
( 5 - 6 )
8. Tidak Ada Kesalahan dalam Wahyu
Dalam pembahasan yang lalu telah dikatakan bahwa bagian dari
hukum-hukum (tatanan) alam itu adalah program kehidupan sosial
manusia dalam bentuk wahyu. Dan tatanan alam ini tidak akan
pernah salah dalam tugasnya. Karena itu, rincian-rincian agama
samawi yang diajarkan kepada manusia melalui wahyu tidak akan
pernah salah di sepanjang perjalanannya. Allah berfirman:
"Yang mengetahui yang gaib, dan Dia tidak akan memperlihatkan
yang gaib itu kepada seorangpun, kecuali kepada Rasul yang
diridhai-Nya. Sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga
(malaikat) di muka dan di belakangnya, supaya Dia mengetahui
bahwa Rasul-rasul telah menyampaikan risalah-risalah Tuhan
mereka, walaupun ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan
Dia menghitung segala sesuatu satu per satu." (QS 72:26-28)
Dari
sini kita mengetahui bahwa para Nabi yang diutus oleh Allah
haruslah ma'shum,
yakni tidak salah dalam menerima atau memahami wahyu
(ajaran-ajaran Allah) dari alam atas, dan dalam memelihara serta
menyampaikan ajaran-ajaran itu. Karena mereka adalah perantara
dalam petunjuk umum yang dituju oleh manusia sesuai dengan watak
fitrah mereka, maka seandainya para Nabi salah dalam menerima
(memahami), memelihara dan menyampaikan wahyu, atau mereka
berkhianat karena godaan setan atau nafsu, atau mereka melakukan
dosa, maka akibat dari semua kesalahan ini akan tercermin pada
kesalahan hukum alam dalam melaksanakan program bimbingannya.
Tetapi hal ini tidak akan pernah terjadi. Allah berfirman:
"Adalah hak Allah untuk menunjukkan jalan yang lurus, dan ada
beberapa jalan yang bengkok. "
(QS
16:9)
9. Kita Tidak Mengetahui Hakikat Wahyu
Pembahasan-pembahasan di atas menunjukkan bahwa program
kehidupan manusia merupakan pembimbing untuk mencapai
kebahagiaannya. Tugas membimbing kepada kebahagiaan ini berada
di pundak fitrah, dan program itu tidak akan dapat dicapai dan
dilaksanakan melalui akal. Oleh karena itu, diperlukan jalan
lain selain akal, yang dengan petunjuknya manusia dapat
mengetahui kewajiban dalam hidupnya. Dan jalan lain itu adalah
wahyu.
Untuk memperoleh jalan lain (wahyu) itu diperlukan jiwa suci.
Setiap manusia berbeda-beda dalam kebersihan dan kekotoran hati.
Mesti diakui bahwa jalan lain itu hanya ada pada orang-orang
yang mencapai puncak kebersihan dan
istiqamah. Hal ini
merupakan suatu kelangkaan, dan terjadi hanya pada sebagian
kecil manusia. Oleh karena itu, kita melihat Al-Quran
menyebutkan hanya sekelompok kecil manusia sebagai Rasul-rasul
dan Nabi-nabi Allah, dan tidak menyebutkan secara lengkap jumlah
mereka. Al-Quran menyebutkan hanya dua puluh empat nama dari
mereka.4)
Adapun kita, yang tidak mencapai kedudukan ini, tidak mengetahui
kebenaran jalan lain itu. Kita mengetahui hanya sebagian kecil,
yang di antaranya adalah Al-Quran dan sifat-sifat yang kita
ketahui melalui Nabi. Meskipun demikian, kita tidak dapat
mengatakan bahwa sifat-sifat jalan lain itu adalah seperti yang
telah kita ketahui, karena mungkin ada sifat-sifat lain yang
tidak kita ketahui.
4).
Adam, Nuh, Hud, Saleh, Ibrahim, Luth, Ismail, Yasa',
Dzulkifli,
Ilyas, Yunus, Ishak, Ya'kub, Yusuf, Syu'aib, Musa, Harun, Dawud,
Sulaiman, Ayyub, Zakaria, Yahya, Isa dan Muhammad. Mereka itulah
Nabi-nabi yang nama-namanya disebutkan dalam Al-Quran. Ada
beberapa Nabi yang diisyaratkan di dalamnya, seperti Asbath (QS
4:163), seorang Nabi yang mengisyaratkan kepada Bani Israil
untuk memilih Thalut sebagai raja (QS 2: 246), Nabi yang
diisyaratkan dalam QS 2:285 dan Nabi-nabi yang diisyaratkan
dalam QS 26:14.
|
( 5 - 6 )
|